Advertorial

Izin Alexis Tidak Diperpanjang: Sejak Kapan Bisnis Pelacuran Ada di Jakarta?

Moh Habib Asyhad

Editor

Intisari-Online.com -Tidakdiperpanjangnya izin griya pijat Hotel Alexis di Jakarta Utara kembali mencuatkan obrolan tentang prostitusi di Ibu Kota.

Banyak yang mengapresiasi langkah Pemerintah Provinsi, ada pula yang khawatir, penutupan ini akan berdampak pada munculnya kantong-kantong prostitusi baru di Jakarta.

Selalu menarik membirakan bisnis esek-esek di Jakarta, yang sudah ada sejak ibu kota ini ada. Yap, prostitusi di kota ini memang sudah setua kota ini sendiri.

Banyak yang bilang, mencari tempat hiburan malam di Jakarta seperti mencari warung pecel lele. Ia ada di sepanjang jalan, baik yang remang-remang maupun yang terang benderang.

Pertanyaannya, tapi sejak kapan sebenarnya hal itu terjadi?

Ternyata sejak Batavia baru berdiri kisah tentang pelacuran sudah hadir.

Leonard Blusse menuliskan ini dalam bukunya berjudul Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia, yang diterbitkan oleh penerbit LKiS Yogyakarta.

Dalam catatannya, Blusse menyebut bahwa pelacuran sudah ada tujuh tahun setelah kota Batavia berdiri pada 1619. Artinya pelacuran di kota yang dulunya bernama Jayakarta itu ada sekitar tahun 1625.

Dalam sebuah catatan di dewan kota, Hendrik menulis bahwa pada 13 Agustus 1625 ada seorang perempuan Pribumi bernama Maria datang menghadap dewan.

Ia mengadukan suaminya, Manuel yang memaksa Maria dan budak perempuannya untuk melacur.

Rupanya Manuel mengubah rumahnya jadi tempat pelacuran. Pelanggannya adalah pegawai VOC.

Lalu di tahun yang sama adapula rumah pelacuran milik Valdero. Ia memelihara budak-budak perempuan. Setiap hari para budak disuruh melacur. Penghasilannya sehari sekitar setengah riall. Atau paling tidak 3/8 riall.

Bahkan, masih dalam bukunya, Leonard Blusse menulis bahwa pada 1642 VOC mengeluarkan peraturan soal pelacuran. Tapi peraturannya tak jelas.

Dalam aturan itu disebut setiap keluarga Kristen dilarang mempekerjakan wanita pribumi sebagai pembantu. Lalu melarang mengundang perempuan baik-baik untuk berzinah. Tapi tak dijelaskan siapa perempuan baik-baik itu.

Semenjak aturan pelacuran muncul, rumah-rumah lacur pun menjamur. Hendrik E Niemeijer menjelaskan ini dalam bukunya berjudul Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII.

Dalam bukunya Hendrik menulis beberapa rumah lacur terkenal, seperti In den Applaboom (Pohon Apel).

Pemiliknya seorang Jerman bernama Jan van Dansijcq. Lalu De Berebijt (Gigitan Beruang) milik Hubertt Yselstein. Selain itu ada juga rumah pelacuran yang dikelola perempuan Asia. Seperti rumah lacur milik Sara van Lamay dan Sara van Bali.

Di awal abad XVII, muncul pula nama pelacur terkenal, yakni Adriana Augustijn, Anna de Rommer, Dominga Metayeel, dan Lysbeth Jansz. Dari namanya pelacur ternama ini adalah Mestizo, separuh Portugis.

Tapi Hendrik tak menjelaskan itu dalam bukunya secara gamblang. Namun, portugis memang sudah masuk ke Nusantara satu abad sebelum VOC masuk, abad XVI.

Makanya di abad XVII, tak heran apabila anak-anak keturunan portugis sudah banyak.

Begitupula budak-budak yang kemudian dibaptis memakai nama Portugis pun pasti sudah banyak jumlahnya di Abad XVII. Makanya jangan heran kemudian banyak nama wanita Portugis jadi pelacur.

Artikel Terkait