Oleh: Agus Surono
Intisari-Online.com - Masyarakat masih banyak yang awam dan penasaran soal Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sebenarnya, bagaimana dan apa isi penting dalam UU itu dan bagaimana setelah direvisi dan berlaku pada 28 November 2016?
Membicarakan UU ITE tak bisa lepas dari kasus Prita Mulyasari, warga Villa Melati Mas Residence, Serpong, Tangerang Selatan, yang mencuat pada Mei 2009. Kasusnya sendiri bermula pada 7 Agustus 2008 ketika ia memeriksakan kesehatannya di RS Omni Internasional, Alam Sutera, Serpong, Tangerang Selatan.
Prita juga mengirimkan keluhannya ke surat pembaca detik.com pada 30 Agustus 2008. Atas keluhan yang beredar di ranah maya itu pihak manajemen RS Omni Internasional memasang iklan berisi bantahan atas surel Prita di Harian Kompas.
Kasus itu kemudian berkembang ketika pihak RS Omni menggugat Prita secara perdata atas pencemaran nama baik. Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan perkara gugatan perdata nomor 300/PDG/6/2008/PN-TNG.
Jaksa penuntut umum membidik ibu beranak dua ini dengan tiga dakwaan alternatif. Pertama, penuntut umum menjerat dengan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sementara dakwaan kedua dan ketiga, penuntut umum menjerat dengan Pasal 310 ayat (2) dan pasal 311 ayat (1). Sebagaimana diketahui, ketiga pasal tersebut dirancang untuk menjerat bagi pelaku yang diduga melakukan pencemaran nama baik dan penghinaan.
Seperti kita ketahui, akhirnya kasus Prita berakhir bahagia meski sempat mendekam di LP Wanita Tangerang. Pada 17 September 2012, Majelis Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) membebaskan Prita dari seluruh dakwaan atau bebas murni.
Korban lainnya
Ariel akhirnya divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta. Ia mendekam di Lapas Kebun Waru, Bandung setelah sebelumnya sempat menghuni tahanan di Mabes Polri dan Lapas Sukamiskin. Pada prosesnya, Ariel hanya dipenjara 2 tahun 1 bulan.
Disetujui DPR RI
UU ITE semenjak itu menjadi momok yang menakutkan di masyarakat. UU ini awalnya lahir karena sikap tanggap pemerintah terhadap dinamika yang terjadi di masyarakat. Tak bisa disangkal bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.
UU ITE mulai dirancang pada bulan Maret 2003 oleh Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Awalnya, RUU ITE diberi nama Undang-undang Informasi Komunikasi dan Transaksi Elektronik oleh Departemen Perhubungan,Departemen Perindustrian,Departemen Perdagangan, serta bekerja sama dengan tim dari universitas yang terdiri atas Universitas Padjajaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Indonesia (UI).
Pada tanggal 5 September 2005, secara resmi Presiden Susilo Bangbang Yudhoyono menyampaikan RUU ITE kepada DPR melalui surat No.R/70/Pres/9/2005. Dr.Sofyan A Djalil (Menteri Komunikasi dan Informatika) dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia) ditunjuk sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan bersama dengan DPR RI.
Pada 25 Maret 2008, DPR menyetujui RUU ITE menjadi UU ITE. Implementasi UU ITE ini ternyata memberikan dampak pada demokrasi di Indonesia. Sejak pemberlakuannya, muncul kasus-kasus pembungkaman kebebasan berpendapat di internet yang dijerat dengan UU ITE.
Momok
Yang menjadi momok bagi masyaraka dalam UU ITE ini adalah pasal 27 ayat (3) yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Dari data Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), sebuah portal yang mengklaim sebagai penggerak kebebasan berekspresi di dunia online di Asia Tenggara, terjadi kenaikkan pelaporan kasus dari tahun 2013 hingga 2014. Sekitar 53 persen (41 kasus dari 72 kasus UU ITE) terjadi di tahun 2014. Angka rata-rata kasus UU ITE sampai Oktober 2014 menunjukkan bahwa terdapat empat kasus yang dilaporkan per bulan. Sedangkan wilayah persebaran pelaporan kasus terjadi merata dari Aceh sampai ke Makassar.
UU ITE yang paling banyak digunakan untuk menjerat kebebasan berpendapat di internet adalah pasal 27 ayat 3. Selama lima tahun terakhir, trennya meningkat pesat. Jika pada 2011 hanya tiga orang yang dijerat pasal 27, pada 2012 angkanya meningkat menjadi tujuh orang, lalu meningkat menjadi 21 orang pada 2013, dan naik lagi menjadi 41 orang pada 2014.
Revisi
Atas kasus-kasus tadi, muncullah suara-suara untuk melakukan revisi terhadap UU ITE khususnya pasal 27 ayat (3). Menanggapi hal itu, Presiden Joko Widodo secara resmi menyampaikan naskah RUU tentang perubahan atas UU ITE ke DPR melalui surat bernomor R-79/Pres/12/2015 tertanggal 21 Desember 2015. Seperti yang ditegaskan oleh Menkominfo Rudiantara, revisi UU ITE difokuskan pada Pasal 27 ayat (3) terutama terkait pengurangan ancaman pidana pencemaran nama baik dari enam tahun menjadi empat tahun.
Revisi juga untuk menegaskan bahwa pasal 23 ayat (3) merupakan delik aduan, sehingga harus ada laporan atau aduan dari korban pencemaran nama baik sebelum diproses oleh penyidik.
Revisi juga dilakukan terkait penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan yang sesuai sebagaimana proses yang diatur dalam hukum acara pidana. Tujuannya agar UU ITE sejalan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Setelah sempat menjadi pro-kontra, akhirnya revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mulai diterapkan. Revisi tersebut resmi berlaku usai melewati 30 hari sejak disahkan menjadi UU pada 27 Oktober 2016. Jadi, mulai berlaku Senin, 28/11/2016. Ada tujuh poin penting yang perlu diperhatikan dalam UU ITE yang baru ini.
Pertama Sesuai Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), mengenai keberadaan informasi dan/atau dokumen elektronik adalah alat bukti hukum yang sah.
Kedua Penurunan tindak pidana dan denda pada Pasal 27 ayat (3) tentang konten yang memuat dan/atau penghinaan nama baik dan Pasal 29 tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti menjadi 4 tahun penjara dan dengan Rp750 juta.
Ketiga Untuk menghindari multitafsir (salah tafsir) terhadap Pasal 27 ayat (3), dilakukan 3 (tiga) perubahan ditambahkan penjelasan atas istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik", menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum, dan menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
Keempat Tentang penyidikan di Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6): penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat dan penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1x24 jam disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
Kelima Untuk memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam Pasal 43 ayat (5) ditambahkan antara lain kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi dan kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.
Keenam Menambahkan ketentuan mengenai “hak yang dilupakan” pada ketentuan Pasal 26 bahwa setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan dan wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.
Ketujuh Untuk memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan ITE, pada Pasal 40 disisispkan kewenangan tambahan adalah Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang dan berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
Semua sarana eletronik yang bisa dijadikan objek UU ITE adalah SMS, media sosial, surat elektronik, dan mailing-list.