Intisari-Online.com - Gempa Aceh, juga gempa-gempa lain yang terjadi di Indonesia, selalu mengingatkan kita tentang pentingnya perancangan bangunan tahan bencana, tahan gempa. Selain mengantisipasi kerusakan, bangunan tahan gempa akan meminimalkan korban kematian. Lalu bagaimana supaya gedung jangkung siap digoyang gempa?
---
Di masa lalu, wong Yogya yang daerahnya istimewa itu, pasti tidak pernah sadar kalau daerah tempat tinggalnya rawan gempa. Buktinya ketika lindu 5,9 skala Richter menggoyang daerah itu, Mei 2006, banyak bangunan yang kemudian hancur berantakan. Dalam istilah para ahli, bangunan-bangunan itu tidak bisa menyesuaikan diri saat mendapat dorongan literal (horizontal) akibat guncangan gempa.
Solusinya, beberapa waktu kemudian mulai diperkenalkan rumah-rumah tahan gempa yang disebut RumahInstan Sederhana dan Sehat (RISHA). RISHA yang berbahan lempengan beton dan kayu itu sifatnya instan. strukturnya bisa dibongkar pasangan karena menggunakan mur, baut, dan pelat baja. Namun ia bisa menahan guncangan gempa sampai 8 skala Richter.
Di belakang RISHA, ada teknologi baru bernama C-Plus. Teknologi ini masih dalam rangka menghadapi gempa, tapi bedanya jika RISHA untuk bangunan tempat tinggal berukuran kecil, maka C-Plus ditujukan bagi bangunan bertingkat. Namun teknologi yang menggunakan sistem sambungan dengan memakai baut ini, akan lebih ekonomis bila digunakan pada bangunan di bawah lima lantai.
Untuk bangunan yang lebih jangkung lagi, teknologinya bernama n-panel system. Pengembangnya adalah para peneliti di Pusat Penelitan dan Pengembangan Permukiman Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum (Puskim Balitbang PU) yang berkantor di Cileunyi Wetan, Bandung, Jawa Barat. Sistem panel n ini disebut-sebut sebagai teknologi untuk struktur bangunan tinggi di masa depan.
Ditentukan tingkat daktilitas
Sistem "n-panel" lahir ketika pemerintah mencanangkan Program Seribu Menara Rumah Susun Sederhana (Rusuna) tahun 2007. Saat merancang "apartemen rakyat" itu, para peneliti di Puskim memutar otak untuk menciptakan teknologi struktur bangunan yang dapat dibangun secara mudah, murah, dan cepat. Namun ada satu syarat tambahannya: hams mampu bertahan saat diguncang gempa.
Nana Pudja Sukmana, salah seorang peneliti yang menemukan teknologi ini, mengatakan disebut "n-panel" lantaran bentuk panel pracetaknya yang mirip dengan huruf "n". la tidak tahu apakah panel semacam ini pernah dikembangkan sebelumnya.
Namun Nana yakin panel yang berbentuk n kemudian dipadu dengan proporsi dimensional dan sambungan dalam jumlah dan lokasi tertentu, belum ada sebelumnya. Makanya ia berani mengajukan hak paten sistem ini.
Teknologi ini pertama kali diuji tahun 2007, tapi baru sebatas menggunakan satu dinding atau diistilahkan dua dimensi. Baru tahun 2009, pengujian dilanjutkan dengan menggabungkan empat panel sekaligus, sehingga terbentuk modul ruang. Sejak awal, Nana memberikan perhatian lebih terhadap daya tahan bangunan terhadap gempa.
"Salah satu parameter penting adalah daktilitas bangunan tersebut," kata Nana.
Daktilitas adalah kemampu-an suatu bangunan berubah bentuk (deformasi) atau menyesuaikan diri terhadap dorongan lateral yang diakibatkan gempa. Setiap bangunan memiliki tingkat daktilitasnya sendiri, hingga berlanjut mencapai satu batas elastisnya atau istilahnya batas leleh. Saat sudah mencapai batas lelehnya, bangunan itu akan kembali ke bentuk semula.
Sebuah bangunan dikatakan tahan gempa, bila ia tidak runtuh walau dihantam dengan dorongan lateral yang besar sekalipun. Dindingnya boleh retak-retak atau rusak kecil-kecilan. Namun jika struktur bangunannya tetap kokoh berdiri, masih absah dikatakan sebagai bangunan yang tahan gempa.
Ketahanan terhadap gempa ini menjadi penting karena dalam suatu bencana gempa bumi, runtuhnya bangunan merupakan penyumbang korban jiwa terbanyak. Jika bangunan tetap kokoh berdiri, tentu harapannya jumlah korban bisa berkurang.
Cetak dulu sebelum kirim
Pada struktur bangunan, "panel n" berfungsi sebagai komponen struktur pemikul beban. Ada dua macam beban yang dipikulnya. Pertama, beban vertikal yang terdiri atas "beban mati" yakni beban Dangunan itu sendiri beserta "beban hidup", yakni beban fungsi dari bangunan. Beban kedua adalah beban lateral, atau beban yang berasal dari goyangan gempa dan hembusan angin yang arahnya cenderung horizontal.
