Advertorial
Intisari-Online.com – Belum lama ini, Ratna Sari Dewi Soekarno, istri presiden pertama Rl, Ir. Soekarno, membuat pernyataan di depan wartawan yang menghebohkan.
Dalam pernyataan yang dimunculkan lewat media cetak dan elektronik itu, Dewi Soekarno secara blak-blakan menyatakan bahwa mendiang Bung Karno meninggal secara tak wajar.
Menanggapi pernyataan Dewi, salah satu putra Bung Karno, yakni Guruh Soekarno Putra menilai dugaan itu wajar saja. Kenapa? Guruh menjelaskannya.
la juga menceritakan kenangan saat-saat terakhir bersama almarhum ayahnya. Kisahnya dituangkan oleh tulisan Koes Sabandiyah seperti dimuat di Tabloid NOVA edisi 555 – Oktober 1998 berikut ini.
Baca juga: Prajuritnya Dihukum Mati karena Tak Mau Turuti Perintahnya, Bung Karno Merasa Bersalah Seumur Hidup
---
Nama Ratna Sari Dewi Soekarno belakangan ini kembali jadi pembicaraan. Semua itu berkaitan dengan pernyataan-pernyataannya seputar saat-saat terakhir kehidupan Bung Karno, presiden pertama Rl dan juga suaminya.
Salah satunya, Dewi menilai kematian Bung Karno mengandung ketidakwajaran. Bahkan ia menduga, Bung Karno meninggal karena obat tidur karena mendengkur keras menjelang meninggal. "Padahal bukan kebiasaan Bapak menggunakan obat tidur," kata Dewi seperti dikutip media massa.
Sejauh mana kebenaran cerita Dewi Soekarno itu? "Kemungkinan Bapak meninggal tak wajar memang ada," tandas Guruh Soekarno Putra pada NOVA, Senin (12/10/1998).
Baca juga: Kisah Cinta Fatmawati dengan Bung Karno dalam Buku Harian yang Ditulisnya Sendiri
Hanya saja, Guruh melihatnya lebih pada faktor psikologis. Menurut Guruh, sejak keluar dari istana tahun 70, ayahnya ditahan di Batutulis, Bogor.
"Usia saya saat itu sekitar 14 tahun. Saya memang belum bisa melakukan suatu pembelaan atau protes, misalnya. Tapi saya bisa melihat dan merasakan bahwa secara psikologis Bapak sangatlah tertekan," papar Guruh.
Ditambah lagi, lanjut Guruh, "Bapak mendapat perlakuan yang kurang baik dan tidak patut." Perlakuan tidak patut yang dimaksud Guruh adalah penahanan dan pengekangan terhadap kebebasan ayahnya.
"Sebagai presiden dan orang yang sudah sepuh, Bapak tidak boleh ke mana-mana. Beliau juga tidak boleh ditengok dan hanya bisa bertemu dengan anak-anaknya secara terbatas. Itu pun harus melewati prosedur berbelit-belit," rinci Guruh yang kini mulai rajin melukis.
Baca juga: Terkenal Gagah Berani, Bung Karno Ternyata Tidak Tegaan Melihat Binatang Tersiksa atau Diburu
Kartu pos dari wina
Pembatasan-pembatasan itulah yang menurut Guruh makin memperburuk kondisi ayahnya. "Siapa, sih, orangnya yang enggak sedih diperlakukan seperti itu? Otomatis Bapak merasa sangat tertekan. Enggak heran kalau kondisi kesehatannya makin hari makin parah," keluhnya.
Tim dokter yang menangani Bung Karno saat itu pun, menurut Guruh, belum berupaya maksimal. "Waktu itu memang peralatan medis di sini sangat terbatas. Bahkan mesin pencuci darah saja Indonesia belum ada. Sementara sakit ginjal Bapak semakin parah. Nah, kenapa saat itu enggak diupayakan supaya Bapak bisa berobat ke luar negeri, misalnya?" tanya Guruh.
Diakui Guruh, ayahnya juga menempuh usaha penyembuhan secara tradisional. "Kebetulan Bapak dapat bantuan obat-obat tradisional Cina dari Mao Tse Tung (pemimpin RRC saat itu - Red.). Dan saya rasa itu wajar-wajar saja, karena berbagai upaya harus ditempuh demi kesembuhan Bapak," ungkapnya.
Meski demikian, bukan berarti Bung Karno menampik pelayanan tim dokter kepresidenan. Dikatakan Guruh, "Selain menjalani perawatan secara tradisional, Bapak tetap minum obat-obat yang diberikan tim dokter, kok. Setiap saya menjenguk, sehabis makan siang Bapak selalu minum vitamin dan obat-obat dari dokter."
Baca juga: Gara-gara Harus Memberikan Sumbangan pada Bung Karno, Diturunkan Pangkatnya di Istana Merdeka
Guruh juga tak sependapat jika ada pendapat yang mengatakan Bung Karno menolak dioperasi. "Sebab, waktu itu Bapak sempat menjalani operasi ginjal ke Wina, Austria. Malah Bapak sempat mengirimkan postcard buat saya dan kakak-kakak. 'Saya baik-baik saja di Wina,' begitu Bapak menulis di kartu itu," kenangnya sambil menerawang.
