Tiga hari setelah penyergapan Couey di Augusta, tepatnya 17 Maret 2005, dua polisi dari Florida, Scott Grace dan Gary Archison, tiba untuk melakukan investigasi. Meski dibantu FBI, investigasi pertama itu berjalan kurang bagus. Alih-alih mendapatkan keterangan yang jelas, Couey justru terlihat stres menghadapi pertanyaan bertubi-tubi. Investigasi kedua lebih persuasif.
“Jika dengan mencecar justru menjadikan tersangka stres, kenapa tidak ditempuh medote dari hati ke hati. Dari manusia ke manusia?” pikir Archison.
Nyatanya, cara itu juga tidak mempan. Salah seorang interogator pun menawarkan pemeriksaan menggunakan alat pendeteksi kebohongan. Tapi apa yang dikatakan Couey sungguh mengjutkan.
“Saya kira. Saya hanya … saya hanya ingin pengacara. Kau tahu?!”
“Saya ingin pengacara hadir di sini. Saya ingin berbicara dengan mereka, karena, maksudku, saya ingin mengatakan pada mereka bahwa saya tidak melakukan apa yang dituduhkan. Saya ingin pengacara supaya semuanya jelas. Dan adil.”
Tapi apa yang diutarakan oleh Couey—dalam transkrip interogasi dia meminta pengacara sebanyak tujuh kali—ternyata tidak digubris oleh Archison dan kawan-kawan.
Para detektif terus mencecar Couey dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkannya. Tapi sekali lagi, upaya itu gagal. “Saya ingin pengacara. Kalian punya otak saya goreng di sini, paham?!” Couey mengoceh sejadi-jadinya.
Esoknya, tes poligraf—mesin pendeteksi kebohongan—benarbenar dilakukan oleh agen FBI, John Withmore. Selama pengujian, Couey mengakui semuanya: penculikan—dan pembunuhan—Jessica Lunsford. Pria bermata kusam itu juga menunjukkan di mana polisi bisa menemukan jasad Jessica.
Dikubur hidup-hidup
Waktu menunjukkan pukul 03.00, 24 Februari 2005. Couey mengendap-endap memasuki rumah Lunsford. Ia langsung menuju kamar Jessica. Jessica terbangun. “Jangan berteriak, atau kau ku…,” ancam Couey. Jessica tidak melawan. Gadis mungil itu menuruti instruksi Couey. Boneka lumba-lumba ungu—warna kesukaannya—dalam dekapannya. Couey membawa Jessica ke rumah Dixon. Di sebuah kamar di rumah tersebut, Couey memperkosa Jessica yang masih ingusan. Dua kali pula.
Untuk menghilangkan jejak, Coeuy menyuruh Jessica masuk ke dalam lemari dan dikunci. Ia tidak boleh berkata sedikit pun apalagi memukul pintu lemari. Couey mabuk berat di malam ia menculik Jessica. Tapi dia masih sangat sadar ketika harus membuatkan hamburger dan membiarkan Jessica buang air kecil di lemari.
Tak satu pun penghuni rumah tahu ada “tamu” kecuali Couey. Couey menyekap Jessica di dalam lemari selama tiga hari. Ketika orang mulai membicarakan kasus itu, Couey panik. Ia harus melakukan sesuatu. Cara biadab ia pilih: mengubur Jessica hidup-hidup. Nanti, ketika situasi sudah kondusif, ia bisa mengangkatnya lagi.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR