Lalu meja tulis itu, mengingatkan orang pada kesibukan Kartini berkorespondensi dengan teman-teman Belandanya, maupun pembesar-pembesar Belanda lainnya.
Barangkali, di atas meja itulah Kartini mengasah penanya hari demi hari. Lewat surat-suratnya, ia menuangkan segala pikirannya; mengungkapkan perasaannya, merangkum dan menganalisis apa yang dia saksikan dan alami di sekitarnya.
"Kegenitan" Kartini
Namun, seperti diketahui, Kartini tak hanya menulis untuk berkorespondensi, tapi juga menulis untuk umum lewat media massa. "Beberapa kali ia menulis artikel di beberapa majalah, misalnya saja di Majalah. Libello, Echo Hollandse Lelie, dsb.
Tema-tema tulisannya kebanyakan tak jauh dari soal perlunya kesempatan pendidikan bagi kaum bumiputra, terutama kaum wanitanya, meskipun tak jarang juga tentang macam-macam kesenian yang ada di Jepara, seperti seni ukir, seni batik dan Iain-lain," ujar Sulastin.
Padahal, kegiatan menulis untuk umum buat wanita di zaman itu - lebih-lebih yang belum bersuami – sangatlah tidak patut. Itu pertanda "kegenitan" seorang wanita yang belum bersuami.
Baca Juga: Cicit RA Kartini Dilaporkan Hidup Memperihatinkan, Ini Penjelasannya
Tak heran kalau kemudian Kartini mendapat cemoohan dari kanan-kiri, meski ia selalu berkonsultasi lebih dulu dengan ayahnya, tentang patut tidaknya tulisan yang sudah dia bikin itu dimuat.
Makanya, lewat suratnya tanggal 3 Januari 1903 kepada H.H. van Kol, Kartini pernah menyinggungnya: "... Ada yang tidak senang hatinya karena saya mengarang; dan saya diberi peringatan agar berhenti berbuat deemikian.
Tidak pantas, seorang anak perempuan menulis untuk umum. Aduhai, cis, perempuan yang belum kawin, namanya disebut-sebut orang kiri-kanan: Bila dia bersuami, tidak mengapalahl"
Sayang, "Dokumen berupa karangan-karangan dia di beberapa media massa itu sampai sekarang tidak ditemukan," kata Sulastin. Kalau saja dokumen itu masih ada, jangan-jangan bisa dipakai sebagai bahan studi bahwa Kartini, yang memakai nama samaran "Tiga Soedara" dalam beberapa tulisannya di media massa, adalah "wartawati", atau paling tidak kolumnis wanita pertama yang kita miliki.
"Orang dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya, tetapi jangan pena saya. Ini tetap milik saya, dan saya akan berlatih dengan rajin menggunakan senjata itu. Janganlah kami terlalu banyak diusik, sebab kesabaran yang sesabar-sabarnya akhirnya juga akan habis juga. Oleh karena itu kami akan menggunakan senjata itu, walaupun kami sendiri akan terluka karenanya .... Aduhai! Tuhan, berilah kami kekuatan. Kuatkan dan bantulah kami! ... maafkan saya, cintailah anaka-nakmu yang berkulit coklat ini ...," begitu isi surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri (12 Oktober 1902)..
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR