Namun, serangan yang cenderung brutal itu berhasil ditahan oleh pasukan AS dan sekutunya kendati dari kedua belah pihak telah banyak jatuh korban jiwa.
Perang yang kemudian berlangsung di Korea adalah saling merebut bukit dan lagi-lagi merupakan pertempuran statis yang berlarut-larut.
Perang Korea bahkan menjadi perang politis, di mana Blok Barat berusaha mengalahkan Blok Timur dan sebaliknya.
Dalam konflik AS-Korut yang terjadi sekarang, AS sebenarnya sudah membujuk China agar bersikap netral dalam krisis di Korut atau kalau bisa malah mendukung AS.
China sebenarnya cukup kooperatif dengan AS dan cenderung menyetujui jika AS akan melaksanakan aksi militer atas Korut.
China bahkan mengirim duta besarnya di Korut untuk menemui para petinggi Korut agar bersikap lunak terhadap AS.
Tapi upaya persuasif China itu ternyata ditolak mentah-mentah oleh para petinggi Korut.
Presiden AS Donald Trump yang kecewa atas kegagalan misi persuasif China di Korut akhirnya memutuskan bahwa AS akan menyerang sendiri Korut jika China tak mampu membantu.
China yang tersinggung atas sikap Trump karena tak menghargai upaya petinggi China melakukan pendekatan ke Korut akhirnya berulah.
Kapal-kapal perang China mulai turun ke perairan Semenanjung Korea untuk memata-matai pergerakan kapal induk USS Carl Vinson dan battle strike group-nya.
Tidak hanya kapal perang China yang turun melakukan ‘’pelayaran bayangan’’ tapi juga kapal-kapal perang Rusia.
Serangan rudal AS ke Suriah memang telah memicu kemarahan Rusia mengingat Suriah adalah sekutunya.
Yang jelas, turunnya militer Rusia-China ke konflik Korut-AS (Korsel) memang membuka luka lama.
Namun China memang paling sulit jika harus bersifat netral dalam konflik AS-Korut. Pasalnya di kawasan perairan Laut China Selatan, kekuatan tempur China dan AS adalah musuh bebuyutan.
Kedua kekuatan tempur yang digelar di kawasan Laut China Selatan bahkan sudah saling berhadapan.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR