Advertorial

[Perkara Kriminal] Kematian Gadis 9 Tahun: Kuncinya Ada di Percikan Darah di Kamar Couey

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad
,
Moh Habib Asyhad

Tim Redaksi

kematian bocah 9 tahun
kematian bocah 9 tahun

Intisari-Online.com -Jasad Jessica segera dibawa ke kamar mayat rumah sakit di Leesburg, Florida. Tubuh mungil tersebut terbungkus dua plastik ukuran besar yang diikat kuat menjadi satu. Kesimpulan sementara: Jessica tewas karena kehabisan oksigen.

Jumat, 24 Februari 2005. Alarm jam berbunyi nyaring, tepat pukul 05.00 pagi. Mark Lunsford segera terbangun. Seperti hari-hari kerja biasanya, ia harus bangun pagi. Pekerjaan sebagai seorang supir truk perusahaan Boys Dirt menuntutnya harus tepat waktu.

Mark tinggal di Sonata Avenue, Homosassa, Florida, bersama orangtuanya, Ruth dan Archie, beserta putri semata wayangnya yang masih 9 tahun, Jessica. Mark mematikan alarmnya dan segera mandi. Tapi bunyi alarm di kamar Jessica, yang disetel sama dengan alarm dia, mengganggunya. Tumben Jessica tak segera bangun, pikir Mark.

Laki-laki berambut sebahu itu langsung ke kamar putrinya yang pada pintunya terdapat tulisan: “Ketuk Dulu Sebelum Masuk”. Tulisan itu hasil karya Jessica yang dibantu oleh neneknya. Mark mengetuk pintu. Tak ada suara menyahut. Ia lantas mendorong pintu itu pelan, takut mengganggu anaknya yang mungkin masih pulas sambil memeluk boneka kesayangannya.

Mark kaget. Sang putri tidak ada di kamarnya. Boneka harimau yang biasa ia peluk masih ada, tapi tempat tidur kosong. Mark pun panik. Ia berkeliling ke seluruh sudut rumah, bertanya kepada Ruth dan Archie yang terbangun, tapi keduanya tidak tahu. Ternyata pintu depan tak terkunci. Tanpa pikir panjang Mark langsung mengontak 911, melaporkan bahwa anak perempuannya hilang.

Mencintai ayah dan boneka

Jessica lahir pada 6 Oktober 1995 di Charlotte, North Carolina. Saat memasuki usia setahun, ia harus berpisah dari ibunya karena orangtuanya bercerai. Meski demikian, Jessica tetap bahagia karena selalu ada ayah di sampingnya. Orang-orang di sekelilingnya juga mengenal Jessica sebagai gadis yang ceria dan sangat ramah. Jessica mendekor kamarnya sendiri. Ada banyak boneka di sana, dari boneka harimau hingga boneka lumba-lumba berwarna ungu yang menjadi favoritnya. Gadis yang tidak bisa tidur dalam keadaan gelap ini tidak suka orang masuk ke kamarnya tanpa izin, termasuk ayah dan kakek-neneknya.

Di luar itu semua, Jessica sangat mencintai ayahnya. Tiap akhir pekan, mereka akan bersama keluar rumah mengendarai motor. Berdua menghabiskan hari di Saloon Bar and Grill dengan berkaraoke. Kegemaran Jessica berkaraoke tak lepas dari cita-citanya yang ingin menjadi penyanyi. Dia juga ingin menjadi perenang Olimpiade atau perancang busana yang terkenal.

Tapi pagi itu Jesssica menghilang tiba-tiba, bersama boneka lumbalumba kesayangannya. Tak heran kalau Mark luar biasa panik.

Mencurigai John E. Couey

Sheriff Jeff Dawsy dari Citrus County, Florida, langsung melakukan pemeriksaan terhadap semua pelaku kejahatan seksual yang dikenal di kota tersebut. Dalam proses investigasi, detektif menemukan bahwa salah satu penjahat paling diawasi, John Evander Couey, 46, tidak tinggal di rumah yang terdaftar. Ada instruksi, seluruh pelaku kejahatan seksual diwajibkan untuk melapor kepada petugas kepolisian jika ingin pindah rumah.

