Sesaat sebelum dilakukan pembedahan, dokter mengatakan, “Bu, sebaiknya setelah operasi memakai obat paten saja ya agar lebih cepat pulih. Memang sih lebih mahal.” Pada saat itu saya hanya menjawab terserah dokter saja, karena ada biaya pengobatan yang masih bisa di-cover tempat saya bekerja.
Keluarga saya yang menebus obat ketika saya masih di rawat inap mengatakan bahwa memang ada perbedaan mencolok pada obat yang ditanggung oleh BPJS dan bila menggunakan obat paten. Harga obat generik yang hanya ribuan, dibandingkan dengan obat paten yang harganya ratusan ribu rupiah, bahkan hingga jutaan rupiah.
Setelah menjalani rawat jalan pasca rawat inap dan setelah dilakukan kembali pemeriksaan laboratorium atas sel kanker dalam tubuh saya, dokter menyarankan untuk melakukan kemoterapi dan radioterapi.
Sayangnya, BPJS tidak meng-cover biaya kemoterapi di rumah sakit tersebut, meski di tempat itu bisa dilakukan kemoterapi. Dokter mengatakan bahwa biaya untuk kemoterapi tidaklah murah, sekali suntik saja bisa seharga 2-4 juta rupiah, bahkan ada yang sampai puluhan juta rupiah.
Atas dasar tidak ter-cover-nya proses kemoterapi itu, dokter menyarankan saya menggunakan fasilitas BPJS saja. Saya pun dirujuk ke rumah sakit tipe A.
Meski pada akhirnya, dokter menyerahkan pilihan kepada saya.
Banyak orang yang menceritakan bagaimana sulitnya menggunakan fasilitas BPJS dan tidak ramahnya petugas BPJS serta perawat yang mengetahui bahwa kita adalah pasien yang menggunakan fasilitas BPJS.
Namun, menurut saya, para perawat cukup ramah kok. Mungkin bagaimana kita bersikap saja terhadap mereka. Bila kita baik, tentunya mereka akan membalas.
Hanya saja kita memang harus sabar mengikuti prosedur bila menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan ini: mau dengan sabar antri dan mengikuti petunjuk para medis dan petugas BPJS.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR