“Banyak hoax bertebaran. Antara hoax dan nyata kadang begitu tipis perbedaannya. Lantas kita harus bagaimana?” tulis Nikki Putrayana di akun Facebooknya. “Ibarat membaca buku. Bacalah mulai dari kata pengantarnya sampai bab terakhir. Bila hanya sinopsis di cover belakang, niscaya tersesat.”
Nikki adalah seorang dokter yang berdinas di Kota Surabaya. Beberapa tahun belakangan, dia kerap menjumpai berita dusta (hoax) di dunia maya. Celakanya, kabar hoax sudah merajalela ke segala aspek kehidupan manusia—dari politik, agama, sampai kesehatan.
“Membahayakan jiwa sih ngga... Cuma menyesatkan,” ujarnya. “Sering saya ingatkan agar lebih baik mencari dari sumber resmi. Atau tanya kepada sumber yang kredibel.”
Nikki mencontohkan kabar menyesatkan yang datang dari media sosial. Kabar itu menampilkan seorang tokoh agama nan sohor dalam gambar cuplikan layar. Si tokoh mengungkapkan pengalamannya membeli obat tablet dan menemukan kawat di dalamnya. Kemudian, si tokoh mengimbau untuk menghancurkan tablet sebelum dikonsumsi. Entahlah, apakah itu benar perkataan si tokoh, atau ada orang iseng mencatut namanya untuk cerita. “Kan, tidak semua obat bisa dibegitukan.”
Contoh kabar dusta lainnya, sambung Nikki, adalah kabar yang mengatasnamakan Ikatan Dokter Indonesia, yang tersiar lewat WhatsApp. Kabar itu menerangkan tentang wabah pengerasan otak yang disebabkan minuman-minuman dalam kemasan yang beredar di masyarakat—disebut juga 19 merk minuman tersangka. Pada bagian akhirnya seolah meyakinkan asal-usul kabar: “Info dr. H. Ismuhadi, MPH. Mohon dishare, sayangi keluarga”—ditambah dengan ikon bunga.
“Hoax ini sudah beredar tiga tahun yang lalu rasanya, tapi tiap tahun selalu muncul. IDI juga sudah bikin sanggahan di website resminya,” kata Nikki.
Bagaimana nasib dokter yang dicatut namanya. Menurut Nikki, nama dokter itu pun tak pernah ada alias hoax. “Gelar dokter kok MPH.”
Sejatinya tidak begitu rumit untuk mengetahui apakah sebuah kabar layak kita kutip atau sekadar kita anggap angin lalu. Kuncinya harus selalu ragu dengan kebenaran kabar itu. Namun tidak berhenti pada keraguan, kita pun bisa berlagak detektif, yang mencoba meneguhkan keyakinan tentang kebenaran sebuah berita. Kita memastikan apakah sebuah berita memuat kabar benar atau kabar dusta belaka:
Arus informasi bak segerombolan naga yang menjalar-jalar kian kemari. Kini, orang-orang tidak sekadar menyimaknya, tetapi juga menghasilkannya sendiri. Lalu, apakah kita masih membutuhkan jurnalisme?
Sebuah keniscayaan, teknologi telah mengubah pewartaan dan peradaban. Warta tersiar dari media arus utama sampai jejaring media sosial. Fakta, rumor, gosip, propaganda, dan kabar dusta datang berbaur menghampiri kita dengan berbagai wajah.
Kita melihat jurnalisme telah muncul dengan berbagai wajah. Ada orang menjuluki “jurnalisme alkohol,” sebutan untuk jurnalisme isapan jempol belaka. Ada juga “jurnalisme kuning”, untuk menyebut media yang suka bombastis untuk membangkitkan emosi tanpa disertai fakta.
Penulis | : | Hery Prasetyo |
Editor | : | Hery Prasetyo |
KOMENTAR