Tiba-tiba kecurigaan terarah ke Couey yang belum diketahui batang hidungnya. Selain memiliki alibi paling lemah, Couey juga terkenal memiliki daftar pelanggaran yang bertumpuk: kasus narkoba, penggunaan kokain, dan pada 1991 ditangkap karena memperkosa gadis di bawah 16 tahun.

Dari penelusuran polisi diketahui, Couey pindah ke rumah gandeng milik saudaranya tirinya, Dorothy Marie Dixon, yang tinggal bersama pacar Dixon, Matthew Oley Ditttrich, putrinya, dan putra tirinya, Madie Catherine Secord, dan Gene Allan Secord. Rumah itu, jika ditarik garis lurus, berjarak sekitar 1,6 km dari kediaman Couey di Homosassa.

Jeff langsung ke rumah Dixon. Di sana dia bertemu dengan Dixon, pacarnya, dan putrinya.

“Di mana Couey?” tanya Jeff memulai penyelidikan.

“Kami tidak tahu.”

Mendapat jawaban di luar ekspektasi, Jeff langsung balik badan. Ia kembali ke kantor dengan membawa kecurigaan tentang orang-orang yang baru saja ditemuinya itu. Benar dugaannya, mereka memiliki riwayat kriminal yang beragam. Rata-rata adalah pengedar obat bius.

Tanggal 14 Maret, beberapa detektif kembali lagi ke rumah Dixon, mencoba mencari tahu John Couey. Beberapa lemari diperiksa, tapi tidak menemukan apa pun yang sekiranya memberatkan status Couey. Sampai akhirnya seorang detektif menemukan ada percikan darah di tempat tidur Couey. Kali ini, status Couey dinaikkan dari tertuduh menjadi DPO alias daftar pencarian orang.

Pencarian Couey diintensifkan. Beberapa orang yang tinggal atau mengenal Couey ditanya satu persatu. Semuanya tidak tahu keberadaan laki-laki 46 tahun itu. Pengusutan kasus sementara menemui jalan terjal.

Interogasi gagal

Tanpa sepengatahuan banyak orang, Couey pergi ke Georgia, naik bus yang tiketnya dibeli dengan nama samaran. Sebuah tiket sekali jalan dengan tujuan Savannah. Couey, yang wajahnya terlihat lebih tua dari umurnya, berdiri nanar. Bukan sekali ini ia terbelit kasus kriminal. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, Couey tercatat harus berurusan dan ditangkap polisi sebanyak 24 kali. Kedatangannya ke Savannah, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk melarikan diri.

Di sana Couey tinggal di rumah penampungan tunawisma. Beberapa kali ia harus berhadapan dengan polisi yang kerap bertanya perihal keterlibatannya di beberapa kasus krimimal. Tapi Couey selalu lolos, karena polisi-polisi tersebut belum mengetahui keterkaitan pria botak itu dengan kasus paling baru: hilangnya gadis 9 tahun.

Untuk menghilangkan jejak, Couey memutuskan pindah ke Augusta yang jaraknya 160 km dari Savannah. Di sana ia tinggal di tempat penampungan Salvation Army. Alih-alih semakin aman, kesialan Couey justru dimulai di tempat penampungan ini. Kasus hilangnya Jessica Lunsford telah menjadi berita nasional. Nama Couey disebu-tsebut dalam beberapa laporan.

Tidak hanya itu, wajahnya yang tua juga kerap muncul di layar televisi. Seorang sekretaris yang bekerja di sana secara kebetulan melihat siaran televisi yang menayangkan wajah Couey. Perempuan itu langsung menelepon polisi. Tidak lama berselang, polisi Augusta menangkap Couey dan segera melimpahkannya kepada kepolisian Citrus County di Florida.

Tiga hari setelah penyergapan Couey di Augusta, tepatnya 17 Maret 2005, dua polisi dari Florida, Scott Grace dan Gary Archison, tiba untuk melakukan investigasi. Meski dibantu FBI, investigasi pertama itu berjalan kurang bagus. Alih-alih mendapatkan keterangan yang jelas, Couey justru terlihat stres menghadapi pertanyaan bertubi-tubi. Investigasi kedua lebih persuasif.