Panel dirancang berdasarkan analisis struktur bangunan gedung. Ya seperti merancang gedung pada umumnya. Ukuran panel ditentukan dari ukuran bentang dan lebar bangunan, jumlah lantai, konfigurasi bangunan, fungsi gedung, lokasi gedung itu dibangun, jenis tanah, dan beberapa pertimbangan lainnya.
Pembuatan panel menggunakan bahan-bahan yang umum dipakai pada pembuatan beton bertulang, yakni semen (portland cement), pasir beton, batu pecah (kerikil), baja tulangan dan air. Seluruh bahan kemudian diproses menggunakan cetakan dengan ukuran yang sudah direncanakan, hingga menjadi komponen panel dinding beton bertulang pracetak.
Pembuatan panel yang dilakukan di pabrik, menurut Nana membuat kualitasnya dapat terjaga dengan baik. Berbeda dengan cara konvensional yang dirakit di lokasi, sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan cukup besar. Setelah selesai dibuat, panel beserta komponen panel lantai semi pracetaknya (half slab) proses penyambungan antarpanel dinding sehingga terbentuklah ruang. Lantai semi pracetak juga dirakit dan dilakukan pengecoran pada bagian topping.
Panel-panel yang sudah terhubungkan akan segera membentuk ruangan. Tentu ini akan menghemat waktu. Bila rongga di bawah panel tidak mau digunakan sebagai sambungan dengan modul ruang lain, maka bisa dipasangi partisi dengan memakai bahan-bahan yang umum seperti bata, batako, atau tripleks.
"Dinding partisi ini tidak akan memikul beban, karena sudah dipikul oleh panel," tutur Nana yang Sarjana Teknik Sipil dari Institut Teknologi Nasional, Bandung, ini.
Rongga terbuka di bawah rangka sebenarnya juga berfungsi untuk mengurangi sifat masif dari rangka saat diberikan dorongan lateral. Semakin berkurang sifat masif ini, maka bangunan akan semakin elastis saat menghadapi guncangan gempa. Di sisi lain, rongga itu juga mempermudah saat melakukan penyambungan dengan modul ruangan lain.
Untuk penyambungan antar-panel dilakukan dengan menggabungkan dua cara, yakni sambungan basah (wet joint) dan sambungan kering (dry joint). Sambungan basah berupa pengisian lokasi sambungan dengan menggunakan adukan non susut, sementara sambungan kering berupa sambungan las pada baja tulangan. Jika baja tulangan pada masing-masing panel sudah tersambung, adukan non susut mengisinya.
Kombinasi dua cara itu mutlak harus dilakukan, karena jika hanya mengandalkan sambungan basah, andai terjadi kesalahan mengelas, akibatnya struktur bangunan akan berkurang. Sebaliknya bila hanya memakai sambungan kering, maka jumlah panjang sambungan akan jadi lebih besar dan volume total adukan beton non susut jadi besar pula. Biaya akan semakin mahal.
Kombinasi kedua sambungan ditambah dengan proporsi ukuran tebal, lebar, dan panjang rangka panel yang tepat itulah yang memperkokoh bangunan. "Dimensi proporsional, sistem perakitan dan sistem sambungan inilah yang kita patenkan," ujar Nana bersemangat.
Setinggi apa pun gedungnya
Setelah melalui beberapa kali uji coba, diketahui tingkat daktilitas sistem "n-panel" mencapai 6 poin, artinya tingkat yang terbaik untuk menghadapi gempa. Bila dibandingkan dengan struktur rangka terbuka dengan syarat ideal sebesar 5,3 atau struktur dinding geser dengan syarat ideal 4, maka sistem panel ini bisa dikategorikan sebagai struktur bangunan terbaik dalam memikul beban lateral dan vertikal.
Hanya saja, Nana menggarisbawahi, struktur bangunan bukan hanya dipengaruhi oleh bentuk panel semata. Sistem sambungan dan dimensi ukuran ideal rangka juga sangat berpengaruh terhadap kekuatan bangunan. Andai saja panel berbentuk "n" dipadu dengan sistem sambungan yang berbeda, maka tingkat daktilitas juga akan lain.
Sistem "n-panel" disebut-sebut bisa dipakai untuk gedung dengan tingkat berapa pun. Namun, menurut Nana, "Untuk bangunan rendah masih belum mendapatkan nilai ekonomisnya." Batasnya kira-kira untuk bangunan lima lantai ke bawah. Kalau enam lantai dan seterusnya baru terasa sisi ekonomisnya.
Tidak menutup kemungkinan sistem ini digunakan untuk bangunan di atas sepuluh lantai. Cukup dimensi ukuran proporsionalnya menyesuaikan dengan berapa lantai gedung yang akan kita bangun.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR