Advertorial
Intisari-Online.com – Dibesarkan dalam sistem patriarkhi yang kental kerap membuat lelaki memiliki persepsi yang keliru mengenai arti kejantanan. Mengungkapkan kasih sayang, berkeluh kesah, atau menangis sering dianggap tabu dan tak macho.
Tak heran, banyak yang memilih memendam perasaan ketika masalah menghampiri, semata-mata demi terlihat tangguh di mata keluarga dan masyarakat.
Inilah yang selalu jadi ganjalan para lelaki imigran asal Turki yang hidup di tengah modernitas Kota Berlin. Sofie Syarif, jurnalis Kompas TV, menuliskannya di Majalah Intisari Extra Keluarga Muda 2013, seperti berikut ini.
Aydin mengeluh. Ia pusing memikirkan kedua anak lelakinya. Si sulung, 15 tahun, mulai terlihat sering keluar bersama seorang gadis. Sementara anak bungsunya yang baru 8 tahun mulai menanyakan hal-hal terkait seksualitas.
Baca juga: Bekerja Sama dengan Rusia-China Produksi Pesawat Siluman, Turki Makin Bikin Sewot AS
Andai Aydin adalah pria Jerman yang hidup berkeluarga secara normal, tentu kedua hal tadi tak akan jadi masalah besar.
Namun Aydin bukanlah lelaki Eropa dengan segala ajaran liberalnya, pun bukan ayah yang membesarkan anak secara normal. Meski sudah bertahun-tahun tinggal di Berlin, ia pria Turki tulen dan telah menjadi ayah tunggal lebih dari lima tahun lalu.
“Saya sudah tak pernah lagi berhubungan dengan mantan istri,” ujarnya.
Praktis, tak ada pasangan yang bisa ia ajak berbincang serius tentang bagaimana membesarkan anak, mengajari mereka mengenai seksualitas, dan yang terpenting mendidik cara menghargai perempuan.
Baca juga: Turki Tetap Bersikukuh Beli Sistem Rudal S-400 dari Rusia, AS pun Semakin Kuat Menentang
Tak dimungkiri, menjadi ayah tunggal sangatlah berat. Selain urusan ekonomi, ia juga kerap direpotkan urusan psikologis. Saat masalah datang, terkadang ia merasa kesepian karena tak bisa berbagi beban. Ada kalanya Aydin tertekan luar biasa.
“Tetapi saya sering melarang diri sendiri untuk menangis dan berkeluh kesah. Pria tak boleh terlihat menangis dan berkeluh kesah,” katanya.
Dipukul karena menangis
Satu-satunya tempat di mana ia berani membuka diri mengeluarkan beban hidup adalah dalam sebuah pertemuan support group bernama Kelompok Ayah dan Lelaki Turki.
Di sebuah ruang lantai dasar salah satu apartemen di sudut distrik Neukoelln, Berlin, sekitar dua puluh pria berkumpul tiap Senin mulai jam 18.00 sampai 20.00.
Baca juga: Hubungan Semakin Baik, Presiden Turki Undang Vladimir Putin Makan ‘Seafood’ Bersama
Sang pendiri, Kazim Erdogan, psikolog berusia 60 tahun asal Turki, membentuk kelompok ini demi memberi ruang para lelaki imigran Turki yang tinggal di Berlin untuk mau berbagi cerita tentang keluarga, masyarakat, cinta, seks, bahkan kekerasan.
Selama lebih dari 30 tahun menjadi psikolog, Erdogan mengamati mayoritas pria Turki tak tahu cara mengekspresikan diri di depan keluarganya. Ada kalanya menunjukkan kasih sayang dianggap seperti mengekspos kelemahan.
Menurut dia, saat lelaki Turki ingin mengungkapkan kasih sayang, mereka jadi kaku seperti robot. Sebaliknya, marah besar jika frustrasi karena tak mampu berkomunikasi dengan layak kepada anak-anak atau istri mereka.
Pernyataan itu diamini Aydin. Ia dibesarkan dengan sistem patriarkhi yang kaku, yang memang menjadi cara hidup mayoritas warga Turki. Pria 42 tahun ini mengaku kerap dipukul ketika kecil.
Baca juga: Berniat Beli Sistem Rudal S-400 dari Rusia, Turki Bakal Langgar UU 'Penangkal Musuh AS'
Aydin pun menjadi terbiasa menyembunyikan perasaan karena pukulan akan semakin keras jika sang ayah memergokinya menangis. Bukan sayang dan hormat yang Aydin berikan kepada ayahnya, melainkan rasa takut.
Hasilnya, Aydin kerap kebingungan membesarkan kedua buah hatinya sendirian. Ia ingin mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, tetapi sempat kikuk karena tak tahu caranya. “Awalnya saya terlalu malu untuk bilang sayang kepada anak-anak. Apalagi mereka laki-laki.”