“Jika dengan mencecar justru menjadikan tersangka stres, kenapa tidak ditempuh medote dari hati ke hati. Dari manusia ke manusia?” pikir Archison.

Nyatanya, cara itu juga tidak mempan. Salah seorang interogator pun menawarkan pemeriksaan menggunakan alat pendeteksi kebohongan. Tapi apa yang dikatakan Couey sungguh mengjutkan.

“Saya kira. Saya hanya … saya hanya ingin pengacara. Kau tahu?!”

“Saya ingin pengacara hadir di sini. Saya ingin berbicara dengan mereka, karena, maksudku, saya ingin mengatakan pada mereka bahwa saya tidak melakukan apa yang dituduhkan. Saya ingin pengacara supaya semuanya jelas. Dan adil.”

Tapi apa yang diutarakan oleh Couey—dalam transkrip interogasi dia meminta pengacara sebanyak tujuh kali—ternyata tidak digubris oleh Archison dan kawan-kawan.

Para detektif terus mencecar Couey dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkannya. Tapi sekali lagi, upaya itu gagal. “Saya ingin pengacara. Kalian punya otak saya goreng di sini, paham?!” Couey mengoceh sejadi-jadinya.

Esoknya, tes poligraf—mesin pendeteksi kebohongan—benarbenar dilakukan oleh agen FBI, John Withmore. Selama pengujian, Couey mengakui semuanya: penculikan—dan pembunuhan—Jessica Lunsford. Pria bermata kusam itu juga menunjukkan di mana polisi bisa menemukan jasad Jessica.

Dikubur hidup-hidup

Waktu menunjukkan pukul 03.00, 24 Februari 2005. Couey mengendap-endap memasuki rumah Lunsford. Ia langsung menuju kamar Jessica. Jessica terbangun. “Jangan berteriak, atau kau ku…,” ancam Couey. Jessica tidak melawan. Gadis mungil itu menuruti instruksi Couey. Boneka lumba-lumba ungu—warna kesukaannya—dalam dekapannya. Couey membawa Jessica ke rumah Dixon. Di sebuah kamar di rumah tersebut, Couey memperkosa Jessica yang masih ingusan. Dua kali pula.

Untuk menghilangkan jejak, Coeuy menyuruh Jessica masuk ke dalam lemari dan dikunci. Ia tidak boleh berkata sedikit pun apalagi memukul pintu lemari. Couey mabuk berat di malam ia menculik Jessica. Tapi dia masih sangat sadar ketika harus membuatkan hamburger dan membiarkan Jessica buang air kecil di lemari.

Tak satu pun penghuni rumah tahu ada “tamu” kecuali Couey. Couey menyekap Jessica di dalam lemari selama tiga hari. Ketika orang mulai membicarakan kasus itu, Couey panik. Ia harus melakukan sesuatu. Cara biadab ia pilih: mengubur Jessica hidup-hidup. Nanti, ketika situasi sudah kondusif, ia bisa mengangkatnya lagi.

Maka Jessica ia masukkan ke dalam kantong plastik besar yang ujungnya saling dikaitkan, membiarkan tubuh Jessica melingkar di dalamnya. Lantas dia kubur plastik itu pada galian yang tidak terlalu dalam.

Sejak awal, Couey memang tidak bermaksud membunuh Jessica. Ia hanya ingin memperkosanya kemudian memulangkannya kembali. Jika pada akhirnya Jessica tewas terkubur, itu sungguh di luar skenario serampangan dari pria berwajah bulat ini.

Tewas dengan merangkul boneka lumba-lumba

Tanggal 19 Maret 2005, dua hari setelah investigasi di Augusta, polisi langsung melakukan penyelidikan di tempat yang ditunjukkan Couey dengan melibatkan tim peneliti. Tubuh Jessica ditemukan dengan pakaian yang masih lengkap, tapi sudah tidak bernyawa.

Ada tanda Jessica hendak menyelamatkan diri. Itu terlihat dari adanya lubang di beberapa bagian plastik. Polisi berkesimpulan, jemari Jessica yang tak terikat berusaha menusuknusuk plastik tersebut. Tapi sebelum usahanya berhasil, ia keburu meninggal kehabisan napas.

