Intisari-Online.com - Perang Korea yang berlangsung dari 1950-1953 dan bersifat saling mempertahankan ideologi (komunis-demokrasi) itu, militer China secara terang-terangan turun ke gelanggang membela Korut.
(Baca juga: Jika AS Benar-benar akan Menyerang, Korut Bersiap Lakukan Serangan Nuklir ke AS)
China turut membela Korut karena sama-sama negara berideologi komunis dan dalam pertempuran di sepanjang perbatasan China-Korut, banyak tentara AS-Korsel yang bertempur masuk ke wilayah China sehingga menimbulkan korban.
Sejumlah jet-jet tempur AS juga kerap melanggar wilayah udara China dan berakibat pada bentrokan di udara ketika pesawat tempur China berusaha melakukan penghadangan.
(Baca juga: Dari yang Salah hingga yang Absurd, Ini 10 Video yang Dianggap sebagai Kebohongan Propaganda Korea Utara)
Banyak jet tempur China yang dipiloti oleh orang Rusia sehingga secara tak langsung Perang Korea juga telah melibatkan Rusia (Uni Soviet).
China pun akhirnya melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah Korsel baik melalui gempuran di udara maupun darat.
Salah satu kehebatan pasukan China dalam Perang Korea adalah taktik serbuan gelombang manusia yang dilaksanakan secara susul-menyusul.
Serbuan dengan risiko kehilangan banyak pasukan itu hanya bisa dilaksanakan oleh personel paling berani karena mereka tak akan lari mundur kendati harus terus maju sambil melompati mayat rekannya yang gugur.
(Baca juga: Maut di Ruang Udara Korea: Ajang Duel Jet-Jet Tempur Generasi Pertama)
Pasukan AS dan PBB berusaha keras menahan laju gempuran gelombang manusia itu dengan menembakkan senapan mesin secara masif.
Salah satu serangan berupa gelombang manusia yang dikerahkan secara besar-besaran berlangsung pada bulan April-Mei 1951.
Namun, serangan yang cenderung brutal itu berhasil ditahan oleh pasukan AS dan sekutunya kendati dari kedua belah pihak telah banyak jatuh korban jiwa.
Perang yang kemudian berlangsung di Korea adalah saling merebut bukit dan lagi-lagi merupakan pertempuran statis yang berlarut-larut.
Perang Korea bahkan menjadi perang politis, di mana Blok Barat berusaha mengalahkan Blok Timur dan sebaliknya.
Dalam konflik AS-Korut yang terjadi sekarang, AS sebenarnya sudah membujuk China agar bersikap netral dalam krisis di Korut atau kalau bisa malah mendukung AS.
China sebenarnya cukup kooperatif dengan AS dan cenderung menyetujui jika AS akan melaksanakan aksi militer atas Korut.
China bahkan mengirim duta besarnya di Korut untuk menemui para petinggi Korut agar bersikap lunak terhadap AS.
Tapi upaya persuasif China itu ternyata ditolak mentah-mentah oleh para petinggi Korut.
Presiden AS Donald Trump yang kecewa atas kegagalan misi persuasif China di Korut akhirnya memutuskan bahwa AS akan menyerang sendiri Korut jika China tak mampu membantu.
China yang tersinggung atas sikap Trump karena tak menghargai upaya petinggi China melakukan pendekatan ke Korut akhirnya berulah.
Kapal-kapal perang China mulai turun ke perairan Semenanjung Korea untuk memata-matai pergerakan kapal induk USS Carl Vinson dan battle strike group-nya.
Tidak hanya kapal perang China yang turun melakukan ‘’pelayaran bayangan’’ tapi juga kapal-kapal perang Rusia.
Serangan rudal AS ke Suriah memang telah memicu kemarahan Rusia mengingat Suriah adalah sekutunya.
Yang jelas, turunnya militer Rusia-China ke konflik Korut-AS (Korsel) memang membuka luka lama.
Namun China memang paling sulit jika harus bersifat netral dalam konflik AS-Korut. Pasalnya di kawasan perairan Laut China Selatan, kekuatan tempur China dan AS adalah musuh bebuyutan.
Kedua kekuatan tempur yang digelar di kawasan Laut China Selatan bahkan sudah saling berhadapan.