Advertorial
Intisari-Online.com -Di LP Kerobokan, tahanan bagaikan raja - selama punya uang. Jangankan seks dan narkoba, petugas pun bisa "dibeli", lengkap beserta ruang kerjanya.
Inilah kisah kelam dari penjara di Bali yang kasus HIV/AIDS-nya salah satu tertinggi di Indonesia.
Hotel Kerobokan: The Shocking Inside Story of Bali's Most Notorious Jail (2009), ditulis oleh Kathryn Bonella, yang sebelumnya telah menulis kisah hidup turis terpidana 20 tahun karena kasus narkoba di Bali, Schapelle Corby, My Story (2007).
Hari sudah lama gelap tapi Penjara Kerobokan baru memulai aktivitasnya. Para sipir membuka pintu-pintu sel dan para penghuni pun bergegas keluar.
Dari arah pintu depan, para PSK (pekerja seks komersial), pacar, gundik, dan para istri juga menghambur masuk. Narapidana yang siangnya sudah membayar kepada petugas, boleh melampiaskan hasrat.
Napi kasus narkoba asal Austria, Thomas, berjalan menuju Blok K yang sedang dibangun. Satu-satunya ruang yang siap adalah Kamar 1.
Di ubin yang kotor terdapat kasur tipis dan kumal. Itulah satu-satunya kamar tertutup meski mudah diintip dari jendela berjeruji besi.
Baca juga:Kontroversi Corby: Dari Talik Ulur Vonis Hingga Grasi Presiden
Biasanya sang PSK membawa sendiri kain tambahan untuk melapisi kasur. Ia akan diantre pelanggan- kebanyakan orang asing yang membayar Rp800 ribu.
Bisa juga praktik bergantian dengan PSK lain. Bau apek merebak, kondom bekas berserak. Ada obat nyamuk oles tapi tak banyak membantu. Apalagi di luar kamar.
Di selasar, di pojok bangunan, di rerumputan, bahkan bagian belakang gereja dan pura, akti-vitas seksual juga terjadi dengan maraknya. Untuk diizinkan berbuat para napi hams membayar kepada petugas. Rata-rata Rp80 ribu.
Thomas menunggu giliran bersama delapan napi asing lain. Ada yang menghabiskan lima menit, ada yang lebih. Tapi kalau lewat setengah jam biasanya akan diburu-buru oleh yang belum mendapat giliran.
"Saya dijanjikan semalam suntuk, tapi nyatanya cuma setengah jam. Tak apa-apa. Kalau Anda 2,5 tahun tanpa seks, waktu 30 menit cukuplah," kata Thomas.
Malam seks biasa berlangsung sampai menjelang pagi. Semua melibatkan uang yang ujungujungnya masuk ke kantong petugas. Jumlahnya bisa melampaui gaji mereka. Selamat datang di Hotel Kerobokan.
Tiga kali kapasitas
Kerobokan adalah penjara terbesar di Bali. Luas keseluruhan 4 ha, dibangun dengan cepat pada 1976, menggantikan penjara di Denpasar yang kemudian diubah menjadi mal.
Ketika Thomas pertama kali masuk (ia dua kali menghuni Kerobokan, bahkan pernah lari ke Jakarta dan tertangkap sampai dipenjara di LP Cipinang) awal 1990, jumlah penghuni cuma 320 orang.
Sekalipun harus berbagi dengan napi lain, Thomas rutin mendapat pasokan narkoba dari pacarnya yang setiap hari berkunjung. Uang diserahkan ke penjaga, narkoba terbungkus plastik diselipkan di dalam vaginanya.
Penjara yang semula diperuntukkan bagi narapidana laki-laki itu lama-lama makin penuh sampai hampir 1.000 orang. Blok W sebagian diperuntukkan bagi perempuan dan sebagian waria.
Baca juga:Kepala Lapas Sukamiskin Bandung Ditangkap KPK, Ini Dugaan Kasusnya
Di Kerobokan, yang disebut "Pemuka" karena paling disegani adalah Saidin. Bekas tentara itu masuk setelah vonis 15 tahun akibat pembunuhan dengan memenggal kepala, demi bayaran Rp 3 juta, Maret 1998.
Ia dibantu Tony, adiknya. Desember 1999, Tony menggalang pelarian besar-besaran.
Memanfaatkan kelemahan 14 penjaga yang sehari-hari bahkan menyerahkan kunci kepada para "tamping" (pemimpin blok alias anak buah "Pemuka"), mereka membuat kegaduhan.
