Intisari-Online.com—Dunia gempar dengan kebijakan presiden AS, Donald Trump yang terkesan anti-imigran dan anti-Islam. Walau dikatakan alasannya demi keamanan negara AS, kebijakan tersebut tetap memicu berbagai reaksi dari belahan dunia.
Terlepas apapun alasannya, kita bisa mempelajari sesuatu dari situasi ini. Yaitu, mengenai tembok pemisah perbedaan yang dibangun Trump terhadap imigran dan tujuh negara Islam tersebut kini menambah riuhnya isu SARA di dunia.
Tak hanya di AS sana, negeri kita dan negara-negara lain juga sebetulnya mengalami hal yang sama. Tanpa kita sadari, semakin hari semakin banyak orang yang membangun tembok pemisah yang semakin tinggi karena perbedaan. Kondisi ini paling jelas terlihat di dunia maya, di mana orang saling beradu karena perbedaan pendapat dan karena perbedaan-perbedaan lainnya. Akibatnya adalah perpecahan sudah menanti.
Persoalan ”membangun tembok pembatas/pemisah” ini menarik untuk direnungkan sebab nyatanya kita memang lebih tertarik untuk memperkuat perbedaan ketimbang meningkatan persatuan dan rasa saling memiliki. Seperi kata Isaac Newton, kita lebih banyak membangun tembok pemisah ketimbang jembatan pemersatu.
Bukan, wacana ini bukan ditilik dari segi agama, suku, ras, atau perbedaan-perbedaan itu. Namun, dari segi psikologis, manusia memang cenderung untuk membuat tembok pembatas terhadap orang lain yang berbeda dengannya. Kita cenderung memilih “jarak” ketimbang “terhubung” dengan orang yang berbeda dengan kita.
Contohnya saja, ketika kita duduk bersampingan dengan orang asing di tempat umum. Jarang sekali kita langsung merasa nyaman dengan kehadiran mereka. Sebisa mungkin, kita berupaya tidak berkomunikasi dengannya. Banyak faktor, bisa jadi karena takut dan merasa tidak aman. Namun yang jelas kita tidak sepenuhnya langsung bersikap baik pada orang lain.
Semakin kita menganggap kalau orang lain yang berbeda dengan kita adalah musuh, maka semakin tinggi tembok yang kita bangun untuk berhubungan dengannya. Jika diteruskan, semakin besar pula kemungkinan perselisihan akan terjadi. Sebab tembok itu tidak hanya mengalangi hubungan, tapi juga bisa menyebabkan miskomunikasi dan mispersepsi.
Runtuhkan tembokmu!
Lalu bagaimana caranya meningkatkan kepedulian akan persatuan dan rasa kepemilikan di era perpecahan ini? Itu tergantung bagaimana kita dalam diri kita sendiri tidak terjebak dalam tren “membangun tembok” tadi. Jika kita terus menerus membuat batas dan menolak perbedaan, kita tidak akan bisa merasa saling memiliki sebagai sesama warga bumi atau lebih mengerucut lagi, sebagai sesama warga negara.
Jangan biarkan situasi sosial politik dunia, bahkan situasi negeri kita mempengaruhi cara pandang kita dalam menghadapi perbedaan. Belajar dari ilustrasi yang terjadi beberapa hari setelah malam inagurasi Trump, ketika tiga orang kulit putih dari Texas singgah di sebuah kafe penuh pengunjung, Busboys and Poets, di Washington DC.
Mereka adalah pendukung Trump yang turut serta dalam inagurasi itu. Pelayan kafe itu, Rosalynd Harris, seorang perempuan kulit hitam yang sebelumnya turut dalam Women’s March, unjuk rasa menentang prinsip-prinsip Trump. Terlihat jelas, kedua pihak ini memiliki preferensi politik yang berbeda dan berbeda ras pula.
Namun cerita menarik terjadi di hari itu, walau terpisah dalam perbedaan pilihan politik, mereka tetap memiliki interaksi yang hangat. Bahkan Jason white, memberi tip sebanyak 450 dolar AS pada Harris. Ia menulis note pada Harris, “Kita mungkin berasal dari budaya yang berbeda bahkan memiliki pendapat yang berbeda mengenai berbagai hal. Namun bila semua orang bisa tetap tersenyum ramah dan menunjukkan kebaikan seperti kamu melayani kami, negara kita mungkin akan damai dalam kesatuan”.
Bukan soal uang tip yang ditinggalkan Harris yang menjadi poin utama dari cerita di atas. Namun Harris yang memilih meruntuhkan tembok perbedaan ketimbang membangun tembok lebih tinggi. Kebaikan dan keramahannya membuat White dan teman-temannya merasa diterima di tempat yang sebetulnya bisa saja menolaknya. Harris bisa saja memperlakukan mereka dengan cara yang tidak sopan. Karena begitulah sikap yang umumnya dilakukan di dunia saat ini.
Mengapa kita tidak melakukan hal yang sama seperti ilustrasi di atas ? Suku, ras, agama, status, jabatan, prefensi politik boleh berbeda, tapi bukan berarti perbedaan itu membuat kita membatasi kebaikan dan penghargaan pada orang lain. Jangan karena kita sibuk membangun tembok perbedaan, rusak persatuan dan saling memiliki dengan sesama.