Tak lupa ia menceritakan betapa merah padam mukanya kala sang sulung terbahak-bahak mendengarnya berucap, “Ich liebe dich (saya mencintaimu – Red),” untuk pertama kali.
Namun kesadaran akan pentingnya kedekatan orangtua dan anak membuat Aydin mau tak mau belajar menjadi orangtua yang lembut dan terbuka.
“Saya tak ingin mencontoh bagaimana orangtua saya membesarkan anak, meski hanya cara itulah yang saya ketahui,” imbuhnya seraya meyakinkan semua orang betapa ia ingin jadi teladan untuk kedua buah hatinya.
Seolah tak cukup berat membesarkan dua anak sendiri, Aydin juga kerap menghadapi ejekan orang-orang dari komunitas imigran Turki.
“Itu pekerjaan perempuan,” kata mereka tiap melihatnya mengurus rumah atau mengantar anak ke sekolah. Inilah yang membuatnya sempat berpikir untuk memaksakan diri menikah lagi.
“Tapi saya menyadari bahwa anak-anak saya bukan membutuhkan ibu baru, melainkan seseorang yang bisa jadi segalanya; ayah, kepala keluarga, ibu, bahkan teman.”
Baca juga: Inilah 3 Sosok yang Mungkin Bisa Menyelamatkan Turki dari Donald Trump
“Sekolah” untuk lelaki
Imigran asal Turki adalah kelompok minoritas terbesar di Jerman. Dari sekitar 80 juta penduduk negara itu, 4% di antaranya berasal dari Turki.
“Sayangnya banyak orang Turki yang gegar budaya begitu tiba di sini,” kata Erdogan. Dan gegar budaya adalah pangkal hampir semua masalah kaum pendatang.
Tak mudah menjadi imigran. Tingkat stres yang tinggi, beban mencari nafkah, dan kerja keras beradaptasi dengan lingkungan baru membuat masalah psikologis kerap terabaikan.
Apalagi, “Orang Turki terkadang lebih sibuk membangun masjid dibanding membangun diri dan keluarga mereka,” sambung Erdogan. Padahal segala permasalahan sosial bisa dieliminasi melalui keluarga.
Baca juga: Diguncang Krisis Ekonomi, Turki Justru akan Luncurkan Helikopter Militer Super Canggih
Sembari menyeruput teh khas Turki dalam gelas kecil berbentuk tulip, Erdogan lantas membandingkan para kliennya. “Saat memberikan konseling untuk pasangan Jerman, saya kerap melihat mereka bergandengan tangan. Tidak dengan pasangan Turki.”
Erdogan menekankan bahwa justru kemampuan mengekspresikan diri dan menyatakan cinta memegang peran penting dalam memperbaiki kondisi rumah tangga. Dan inilah yang acapkali tak dimiliki para pria asal Turki.
“Jangankan mengekspresikan diri, untuk bercerita kepada teman bahwa kami punya masalah saja sudah cukup sulit. Jika tak berhadapan dengan orang yang tepat, Anda akan diejek sebagai pecundang,” imbuhnya.
Ia menyebut alasannya mendirikan Kelompok Ayah dan Lelaki Turki adalah demi membantu sesama imigran beradaptasi dengan kehidupan Berlin yang jauh berbeda dengan tempat asal mereka.
Baca juga: Mustahil Angkatan Udara Turki Bisa Sebesar Sekarang Jika Bukan karena Jasa-jasa Orang Ini
Perkumpulan ini dibuat agar para lelaki bisa mengungkapkan isi hati mereka tanpa merasa tertekan atau dihakimi. Di sini, mereka bisa bercerita dan mengurangi sedikit beban.
Melalui kelompoknya, Erdogan ingin menunjukkan bahwa semua pria punya masalah dan tak perlu malu meminta bantuan. Ia pun mendorong para peserta kelompok yang sudah senior selalu berbagi pengalaman kepada yang lebih muda bagaimana mereka menghadapi masalah rumah tangga.
“Jika Anda tak merasa bahagia, tak tahu bagaimana cara mengekspresikan diri dengan benar, tak bisa menghargai diri sendiri dan pasangan, maka pasti muncul kekerasan dalam rumah tangga,” tukasnya.
Erdogan ingin mengajari teman-teman sebangsanya bagaimana menumpahkan perasaan.Tak mudah, memang. Hampir semua pria di perkumpulan itu baru bisa membuka diri setelah pertemuan ketiga. Menceritakan permasalahan keluarga sering dianggap mengumbar aib dan tak jantan.