Ada ledakan, ada kebakaran. Tapi tak semua tahanan ikut. Hanya 289 yang lari, dan setelah pengejaran dan penggerebekan, 104 orang tertangkap lagi. Dalam beberapa minggu, dua lusin lagi tahanan tertangkap.
Tak satu pun dari 54 tahanan perempuan ikut lari. Padahal niat semula Tony ingin mengajak Nita Ramos, pacarnya yang pengedar narkoba asal Filipina. Tapi gagal.
Seperti kantor PBB
Di Kerobokan, narapidana narkoba amat dominan meski penjahat lain juga banyak. Pencuri, perampok, koruptor, penyodomi juga ada. Ada pula dokter gigi yang mengaborsi 88 janin.
Belakangan masuk terpidana kasus Bom Bali I Imam Samudra dkk. Tapi karena kebanyakan tahanan menjadi pecandu sejak masuk, maka napi narkoba menjadi istimewa.
Kegiatan ekonomi dan perputaran uang di penjara terjadi karena mereka. Kesejahteraan petugas juga meningkat karena mereka.
Banyak napi narkoba orang asing. Kerobokan bagaikan kantor PBB yang isinya manusia dari pelbagai negara.
Belanda, Italia, Prancis, Inggris, Skotlandia, Swedia, Rusia, Jerman, Meksiko, Nigeria, Kamerun, Brasil, Argentina, Peru, AS, Australia, Nepal, Bangladesh, Taiwan, dll.
Napi pertama yang terancam hukuman mati adalah Michael Blanc, orang Prancis yang tertangkap di Bandara Ngurah Rai karena menyelundupkan 3,8 kg hashish di dalam tabung selam, 26 Desember 1999.
Tapi uang ratusan juta mengurangi hukuman dia menjadi seumur hidup.
April 21, petugas bandara menangkap Vincente Garcia, orang Meksiko, yang datang bersama Clara Gautrin dan berpura-pura sebagai pasangan kekasih. Keduanya memasukkan 15 kg kokain.
Vincente semula juga diancam hukuman mati. Tapi dengan ratusan juta rupiah yang digelontorkan oleh sindikatnya membawanya ke vonis 15 tahun dan Clara tujuh tahun.
Kalau ada perbedaan hukuman antara Michael dan Vicente, itu jelas karena perbedaan jumlah uang untuk mengatur vonis.
Ada juga Juri Angione, orang Italia yang tertangkap karena 5,26 kg kokain yang disembunyikan di dalam pembungkus papan selancar, 3 Desember 2003. Ia dihukum seumur hidup.
Nasib berbeda dialami temannya yang bekerja untuk sindikat yang sama, Marco, orang Brasil yang tertangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Banten, karena menyelundupkan 13 kg kokain di dalam pipa kerangka peralatan layang gantung.
Marco divonis mati.
Juri, menurut penuturannya, telah 30 kali menyelundupkan aneka jenis narkoba ke banyak negara, lewat aneka cara.
"Satu kilo hashish yang terbagi menjadi bungkusan bulat kecil-kecil bisa saya telan di dalam perut," katanya.
Tertangkap setelah puluhan kali menyelundup, menurut Juri, itu karena sudah waktunya. Juri belakangan kawin dengan Ade, perempuan asal Timor Timur, dan punya anak.
Sementara Marco kini menunggu eksekusi di LP Nusakambangan, Jawa Tengah.
Ada pula Emmanuel, orang Nigeria yang dijatuhi hukuman mati karena menyelundupkan 400 g heroin yang dibawanya dari Pakistan.
Ia frustrasi karena melihat ironi: ia ditahan karena obat bius, sementara para sipir memperdagangkannya bak kopi saja. Ia marah dan merusak pintu, sehingga dihukum harus masuk ke sel "tikus".
Di sel sempit tanpa WC (karenanya perlu plastik untuk buang air besar) itu orang kadang bisa tinggal sampai dua bulan. Di sel "tikus" beberapa napi meninggal karena TBC, hepatitis, atau AIDS.
Dalam suatu kali hukuman Emmanuel berbagi dengan Scott Rush, pemuda 23 tahun anggota Bali Nine yang hukumannya ditingkatkan menjadi mati di tingkat kasasi.
Napi Ruggiero asal Brasil lain lagi. Ia mencoba kabur setelah gagal membeli kebebasan. Ditipu pengacara, diperas polisi, jaksa, dan hakim.
Tak kurang dari 18 ribu dolar AS (waktu itu setara Rp 150 juta) telah dikeluar-kannya untuk persiapan, termasuk bikin paspor Prancis palsu.
Apa mau dikata, pelariannya dipergoki sesama napi dan diteriaki "Maling! Maling!" Ruggiero pun masuk ke sel "tikus".