Masih berseragam sekolah
Ada satu kenangan berkesan yang dialami Guruh pada hari ulang tahun ayahnya, 6 Juni 1970. Ketika itu, cerita Guruh, "Kondisi Bapak sudah sangat lemah. Beliau hanya bisa berbaring di tempat tidur. Entah kenapa, saya terpikir ingin sekali membuat foto kenang-kenangan saat Bapak ulang tahun itu."
Guruh dan kakaknya, Rachmawati, saat itu berhasil mendapat izin menjenguk ayahnya. Diam-diam, Guruh juga mengantungi kamera kecil di sakunya.
Baca juga: Terbiasa Hidup Susah, Bung Karno Pun Jadi 'Penyelundup' Saat Diasingkan ke Flores
"Begitu penjaganya enggak ada, saya langsung minta Mbak Rachma duduk di samping Bapak. Cepat-cepat saya potret mereka. Kalau enggak salah cuma sempat dua kali jepretan. Habis, saya takut kalau penjaganya balik dan memergoki saya," tuturnya sembari memeragakan cara menyelipkan kamera ke sakunya.
Begitulah, foto itu dengan selamat bisa dicetak. Setelah jadi, "Ada seorang teman Mbak Rachma meminjamnya. Rupanya, oleh teman Mbak Rachma itu, foto tadi disebarluaskan ke luar negeri lewat Kantor Berita United Press."
Guruh tak menduga, gara-gara tersebarluasnya foto itu, ia dapat masalah. Suatu hari, sepulang dari sekolah, "Saya diberi tahu Ibu (Bu Fatmawati - Red.), sebentar lagi akan ada polisi militer menjemput saya. Mereka mau menginterogasi perihal foto Bapak dengan Mbak Rachma."
Benar saja, tak lama kemudian Guruh dijemput. Masih dengan mengenakan seragam sekolah, "Saya dibawa ke Markas Polisi Militer di Jalan Guntur, Jakarta. Sebelum saya berangkat, Ibu berpesan agar saya tenang-tenang saja "
Baca juga: Tak Ingin Lihat Istri-Istri Suaminya, Fatmawati Tak Pernah Jenguk dan Hadiri Pemakaman Bung Karno
Kepada Guruh, para petugas menanyakan, apa alasannya memotret Bung Karno. Guruh yang tetap tenang seperti anjuran ibunya menjawab, "Itu, kan, hak saya. Wong saya ini anaknya."
Tak cuma Guruh yang dijemput, tapi juga Rachmawati. "Hanya saja, Mbak Rachma dipanggil pada waktu yang berlainan."
Dari peristiwa itu saja, sudah cukup bagi Guruh untuk merasakan bahwa ayahnya diperlakukan seperti seorang pesakitan. "Ini pula yang meyakinkan saya dan kakak-kakak bahwa Bapak meninggal dengan tidak wajar. Sebab, perlakuan seperti itu telah mempercepat meninggalnya Bapak," tandas Guruh.
Karena itu, Guruh bisa memahami pula pernyataan Dewi Soekarno. "Lumrah bila Bapak dicurigai meninggal secara tak wajar," ujar Guruh yang membenarkan pernyataan Dewi Soekarno bahwa Bung Karno sempat mengeluarkan suara mirip orang mendengkur menjelang meninggalnya. "Suara dengkurnya keras sekali," tambah Guruh.
Baca juga: Bukan karena Dibentak, para Pengawal Justru akan Gemetar Jika Bung Karno Sudah Pegang Sapu
Tanggal 21 Juni 1970. menjelang subuh, Guruh dibangunkan ibunya. "Nak, pergilah ke Bapak. Keadaan Bapak mulai gawat. Sewaktu-waktu bisa terjadi sesuatu pada Bapak. Ibu tetap di rumah saja dan akan berdoa dari jauh," ujar Bu Fatmawati seperti ditirukan Guruh.
Bersama empat kakaknya, Guntur, Megawati, Rachmawati, dan Sukmawati, berangkatlah Guruh ke RSPAD Gatot Subroto tempat ayahnya dirawat. "Kami hanya diizinkan melihat Bapak sebentar, lalu dokter minta kami keluar ruangan. Lalu sekitar pukul 06.15 kami diminta masuk lagi. Pukul 06.30 Bapak meninggal," tuturnya.
Kini sudah 28 tahun Bung Karno tiada. Kendati demikian, Guruh mengaku tak pernah mendapat surat atau akte kematian ayahnya.
Baca juga: Saat Bung Karno Terseret Mobil dan Tangannya Terjepit Pintu Mobil
"Pernah saya tanyakan pada Mas Guntur, apakah pegang akte kematian Bapak. Ternyata Mas Guntur tidak tahu-menahu. Saya pun lantas berupaya mengurus akte kematian Bapak sebagaimana layaknya anggota masyarakat lain."
Untuk itu, Guruh datang ke RSPAD untuk minta surat kematian. Anehnya, "Pihak rumah sakit tidak berani memberikan surat kematian. Malah, saya diminta mengurusnya ke Sekretariat Negara."
Saran itu ia ikuti. "Saya temui Pak Moerdiono yang saat itu menjabat Mensesneg. Tapi sampai sekarang, belum juga ada hasilnya," keluh Guruh yang memang ditunjuk keluarganya untuk mengurus segala hal yang berurusan dengan peninggalan Bung Karno.
Baca juga: Masa Kecil Bung Karno, Punya Kekuatan Supranatural tapi Lenyap Setelah Hobi Berpidato