Proses autopsi segera dilakukan di kamar mayat di Leesburg, Florida. Dari penuturan dr. Steven Cogswell, dokter yang menangani mayat Jessica, plastik disambung dengan ikatan yang begitu kuat. Kepala Jessica di satu ujung plastik, kakinya di ujung lain.

Karena sudah mulai membusuk, Steven kesulitan menentukan waktu persis tewasnya Jessica. Satu yang hal yang pasti, ia masih hidup ketika dikuburkan.

Selain memastikan selaput dara Jessica yang sudah terkoyak, Steven juga menemukan fakta perut Jessica yang kosong tanpa makanan. “Sepertinya, terakhir kali dia makan, sekitar 12 jam, atau bahkan, tiga hingga empat hari sebelum ia dikuburkan,” ujar Steven, yang juga menemukan bekas kokain di badan Jessica.

Tidak berselang lama dari proses autopsi, John Couey langsung diseret ke penjara Citrus County di Lecanto, Florida. Ia dimasukkan dalam daftar terdakwa hukuman mati. Tidak hanya Couey, tiga orang yang tinggal serumah dengannya, Dixon, Madie Scord, dan Matthew Dittrich, juga ditangkap atas tuduhan melindungi tersangka. Gene Scord yang tidak berada di rumah ketika proses pemeriksaan pertama juga didakwa karena kelalaian.

Seluruh warga Homosassa marah, menuntut hukuman paling berat untuk John Couey dan keluarganya. Dari para penuntut, yang paling keras tentu saja Mark Lunsford dan Angela Bryant, ayah dan ibu Jessica. “Dia harus membayar semua,” ujar Angela kepada CNN.

Ayah Jessica, Mark, terombang-ambing antara kesedihan dan dendam. “Dia sudah pulang sekarang,” kata Mark saat diwawancarai oleh St. Petersburg Times, parau. Tapi raut mukanya berubah ketika menghadap kamera, seolah berbicara langsung kepada Couey, “Saya berharap Anda membusuk di neraka! Saya berharap Anda mendapatkan hukuman mati.”

Tanggal 1 April 2005, juri mendakwa John Couey dengan pembunuhan tingkat pertama, penculikan, kekerasan seksual, dan pencurian. Dakwaan juga dijatuhkan kepada saudara-saudara Couey. Tapi itu bukan akhir dari semuanya. Masih ada lanjutannya. Lima hari kemudian, Couey naik banding. Dia merasa tidak bersalah atas tuduhan-tuduhan tersebut. Tapi pengadilan bergeming, Couey justru ditempatkan di sel isolasi tanpa jaminan.

Selama fase isolasi, beberapa sipir mengaku menangkap keanehan dari sikap Couey. Ia tiba-tiba rajin membaca tulisan-tulisan tentang agama, meski tidak secara spesifik membaca Alkitab. Para sipir juga kerap melihat Couey menulis sesuatu. Satu lagi, Couey juga terlihat semakin sensitif.

Hari persidangan yang ditunggu-tunggu

Musim semi 2006 yang ditetapkan sebagai tanggal persidangan kian mendekat. Hakim Ric Howard dari Fifth Judicial Circuit, Florida, dihadapkan pada tugas mahapenting: menentukan juri yang adil dan berimbang. Untuk menghindari keputusan yang kurang objektif, Howard memilih panel juri dari warga Lake County, komunitas terjauh dari Homosassa yang ada di wilayah Fifth District.

Orang-orang ini secara khusus ditempatkan di sebuah hotel yang tak disebut namanya, guna menghindari intervensi pihak mana pun.

Pada Juli 2006, hakim mendengarkan kesaksian praperadilan mengenai investigasi Couey. Hakim juga menganulir laporan detektif Grace dan Archison di Augusta pada 17 Maret 2005 karena dianggap mengabaikan hak tersangka untuk meminta pengacara. Mencari juri yang potensial ternyata tidak mudah. Limapuluh delapan juri sejatinya sudah dipersiapkan, tapi tiba-tiba Howard berubah pikiran. Menurutnya, juri yang adil dan berimbang tidak bisa diambil dari wilayah Fifth District. Beberapa juri mengaku diancam oleh beberapa kelompok jika kedapatan meringankan Couey.