Napi asal California, Gabriel, juga coba kabur. Demikian pula beberapa napi asal Indonesia. Semua gagal.
Di sisi lain, kemewahan didapat terhukum lain seperti jutawan Australia Chris Packer yang ditangkap karena menyimpan senjata tanpa izin di dalam yacht-nya.
Tentu ia tak perlu ikut prosedur registrasi, masuk sel asimilasi, apalagi penggundulan rambut. Hampir tiap malam ia menggelar pesta dengan makanan dan minuman mewah.
Di blok lain, Vicente melengkapi kamarnya dengan televisi plasma 26 inci, pemutar DVD, sambungan internet, kamar mandi dengan air panas-dingin.
Pacarnya, Clara, mengganti lantai dengan keramik biru, juga toilet gaya Barat. Ia berhak memilih teman sekamar, maksimal dua orang. Sementara di sembilan sel lain napi perempuan berdesakan, ada yang sampai 15 orang.
Tapi raja pemilik segala kemewahan adalah IT yang dikenal sebagai bandar besar ekstasi di Bali. Pertama kali menginap di Hotel Kerobokan pada 1996 setelah ditangkap memasukkan 20.781 pil ekstasi dari Amsterdam, bersama istrinya yang orang Belanda.
Ia dijatuhi hukuman 14 bulan saja. Sekeluar dari Kerobokan IT malah makin besar. Memiliki banyak kaki-tangan, menyogok aparat keamanan, bahkan memberikan mobil dan rumah kepada beberapa oknum aparat.
Tapi Maret 2002 polisi menggerebek toko elektronik milik dia di Seminyak. IT disergap bersama 80 ribu tablet ekstasi, 600 g kokain, beberapa kg bubuk bahan ekstasi, satu kg heroin, lima set mesin pencetak ekstasi.
Ikut disita pula sepucuk pistol kaliber .22 dengan 14 peluru, juga sebuah granat aktif. Uang langsung menggelontor.
Jumlah barang bukti dikurangi, ihwal mesin pencetak ekstasi tak disinggung dalam dakwaan.
Keberadaan IT sebagai produsen dan distributor diabaikan. Hakim bermurah hati mengganjar dia 13 tahun penjara, dan tambahan 3 tahun untuk kepemilikan senjata.
Kamarnya di Kerobokan bagai hotel dengan peralatan elektronik langkap, meski sering ditinggal keluar dengan surat jaminan dari Kepala LP.
IT mengubah bangunan kosong bekas percetakan di dekat lapangan tenis menjadi pabrik mebel.
Ia memasok bahan dan mesin seharga Rp470 juta. Juga mempekerjakan 42 napi dengan gaji mingguan yang layak. Ia juga membagi keuntungan kepada LP.
Tapi belakangan orang tahu itu kedok belaka. Di balik bunyi mesin mebel, aktivitas pencetakan ekstasi menjadi tersamar. Dengan uang, pabrik ekstasi IT aman terlindung. Polisi tak bisa sembarangan masuk. Mereka perlu surat untuk memeriksa.
Dinamika berubah dengan masuknya napi teroris Amrozi cs. Dakwah mereka menyebar ke seantero penjara, bahkan berhasil memunculkan pengikut fanatik.
Ketika Bom Bali I melahirkan tragedi susulan Bom Bali II (2005), para teroris dipindahkan ke Nusakambangan. Tapi kondisi paling kejam terjadi sejak masuknya geng preman LB beserta pemimpinnya, AA, karena kasus pembunuhan.
Mereka benar-benar menguasai LP. Para petugas takut karena keluarga mereka diancam. Geng itu memelonco tahanan baru, dan tak hanya sekali-dua memperkosa napi perempuan.
Di masa itu banyak kasus kematian misterius. Meski rata-rata karena gantung diri, tapi para penghuni tahu itu gabungan antara overdosis dan siksaan.
Black Monster
Blok perempuan memiliki masalahnya sendiri. Tak hanya ladang subur bagi tumbuhnya lesbianisme, di sana pun perkelahian gara-gara rebutan pasangan bisa meledak hebat.
Tokoh "playboy" di antara napi perempuan adalah Renae Lawrence, satu-satunya perempuan anggota sindikat narkoba Australia Bali Nine.
Napi yang sebelumnya sudah menjadi PSK, di dalam pun tak kehilangan konsumen. Bisa demi bayaran uang, bisa pula demi ganja, heroin, atau shabu.
Tapi yang tidak tahan tekanan bisa bunuh diri. Dani, mantan teller yang mencuri Rp42 juta dari bank tempatnya bekerja, bunuh diri dengan menenggak cairan insektisida campur pembersih toilet.
