Advertorial

Gara-gara Harus Memberikan Sumbangan pada Bung Karno, Diturunkan Pangkatnya di Istana Merdeka

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Kisah mendapat undangan dari Presiden Soekarno untuk menghimpun dana sementara perusahaan sedang tidak berhasil.
Kisah mendapat undangan dari Presiden Soekarno untuk menghimpun dana sementara perusahaan sedang tidak berhasil.

Intisari-Online.com – Sore itu Jakarta diguyur hujan deras. Tahu-tahu datang ke rumah saya seorang anggota ABRI membawa undangan bersampul surat kepresidenan.

Ternyata undangan itu dari Istana Negara. Malam itu Presiden Soekarno mengundang para pengusaha untuk menghimpun dana. Kalau saya tidak salah ingat, untuk pembangunan pelbagai sarana keindahan kota.

Karena sedang hujan lebat, saya segan memakai kendaraan sendiri, takut harus berhujan-hujan dari tempat parkir. Jadi saya rnemesan mobil sewaan.

Dalam perjalanan ke istana, saya teringat pada beberapa cara menghimpun dana yang mungkin dipakai.

Baca juga: Terbiasa Hidup Susah, Bung Karno Pun Jadi 'Penyelundup' Saat Diasingkan ke Flores

Apakah ada semacam lelang barang-barang sumbangan dari beberapa tokoh? Ataukah panitia menentukan jumlah minimum sumbangan dan setiap orang?

Di forum seperti itu orang biasanya mempertaruhkan gengsi pribadi atau perusahaannya, dengan memberikan sumbangan yang jumlahnya aduhai.

Kalau cara terakhir ini dipakai oieh panitia, celakalah saya! Keadaan perusahaan yang saya pimpin sedang tidak menguntungkan.

Lebih baik saya tidak jadi datang saja. Saya segera berkata kepada supir, "Pak, kita ...," Tahu-tahu ia menyela, "Kita sudah sampai ...."

Baca juga: Tak Ingin Lihat Istri-Istri Suaminya, Fatmawati Tak Pernah Jenguk dan Hadiri Pemakaman Bung Karno

Hari masih hujan rintik-rintik, ketika saya menaiki tangga istana dengan hati risau. Saya segera berada di antara para pengusaha nasional. Mereka yang sukses bisa bergeiak tertawa, tetapi saya ....

Pada saat sedang kebingungan itu, tiba-tiba muncui dewa penolong dalam bentuk seorang pengusaha terkemuka, DM, yang saya kenal baik, sebab ia seprofesi dengan ayah saya sejak sebelum perang.

Tanpa pikir panjang lagi, saya dekati dia. Setelah sedikit basa-basi dan setelah mendapat perkenan duduk di sebelahnya, saya kemukakan kekhawatiran saya. Celaka saya kalau yang dipakai bukan sistem lelang.

"Oom 'kan tahu, bagaimana keadaan perusahaan yang saya pimpin saat ini," kata saya. "Saya tidak bisa mengeluarkan dana yang besar seperti yang diharapkan dalam forum seperti ini."

Baca juga: Bukan karena Dibentak, para Pengawal Justru akan Gemetar Jika Bung Karno Sudah Pegang Sapu

"Sudahlah! Serahkan saja kepada Oom," katanya.

Kekhawatiran saya beralasan. Yang dipakai adalah sistem sumbangan.

Ketika petugas yang membagikan formulir datang ke dekat kami, Pak DM tenang-tenang saja berkata, "Saudara ini tidak usah diberi formulir. la sekretaris saya."

"Terima kasih, Oom," kata saya kepada Pak DM dengan seribu kelegaan.

Selesai makan prasmanan, saya menyelinap pulang. Di rumah saya tidak bilang-bilang kepada istri saya bahwa di istana tadi pangkat saya dari pimpinan perusahaan 'diturunkan' oleh Pak DM. Saya khawatir ia tertawa geli. (Odie – Intisari April 1989)

Baca juga: Saat Bung Karno Terseret Mobil dan Tangannya Terjepit Pintu Mobil

Artikel Terkait