Beberapa saksi yang dikabarkan akan memberi keterangan di persidangan juga mengaku tidak bisa hadir karena sidang yang terus ditunda-tunda. Oleh sebab itu, solusi terbaik menurut Howard adalah memindahkan lokasi persidangan.

Awalnya kota kecil Tavares di Lake County yang menjadi pilihan pertama, sebelum akhirnya dipindah ke Dade County di Miami. Tanggal 12 Februari 2007 lantas dipilih sebagai hari persidangan. Howard berharap, dengan dipindahkannya lokasi pengadilan bisa menghasilkan putusan paling adil tanpa ada intervensi dari luar.

Di luar proses pengadilan, Mark Lunsford terus melakukan lobi memperkuat undang-undang perlindungan anak dari pelaku kejahatan seksual. Ia juga mengorganisasi dan mencari simpati dari komunitas-komunitas yang ia kenal. Ia juga membuat tato khusus wajah Jessica di dadanya. “Saya masih bisa menyentuh wajahnya sekarang,” kata pria gondrong ini.

Vonis didengar sembari menggambar

Hari persidangan datang juga. Seluruh bukti yang memberatkan Couey sudah terkumpul: DNA dari darah Jessica, sisa sperma Couey yang tertinggal di kasur tempat tidurnya, juga sidik jari Jessica yang ditemukan di dalam lemari rumah Dixon. Beberapa penyidik dan penjaga penjara tempat Couey dibui, sebelum sidang, bersaksi bahwa setelah penangkapan Couey berulang kali mengakui kronologi penculikan hingga kematian Jessica. Meski demikian, dia bersikukuh mengatakan bahwa ia tidak bermaksud membunuh gadis kelas tiga sekolah dasar itu.

Di persidangan, beberapa saksi ahli menyebut Couey memiliki penyakit keterbelakangan mental yang kronis akibat pengaruh alkohol dan obat-obatan. Sementara para pembela Couey menyebut, musabab cacat mental kliennya tersebut adalah IQ-nya yang di bawah rata-rata. Menurut putusan Mahkamah Agung tahun 2002, seseorang yang memiliki IQ di bawah rata-rata terbebas dari hukuman mati. Jadi, vonis paling berat bagi Couey, menurut pembelanya, adalah seumur hidup.

Tapi pernyataan para pembela Couey dimentahkan oleh hakim sendiri. Dari tes yang dilakukan, IQ Couey berkisar di angka 78, delapan poin lebih tinggi dari standar angka keterbelakangan mental. Jadi, tidak ada alasan Couey tidak mendapatkan hukuman mati. Sementara Couey lebih banyak menghabiskan waktu dengan menggambar saat persidangan dilakukan.

Tanggal 7 Maret 2006, juri memutuskan Couey bersalah atas semua tuduhan yang dikaitkan dengan kematian Jessica Lunsford: pembunuhan tingkat pertama, penculikan, perampokan, dan kekerasan seksual. Tanggal 11 Maret, sebagian besar juri di pengadilan Miami menyebut Couey memenuhi syarat untuk mendapat hukuman mati. Yang paling memberatkan adalah kasus pemerkosan pada 2005 secara brutal, dan tentu saja, kematian Jessica.

Tanggal 30 September 2009, John Evander Couey meninggal di penjara tanpa seorang pun mengetahui musababnya. Tidak lama berselang, Sheriff Jeff Dawsy dari kepolisian Citrus County langsung mengadakan konferensi pers terkait kematian Couey. Ia dan Ruthie Lunsford, nenek Jessica, merasa soalah-olah ada beban seribu pon yang hilang dari pundak mereka. Sementara Mark Lunsford mengaku cukup emosional dengan kematian mendadak Couey.

“Sebenarnya saya cukup kecewa karena tidak bisa melihat kematian Couey secara langsung. Berada di sana dan menonton eksekusi mati Couey adalah tujuan saya,” kata Sherriff Jeff Dawsy yang setelah didesak akhirnya membeberkan bahwa kematian Couey disebabkan oleh kanker dubur.

Artikel Terkait