Baca juga: Terbiasa Hidup Susah, Bung Karno Pun Jadi 'Penyelundup' Saat Diasingkan ke Flores
"Begitu penjaganya enggak ada, saya langsung minta Mbak Rachma duduk di samping Bapak. Cepat-cepat saya potret mereka. Kalau enggak salah cuma sempat dua kali jepretan. Habis, saya takut kalau penjaganya balik dan memergoki saya," tuturnya sembari memeragakan cara menyelipkan kamera ke sakunya.
Begitulah, foto itu dengan selamat bisa dicetak. Setelah jadi, "Ada seorang teman Mbak Rachma meminjamnya. Rupanya, oleh teman Mbak Rachma itu, foto tadi disebarluaskan ke luar negeri lewat Kantor Berita United Press."
Guruh tak menduga, gara-gara tersebarluasnya foto itu, ia dapat masalah. Suatu hari, sepulang dari sekolah, "Saya diberi tahu Ibu (Bu Fatmawati - Red.), sebentar lagi akan ada polisi militer menjemput saya. Mereka mau menginterogasi perihal foto Bapak dengan Mbak Rachma."
Benar saja, tak lama kemudian Guruh dijemput. Masih dengan mengenakan seragam sekolah, "Saya dibawa ke Markas Polisi Militer di Jalan Guntur, Jakarta. Sebelum saya berangkat, Ibu berpesan agar saya tenang-tenang saja "
Baca juga: Tak Ingin Lihat Istri-Istri Suaminya, Fatmawati Tak Pernah Jenguk dan Hadiri Pemakaman Bung Karno
Kepada Guruh, para petugas menanyakan, apa alasannya memotret Bung Karno. Guruh yang tetap tenang seperti anjuran ibunya menjawab, "Itu, kan, hak saya. Wong saya ini anaknya."
Tak cuma Guruh yang dijemput, tapi juga Rachmawati. "Hanya saja, Mbak Rachma dipanggil pada waktu yang berlainan."
Dari peristiwa itu saja, sudah cukup bagi Guruh untuk merasakan bahwa ayahnya diperlakukan seperti seorang pesakitan. "Ini pula yang meyakinkan saya dan kakak-kakak bahwa Bapak meninggal dengan tidak wajar. Sebab, perlakuan seperti itu telah mempercepat meninggalnya Bapak," tandas Guruh.
Karena itu, Guruh bisa memahami pula pernyataan Dewi Soekarno. "Lumrah bila Bapak dicurigai meninggal secara tak wajar," ujar Guruh yang membenarkan pernyataan Dewi Soekarno bahwa Bung Karno sempat mengeluarkan suara mirip orang mendengkur menjelang meninggalnya. "Suara dengkurnya keras sekali," tambah Guruh.
Baca juga: Bukan karena Dibentak, para Pengawal Justru akan Gemetar Jika Bung Karno Sudah Pegang Sapu
Tanggal 21 Juni 1970. menjelang subuh, Guruh dibangunkan ibunya. "Nak, pergilah ke Bapak. Keadaan Bapak mulai gawat. Sewaktu-waktu bisa terjadi sesuatu pada Bapak. Ibu tetap di rumah saja dan akan berdoa dari jauh," ujar Bu Fatmawati seperti ditirukan Guruh.
Bersama empat kakaknya, Guntur, Megawati, Rachmawati, dan Sukmawati, berangkatlah Guruh ke RSPAD Gatot Subroto tempat ayahnya dirawat. "Kami hanya diizinkan melihat Bapak sebentar, lalu dokter minta kami keluar ruangan. Lalu sekitar pukul 06.15 kami diminta masuk lagi. Pukul 06.30 Bapak meninggal," tuturnya.
Kini sudah 28 tahun Bung Karno tiada. Kendati demikian, Guruh mengaku tak pernah mendapat surat atau akte kematian ayahnya.
Baca juga: Saat Bung Karno Terseret Mobil dan Tangannya Terjepit Pintu Mobil
"Pernah saya tanyakan pada Mas Guntur, apakah pegang akte kematian Bapak. Ternyata Mas Guntur tidak tahu-menahu. Saya pun lantas berupaya mengurus akte kematian Bapak sebagaimana layaknya anggota masyarakat lain."
Untuk itu, Guruh datang ke RSPAD untuk minta surat kematian. Anehnya, "Pihak rumah sakit tidak berani memberikan surat kematian. Malah, saya diminta mengurusnya ke Sekretariat Negara."
Saran itu ia ikuti. "Saya temui Pak Moerdiono yang saat itu menjabat Mensesneg. Tapi sampai sekarang, belum juga ada hasilnya," keluh Guruh yang memang ditunjuk keluarganya untuk mengurus segala hal yang berurusan dengan peninggalan Bung Karno.
Baca juga: Masa Kecil Bung Karno, Punya Kekuatan Supranatural tapi Lenyap Setelah Hobi Berpidato
Source | : | Nova |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR