Intisari-Online.com – Serbuan hoax di internet semakin memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Bahwa saat ini sudah terjadi daruat hoax bukan hanya kabar hoax atau isapan jempol semata, tapi memang benar-benar darurat.
Faktanya, materi hoax semakin banyak dan keprihatinan dari berbagai pihak makin kuat. Bahkan, pemilik Facebook, Mark Zuckerberg, kembali ke Indonesia hanya khusus membicarakan hoax.
Sebagai contoh, Rabu, 4 Januari 2017, mantan Presiden RI, BJ Habibie dikabarkan meninggal dunia. Berita sudah viral di hampir semua platform media sosial. Padahal, ini hanya hoax atau kabar bohong dan BJ Habibie masih sehat wal afiat.
Selaras kemajuan dunia digital, tsunami informasi begitu dahsyatnya, termasuk hoax. Herannya, informasi hoax justru mudah terkonsumsi oleh publik. Itu terlihat dari besarnya trafik di informasi-informasi hoax, termasuk sirkulasinya yang merambah ke semua platform digital.
Hoax sudah pasti menyesatkan dan setiap penyesatan akan berakibat penjerumusan yang pada akhirnya mengakibatkan bencana atau petaka kemanusiaan. Masih ingat hoax tsunami di Yogya saat gempa pada 2006 yang memperparah keadaan dan memperbanyak korban? Jelas unsur hoax bisa menjadi sumber fitnah dan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan?
Darurat hoax juga sampai memusingkan dua situs besar, Google dan Facebook. Keduanya dituntut menyediakan perangkat untuk menyaring postingan dan meminimalisasi hoax, namun masih kesulitan.
Country Director Google Indonesia Tony Keusgen mengakui, pihaknya bekerja keras membersihkan situs abal-abal. Namun masalahnya, Google sendiri kewalahan mengontrol peredaran berita hoax dan berbagai situs tak jelas yang diupload ke internet.
Hoax soal kematian BJ Habibie hanya satu kasus. Kecenderungannya justru makin banyak hoax bertebaran. Wajar pemerintah baru-baru ini menutup 11 situs yang dianggap suka menyebar hoax, kebencian atau perjudian. Sebelas situs itu adalah voa-islam.com, nahimunkar.com, kiblat.net, bisyarah.com, dakwahtangerang.com, islampos.com, suaranews.com, izzamedia.com, gensyiah.com, muqawamah.com, abuzubair.net.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengungkapkan, saat ini terdapat sekitar 43.000 situs yang mengklaim diri sebagai portal berita online. Tapi, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita asli kurang dari 300. Artinya, terdapat puluhan ribu situs berita online yang statusnya belum dapat dipastikan, apakah memang situs web dengan penanggung jawab resmi atau sekadar dimanfaatkan untuk menyebar berita palsu.
"(Situs yang belum terverifikasi) Bukan berarti negatif, tapi ada yang diduga dimanfaatkan untuk menyebarkan hoax," kata Rudiantara di sela deklarasi Masyarakat Anti-Hoax di Jakarta, Minggu (8/1/2017), seperti dikutip Kompas.com.
Darurat hoax juga disadari oleh Dewan Pers. Maka, Dewan Pers berencana memberikan barcode untuk media-media yang sudah terverifikasi sehingga memudahkan masyarakat dalam membedakannya dengan media "abal-abal" yang kerap menyebarkan hoax.
"Dengan ada barcode-nya, berarti media itu trusted (tepercaya), terverifikasi di Dewan Pers. Ini juga bertujuan meminimalisasi masyarakat dirugikan oleh pemberitaan hoax," kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo.
Rudiantara mengapresiasi upaya Dewan Pers menerapkan sistem barcode untuk verifikasi media resmi. Menurut dia, hal itu bakal membantu mewujudkan media online yang lebih berkualitas di Indonesia.
Tentu, ini menjadi tantangan dan tanggung jawab semua pihak untuk melawannya, juga momen krusial bagi media mainstream untuk bersikap dan ambil peran. Sebab, media mainstream memiliki sistem dan proses penyampaian informasi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Penulis | : | Hery Prasetyo |
Editor | : | Hery Prasetyo |
KOMENTAR