UU ITE semenjak itu menjadi momok yang menakutkan di masyarakat. UU ini awalnya lahir karena sikap tanggap pemerintah terhadap dinamika yang terjadi di masyarakat. Tak bisa disangkal bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.
UU ITE mulai dirancang pada bulan Maret 2003 oleh Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Awalnya, RUU ITE diberi nama Undang-undang Informasi Komunikasi dan Transaksi Elektronik oleh Departemen Perhubungan,Departemen Perindustrian,Departemen Perdagangan, serta bekerja sama dengan tim dari universitas yang terdiri atas Universitas Padjajaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Indonesia (UI).
Pada tanggal 5 September 2005, secara resmi Presiden Susilo Bangbang Yudhoyono menyampaikan RUU ITE kepada DPR melalui surat No.R/70/Pres/9/2005. Dr.Sofyan A Djalil (Menteri Komunikasi dan Informatika) dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia) ditunjuk sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan bersama dengan DPR RI.
Pada 25 Maret 2008, DPR menyetujui RUU ITE menjadi UU ITE. Implementasi UU ITE ini ternyata memberikan dampak pada demokrasi di Indonesia. Sejak pemberlakuannya, muncul kasus-kasus pembungkaman kebebasan berpendapat di internet yang dijerat dengan UU ITE.
Momok
Yang menjadi momok bagi masyaraka dalam UU ITE ini adalah pasal 27 ayat (3) yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Dari data Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), sebuah portal yang mengklaim sebagai penggerak kebebasan berekspresi di dunia online di Asia Tenggara, terjadi kenaikkan pelaporan kasus dari tahun 2013 hingga 2014. Sekitar 53 persen (41 kasus dari 72 kasus UU ITE) terjadi di tahun 2014. Angka rata-rata kasus UU ITE sampai Oktober 2014 menunjukkan bahwa terdapat empat kasus yang dilaporkan per bulan. Sedangkan wilayah persebaran pelaporan kasus terjadi merata dari Aceh sampai ke Makassar.
UU ITE yang paling banyak digunakan untuk menjerat kebebasan berpendapat di internet adalah pasal 27 ayat 3. Selama lima tahun terakhir, trennya meningkat pesat. Jika pada 2011 hanya tiga orang yang dijerat pasal 27, pada 2012 angkanya meningkat menjadi tujuh orang, lalu meningkat menjadi 21 orang pada 2013, dan naik lagi menjadi 41 orang pada 2014.
Revisi
Atas kasus-kasus tadi, muncullah suara-suara untuk melakukan revisi terhadap UU ITE khususnya pasal 27 ayat (3). Menanggapi hal itu, Presiden Joko Widodo secara resmi menyampaikan naskah RUU tentang perubahan atas UU ITE ke DPR melalui surat bernomor R-79/Pres/12/2015 tertanggal 21 Desember 2015. Seperti yang ditegaskan oleh Menkominfo Rudiantara, revisi UU ITE difokuskan pada Pasal 27 ayat (3) terutama terkait pengurangan ancaman pidana pencemaran nama baik dari enam tahun menjadi empat tahun.
Revisi juga untuk menegaskan bahwa pasal 23 ayat (3) merupakan delik aduan, sehingga harus ada laporan atau aduan dari korban pencemaran nama baik sebelum diproses oleh penyidik.
Revisi juga dilakukan terkait penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan yang sesuai sebagaimana proses yang diatur dalam hukum acara pidana. Tujuannya agar UU ITE sejalan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Setelah sempat menjadi pro-kontra, akhirnya revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mulai diterapkan. Revisi tersebut resmi berlaku usai melewati 30 hari sejak disahkan menjadi UU pada 27 Oktober 2016. Jadi, mulai berlaku Senin, 28/11/2016.
Ada tujuh poin penting yang perlu diperhatikan dalam UU ITE yang baru ini.
Penulis | : | Hery Prasetyo |
Editor | : | Hery Prasetyo |
KOMENTAR