Padahal keterbukaan adalah kunci berkomunikasi dengan keluarga. “Menjadi ayah dalam tradisi patriarkhi berarti memiliki otoritas sangat besar. Dan mereka tak boleh hanya sekadar ada, melainkan benar-benar hadir dalam kehidupan istri dan anak-anaknya.”
Dengan mimik muka serius, Erdogan menekankan pentingnya seorang anak minum bir pertamanya dengan sang ayah, bukan dengan teman-temannya.
“Itu menunjukkan bahwa si anak dekat dengan ayahnya, dan sang ayah percaya kepada buah hatinya.” Sayang, banyak orangtua menganggap hal seperti ini sepele.
Salah salah satu anggota baru perkumpulan itu, Abdullah, meyakini apa yang dikatakan Erdogan. “Imigran Turki di Jerman identik dengan kekerasan dan kriminalitas. Hal ini tak akan terjadi jika para remaja tumbuh didampingi ayah mereka,” katanya.
Baca juga: Makin Panas, Perancis Siap Bantu Turki Melawan Sanksi Amerika
Bahasa asing bernama cinta
Tak hanya terkait masalah anak, Erdogan juga berupaya mengajak para lelaki anggota kelompoknya untuk semakin menghormati istri dan mengumbar cinta mereka. Ia menjelaskan nihilnya ungkapan kasih sayang disebabkan pria Turki sering menganggap perempuan layaknya mesin yang tak punya hak beropini.
Selama menjadi psikolog, ia menemukan banyak pria Turki gagal menghargai pasangan. Salah satu contohnya, mereka tak mampu membedakan cinta dan seks, dua hal yang jelas-jelas berbeda.
“Banyak lelaki,” ia melanjutkan, “ingin perempuan berfungsi sesuai kebutuhan mereka sendiri, terutama dalam hal seksualitas.” Hal ini diperparah dengan banyaknya praktik kawin paksa antarsesama keturunan Turki, sehingga banyak pernikahan yang minim roman.
Tak heran, kekerasan dalam rumah tangga banyak ditemukan dalam komunitas ini. Meski tinggal di negara yang menjunjung feminisme, perilaku ayah kepada ibunya sering membuat pria Turki memiliki pandangan yang keliru tentang fungsi perempuan.
“Tradisi patriarkhi kerap menempatkan lelaki lebih tinggi daripada perempuan. Saya tak berkata bahwa tradisi itu jelek, tetapi bukan berarti kita tak bisa menyikapinya dengan lebih baik,” paparnya.
Apalagi, membangun keluarga butuh kerja sama kedua orangtua, bukan semata kewajiban perempuan. Sambil tersenyum, Erdogan melanjutkan, “Bagaimana Anda bisa mengajak perempuan bekerja sama kalau tidak menunjukkan cinta kepadanya?”
Seikat bunga di akhir pekan
Dan Dursun, 62 tahun, adalah “korban” dari eksperimen Erdogan mengajak para pria lebih sering mengungkapkan kasih sayang kepada istri. Tiga tahun lalu ia bercerita di depan anggota Kelompok Ayah dan Lelaki Turki tentang kegamangannya. Ayah tiga anak ini merasa semakin jauh dari sang istri. Erdogan pun memaksanya membelikan sang istri seikat bunga untuk ulang tahun pernikahan mereka.
Benar saja. Dursun kikuk bukan kepalang. Ia menyerahkan bunga kepada sang istri tanpa berkata apa pun.
“Saya tak tahu harus bilang apa,” akunya. Sang istri lantas tertawa dan menebak pastilah Dursun melakukannya karena disuruh oleh Erdogan.
Namun, kebiasaan itu rupanya ia teruskan. Selama tiga tahun terakhir, ia selalu membawakan seikat bunga untuk sang istri tiap akhir pekan.
“Saya tak bisa bersikap romantis, tapi setidaknya saya sudah berusaha. Istri saya tahu itu,” kata Dursun.
Dan memang itulah hasil yang ingin dicapai Erdogan; membuat pria semakin terbuka menunjukkan cinta kepada keluarganya. Saat ini sudah ada 11 perkumpulan Kelompok Ayah dan Lelaki Turki di Jerman dan Austria, lima di antaranya ada di Kota Berlin.
Semuanya dijalankan oleh para imigran Turki yang sempat menjadi anggota support group milik Erdogan, dibantu sejumlah pekerja sosial. Beberapa perkumpulan baru pun tengah direncanakan, demi menyediakan wadah bagi para imigran Turki untuk berbagi beban hidup mereka.
“Saya memiliki dua orang putri. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang ayah selain melihat putrinya dipersunting laki-laki yang tahu bagaimana cara membuat diri sendiri dan keluarganya bahagia,” pungkasnya.
Baca juga: Ekonominya Terpuruk, Turki Malah Balas Sanksi Ekonomi AS dengan 'Pukulan' ini