Intisari-Online.com - Rencana penutupan Dolly, kawasan lokalisasi prostitusi di Surabaya, oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memancing beragam respons. Seperti ditulis Kompas.com, ada warga yang menolak, karena mereka takut jika Dolly ditutup, mereka akan kehilangan mata pencaharian.
Telepas dari ulasan para ahli ilmu sosial tentang sebab musabab munculnya pelacur dan seberapa jauh peranan mereka dalam mekanisme masyarakat, sudah sejak berabad-abad lalu masyarakat berusaha menghapus pelacuran dari muka bumi. Tolok ukur penilaian yang paling sering dipakai adalah tolok ukur agama dan moral.
Lily Wibisono dalam Intisari edisi Desember 1993 menulis, usaha menyelamatkan dan merehabilitasikan pelacur bahkan sudah dilaksanakan dengan amat serius oleh Kaisar Yustinianus, yang berkuasa di Kekaisaran Byzantium tahun 527 - 565.
(Baca juga: 6 Cara Menjadi Orang yang Penuh Perhatian)
Yustinianus konon adalah kaisar yang tak ragu membunuh orang-orang tak bersalah dan merampas hak milik orang lain. Ia dikenal tak begitu peduli pada lembaga-lembaga yang mapan, bahkan disebut-sebut sebagai penghancur tradisi.
Tapi ia juga tercatat sebagai kaisar yang tangguh, di saat Kekaisaran Romawi Barat mulai digerogoti oleh kekuatan setempat. Ia menaklukkan Persia, suku bangsa Vandal (sebuah-suku bangsa di Jerman) dalam waktu tak lebih dari 2 bulan, merebut kembali Afrika (setelah 96 tahun terlepas dari kekuasan Byzantium), menaklukkan suku bangsa Goth di Italia, dan mengalahkan bangsa Moor.
Kepiawaiannya dalam perang, menurut Moses Hadas dalam A History of Rome (1956), juga dibarengi dengan kegesitannya merapikan hukum sipil. Hukum Romawi yang awut awutan dan membingungkan ditertibkan menjadi jelas dan ringkas.
Itu sebabnya peninggalan Yustinianus yang paling terkenal adalah kitab undang undangnya, Corpus Juris Civilis. Kitab ini mengumpulkan, mengharmonisasikan, dan mensistematisasikan semua hukum yang pernah ada. Di zaman modern, kitab ini malah menjadi rujukan dari penyusunan hukum di Eropa Barat. Bagian keempatnya, yang disebut Novel, memuat 160 undang-undang baru yang dibuat pada masa pemerintahan Yustinianus. Isinya memaparkan pelbagai masalah di masyarakat yang berkaitan dengan hukum, termasuk masalah pelacuran, seperti yang tercermin dalam Novel 39 dari Corpus Iuris.
"Hukum-hukum kuno dan para kaisar terdahulu telah memandang nama dan bidang pekerjaan mucikari dengan penuh kebencian: Kami pun telah memperbesar hukuman dan menerapkan undang-undang tambahan untuk melengkapi kekosongan yang ditinggalkan pendahulu kami. Namun akhir-akhir ini kami diberi tahu tentang makin berkembangnya kejahatan semacam itu di kota agung ini .... Ada orang-orang tertentu yang memperoleh nafkah dari laba yang diperoleh secara menjijikkan. Mereka berkeliling ke seluruh negara untuk menipu anak-anctk gadis dengan janji akan memberikan sepatu dan pakaian.
Demikian jebakan mereka berhasil, anak-anak gadis itu dibawa ke kota yang kaya ini untuk dikumng dengan pakaian dan makanan yang amat menyedihkan. Mereka menyewakan tubuh para gadis itu kepada umum, namun mengambil semua uang sewanya untuk diri sendiri .... Kami bertekad untuk membebaskan kota ini dari polusi semacam itu."
(Baca juga: Apakah Wajar Sering Pindah-pindah Pekerjaan?)
Ternyata, Yustinianus dan permaisurinya, Theodora, menyelenggarakan juga program rehabilitasi bagi para pelacur (tidak disebutkan apakah mucikari ikut dijaring pula). Menurut penulis Procopius, termasuk dalam program itu ialah menghapus istilah "mucikari". Para pelacur dibebaskan, lalu diberi nafkah cukup dan martabatnya disamakan dengan orang lain. Caranya, mereka mengubah sebuah istana menjadi biara khusus untuk para wanita yang bertobat. Tempat ini dinamakan Repentance (Pertobatan). Biara ini diberi anggaran yang besar, bahkan dibangun pula rumahrumah yang indah supaya tak ada alasan bagi para wanita itu untuk mengeluh.
Namun Procopius memberikan catatan pinggir juga di bagian lain bukunya, "Theodora mengumpulkan lebih dari 500 pelacur yang bekerja di pasar dengan tarif 3 obol (tak cukup untuk hidup) - lalu mengirim mereka ke seberang (mungkin yang dimaksudkannya adalah seberang Selat Bosporus, karena Konstantinopel yang kini bernama Istanbul terletak di tepinya - Red.) dan mengurung mereka dalam Kuil Pertobatan untuk memaksa mereka mengubah jalan hidup. Beberapa orang lebih suka menerjunkan diri ke bawah di malam hari daripada disuruh mengubah cara hidup mereka."
Tak pelak lagi usaha keras seperti yang dilakukan pasangan kaisar dan permaisurinya itu terus berulang di sepanjang sejarah umat manusia selama 15 abad berikutnya. Kini, pergulatan umat manusia dengan pelacuran terjadi lagi, khususnya di negeri ini. Kompas.com menulis, rencana penutupan Dolly, kawasan lokalisasi prostitusi di Surabaya dicanangkan pada Rabu (18/6/2014) malam.