Suaminya kabur dengan perempuan lain sambil membawa kedua anaknya, sementara proses persidangan Dani masih berjalan.
Schapelle Corby menghabiskan lima tahun pertama masa hukuman 20 tahunnya dengan masuk-keluar rumah sakit dengan pelbagai gangguan, kejiwaan maupun fisik.
Ia selalu diawasi karena dikhawatirkan akan bunuh diri. Keluarganya berjuang keras untuk mengeluarkannya dari Kerobokan, termasuk memohon ampun kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Angka kehamilan juga cukup tinggi, namun hanya sebagian kecil yang dipelihara oleh ibunya. Kebanyakan digugurkan dengan cara tidak aman pula.
Kalau Hotel Kerobokan mengeluarkan keanggotaan, barangkali Fanya (bukan nama samarannya) memegang kartu platinum.
Perempuan asal Timor Timur yang dijuluki Black Monster itu 20 kali keluar-masuk tahanan karena aneka kejahatan. Memacari turis untuk mencuri barang-barangnya, atau mencopet di diskotek.
Di setiap hotel yang diinapi calon korbannya, ia selalu ikut dan ketika si calon korban lengah, ia menguras harta benda.
Di dalam penjara Fanya selalu bikin gaduh. Teriak-teriak, menangis, berkelahi juga suka melemparkan ke halaman plastik berisi tinja. Beberapa kali ia dijebloskan ke sel "tikus" atau sel isolasi di bawah menara.
Nah, saat Fanya dikurung di sel menara itu, di sel berbeda terdapat napi asal Skotlandia Robert.
Bekas pelaut yang setiap hari mabok itu juga dikenal punya libido besar dan setiap saat menyewa PSK dan berhubungan di sembarang tempat. Malam itu, dalam keadaan mabok arak, Robert ditawari oleh sipir, "Want to have fun, Robert?"
Ia mau saja. Sipir membuka pintu dan mempersilakan Robert menuju ke sel Fanya yang tetap terkunci. Robert dan Fanya berhubungan seks dipisahkan jeruji besi, sipir menikmati adegan itu.
Blok W heboh ketika beberapa minggu kemudian mendapati sang Black Monster hamil tapi bungkam soal si pelaku. Dua bulan setelah bebas ia melahirkan bayi perempuan putih berambut keriting pirang, lantas membawanya ke Kerobokan.
Orang menduga bahwa itu anak Michael orang Prancis, karena dititipkan kepada ibu Michael yang tinggal sementara di Bali.
Padahal Robert ayah si bayi meski ia takut mengakui. Di Skotlandia, ia sudah punya dua anak.
Sang Black Monster tak mempersoalkannya. Malah ketika ia kembali check-in di Hotel Kerobokan, dengan enteng ia bilang, "Sudah ada keluarga yang mengadopsi anakku. Tentu, aku juga dapat uang karenanya."
Membuat kehidupan sendiri
"Orang bisa gila kalau tidak membuat sendiri kehidupannya," kata Ruggiero. Atau mengembalikan kehidupan yang pernah hilang. Maka, para penjudi tetap berjudi, pengedar tetap jualan.
Tiga napi Afrika kasus pemalsuan dolar AS juga melanjutkan bisnis. Mereka mengajak sesama napi untuk mencari penyandang dana. Katanya, kertas, cetakan, dan cairan kimia dibeli di Swiss dengan harga puluhan ribu dolar.
Beberapa lembar dolar AS sempat lolos dan bisa digunakan, tapi belakangan gagal total.
Sesama napi pun berkelahi. Waria napi Dedi mengeluh tak punya uang. Seorang teman menyarankannya membuat film porno untuk dijual lewat internet.
Bersama beberapa orang, juga napi hitam asal Afrika, Dedi mengajak seorang sipir yang kebetulan homo. Mick, tahanan asal Inggris, dan Ari asal Belanda, membantu mensyut dengan kamera video.
Hasil pertama buruk. Hasil kedua, dengan latar cerita gaya Cleopatra, juga gagal karena semua nafsu ketika syuting berlangsung. Tak ada yang bertanggung jawab pada kamera.
Razia oleh petugas dalam selalu diakhiri dengan penebusan.
Setiap napi harus membayar kembali narkoba miliknya yang disita. Dalam skala besar, narkoba yang dirampas oleh kaki tangan sindikat dijual ke luar. Sebagian masuk lagi dan dibeli sendiri oleh napi.
Mick pernah memaki-maki mendapati ekstasi buatannya, lengkap dengan cap dan tanda khas, masuk lagi dan dijual Arman.
Tapi bisa juga narkoba dari dalam dipakai ke luar. "Kurang hebat apa? Aku tahanan, tapi aku yang mentraktir teman di luar pesta narkoba," kata Ruggiero ketika suatu saat "liburan" ke luar penjara.
Acara itu lazim dilakukan asal membayar semua keperluan. Surat keterangan dari kepala penjara, izin berobat dari dokter, honor petugas pengawal, biaya makan dan kendaraan, dll.
Tapi pernah terjadi, seorang napi asal Taiwan, Tommy, memanfatkan itu untuk menghilang. Pernah juga terjadi napi tertangkap setelah lepas, sementara pengawalnya tertangkap polisi di rumah bordil.
Hari-hari bezuk juga dimanfaatkan untuk jual beli narkoba atau menyelundupkan benda lain. Memang ada larangan, "Itu bullshit semua. Anda bisa memasukkan gajah kalau ada uang," kata Steven, napi Inggris.
Di ruang beratap asbes yang ukurannya sepertiga lapangan tenis itu acara temu kangen napi dengan kerabat selalu dilakukan. Semua berdesakan namun tak saling mempedulikan.
Ada yang berciuman, ada pula yang melakukan seks oral. Sementara tak sedikit anak kecil berlarian. Filo, napi Prancis yang terkenal gila, cuek saja duduk membiarkan pacar Indonesianya duduk di atasnya.
Sekalipun si perempuan mengenakan rok panjang, orang tahu dia sedang apa. Filo hanya membuka-tutup mata sambil mengepulkan asap rokok.
Kebutuhan pokok seperti rokok bisa didapatkan di sel yang dijadikan toko oleh pemiliknya, Wayan, bekas dosen fakultas ekonomi yang dihukum empat tahun karena membunuh pria yang menyelingkuhi istrinya.
Napi perempuan pun tak kalah aktif. Meski mereka terlinai seperti sekedar duduk di pangkuan pacar atau suami, aktivitas seksual telah terjadi. Seorang napi perempuan berhasil memodifikasi celana jeans dengan ritsleting di bagian bawah.
Dipaksa pindah
Pukul 4.30 pagi Ruggiero dibangunkan oleh dua penjaga. Ia tak sempat berganti pakaian kecuali menyelipkan telepon ke kantong celana pendeknya. Di halaman kantor, berjajar serombongan polisi bersenjata laras panjang.
Ternyata sudah ada Arman, Michael, Vicente, dan dua orang Nigeria. Tangan mereka diborgol. Semua bingung dan tak siap. Kemudian muncul Juri bertelanjang kaki. Setelah itu muncul Nita.
"No question, no answer," kata polisi saat Ruggiero bertanya. Para napi minta izin untuk mengambil bawaan tapi tak diperbolehkan. Polisi itu membisu semua.
Sipir yang sehari-hari mereka kenal pun hanya bilang, "Kami tak tahu apa-apa."
Ruggiero mengirim pesan pendek ke konsulat Brasil, tapi tak berbalas. Dengan dua minibus mereka berdelapan dibawa ke bandara. Masing-masing diberi sebotol air mineral dan sebungkus nasi goreng.
Saat menjelang masuk ke pesawat terbang, di antara tatapan mata pengunjung bandara, ada orang Italia menyapa. "Aku mau dipindahkan. Aku sudah lama di penjara sini," kata Juri.
Mereka masuk ke dalam pesawat setelah penumpang di deret depan dan tengah duduk. Satu jam kemudian pesawat berhenti di Surabaya. Vicente, Nita, Michael, dan Arman turun. Sisanya meneruskan penerbangan ke Jakarta.
Ya, di kota yang panas itu Ruggiero, Juri, dan dua napi Nigeria mendarat. Mereka langsung menuju ke Cipinang. Mereka diberi seragam, lantas dibawa ke sel isolasi yang akan mereka tinggali selama dua minggu.
Sebelum itu, dua penjaga memukul dan menendang mereka. Dua-tiga kali.
"Ini Jakarta, bukan Bali," kata salah seorang. "Yeah, I know. Tapi saya enggak butuh pukulan," kata Juri.
Pagi itu di Kerobokan, Ade, istri Juri, datang seperti biasa. Ia mendaftar dan menyerahkan Rp5.000,- kepada penjaga, tapi ditolak. Saat ditanya kenapa, dia bilang, Juri sudah dipindahkan. Ade pun jatuh pingsan.
Artikel ini pernah tayang di Majalah Intisari edisi Mei 2010, oleh Mayong S. Laksono