Advertorial
Intisari-Online.com – Disleksia, istilah gampangnya kondisi anak yang cenderung terpeleset menyebut kata sederhana. Jangan anggap sepele kondisi itu. Agar tidak menghambat prestasi anak kelak, perlu penanganan sejak dini.
Memang, tidak selalu penderita disleksia akan kesulitan menapaki kariernya.
Masih ingat yang dialami Presiden AS George W. Bush yang semasa kampanye sering salah ucap? Ingin mengatakan AS negara peacemaker (pencipta perdamaian), yang terucap pacemaker (alat pacu jantung). la memang pernah menderita disleksia sebelum menjadi presiden.
Adakah figur top lain?
Tentu masih ada. Aktor Tom Cruise, misalnya, yang kini justru membantu anak-anak belajar membaca. Juga sang ratu cerita kriminal, Agatha Christie.
Lalu negarawan kelas wahid Singapura, Lee Kuan Yew, dan aktris Whoopi Goldberg, yang setelah drop-out dari SMA, justru bakatnya membubung hingga memperoleh Piala Oscar.
Baca juga: Jadi Lulusan Terbaik, Anak Deddy Corbuzier Patahkan 3 dari 6 Mitos tentang Disleksia Ini
Gangguan fungsi otak
Menurut psikiater anak, dr. Tjhin Wiguna, Sp.Kj, disleksia merupakan salah satu jenis kesulitan belajar spesifik. Disebut juga kesulitan membaca. Lazim juga dikenal sebagai disleksia perkembangan.
Kasus disleksia pertama kali dilaporkan oleh Pringle Morgan pada 1896. la menceritakan tentang seorang anak lelaki berusia 14 tahun yang sangat pintar tetapi gagal dalam mengikuti pelajaran membaca dan menulis. Padahal anak itu sudah mendapat jam tambahan khusus untuk dua mata pelajaran itu.
Definisi disleksia menurut Critchley (1970) adalah kesulitan membaca, menulis, dan mengeja (disotografi), tanpa adanya gangguan sensorik perifer. Dalam arti tidak ada defisit pendengaran atau penglihatan, inteligensi rendah, lingkungan kurang menunjang, problem emosional primer atau kurang motivasi.
Salah satu syarat untuk mendiagnosis disleksia, menurut Tjhin, staf di Departemen Psikiatri FKUI/RSCM, adalah anak mempunyai taraf intelegensi normal, dengan daya ingat atau memori pada umumnya cukup baik.
Tidak mempunyai gangguan fungsi sensoris seperti penglihatan atau pendengaran. Pun tidak ada gangguan fungsi motorik.
Anak dengan taraf kecerdasan kurang tidak hanya mengalami ketidakmampuan membaca, tetapi juga mengalami ketidakmampuan di bidang lain seperti berhitung dan aspek-aspek akademik lainnya.
Patogenesis disleksia terletak pada gangguan fungsi otak. Sering pada belahan otak sebelah kiri, terkadang juga di belahan otak kanan. Bagian otak yang diduga berkaitan dengan terjadinya disleksia, aniara lain (a) Corpus Callosum kiri, (b) Lobus pariclotemporal kiri, berperan dalam proses pencocokan antara fonem dan grafem (grapheme), (c) Lobus temporal kiri, berperan dalam proses fonologis dasar, (d) Lobus prefrontal, pusat output dari semua kemampuan seseorang.
Penyebab gangguan fungsi otak itu sering dikaitkan dengan beberapa faktor risiko terjadinya gangguan perkembangan morfologis olak. Antara lain kurangnya oksigen saat atau segera setelah lahir (asphyxia perinatal), prematuritas, berat badan lahir rendah.
Dalam beberapa penelitian dikatakan, pada 80% anak dengan disleksia ditemukan adanya minimal satu faktor risiko itu.
Beberapa peneliti juga mengaitkan kelainan itu dengan faktor keturunan (genetik). Ada gen dari kromosom 15 yang mungkin bertanggung jawab atas transmisi gangguan ini. Namun, kesimpulan itu masih harus diteliti lebih lanjut.
Baca juga: Memahami Lebih Dekat Soal Disleksia
Membalik huruf-huruf
Ada beberapa karateristik yang dapat dilihat pada anak dengan disleksia. Di antaranya, membaca lamban, turun-naik intonasinya, dan kata demi kata. Artinya, kemampuan baca sang anak tidak sesuai dengan kemampuan rata-rata anak seusianya.
la juga sering mcmbalik huruf-huruf atau kata-kata. Atau ada pengubahan huruf dalam kata. Ciri lain, kacau terhadap kata-kata yang hanya sedikit berbeda susunannya. Misalnya, buku dibaca "duku", bau dengan "buah", buta dengan "batu", dan lainnya.
Kadang-kadang juga disertai artikulasi suara, gagap, atau pembalikan konsep. Misalnya, kacau terhadap pemahaman konsep atas dengan bawah, depan dengan belakang, dan sebagainya.
Sering juga disertai kesalahan eja dan kesalahan tulis. Misalnya, jika didiktekan kata pagar, mungkin ditulis "papar". Kesalahan tulis ini juga mencakup kelidakmampuan untuk membuat tulisan indah, sering tulisannya tidak terbaca.
Diakui oleh Tjhin, ada pendapat disleksia lebih banyak diderita anak laki-laki ketimbang anak perempuan. Dulu memang ada pendapat begitu, yang mengaitkan dengan adanya kekurangan hormon testosteron pada janin laki-laki semasa dalam kandungan.
Baca juga: Mengidentifikasi Gejala Disleksia Pada Seseorang
Kekurangan hormon dikaitkan dengan terjadinya gangguan perkembangan bagian belahan otak kiri yang memang diatur oleh hormon ini, yang berakibat disleksia di kemudian hari," katanya.
Namun kini, dalam penelitian epidemiologi yang baru, rasio disleksia pada anak lelaki dan perempuan ternyata seimbang. Walaupun demikian, penelitian pada anak usia sekolah yang dirujuk untuk ditangani, ternyata sebagian besar berjenis kelamin laki-laki.
Alasannya, anak laki-laki dengan disleksia umumnya lebih mudah dikenali. Itu karena anak lelaki umumnya juga disarati dengan problem penyerta lain seperti hiperaktif, kesulitan memusatkan perhatian, atau problem dan gangguan penlaku.
Dorongan bunuh diri
Walau tidak menyebabkan kematian atau cacat menetap, anak dengan disleksia akan mengalami kesulitan saat di sekolah, dimulai dari usia sekolah paling dasar. Hal ini tentu akan menghambat prestasi akademik anak.
Jika tidak ditangani dengan baik, cepat atau lambat anak tentunya akan menunin prestasi akademiknya, bahkan dapat berdampak pada perkembangan kejiwaannya.
Apalagi jika ditambah tuntutan orangtua atau guru tanpa mempertimbangkan kelemahan itu. Anak mungkin akan mengalami tekanan yang membuatnya rendah diri, kurang rasa percaya diri, dan depresi. Hal itu juga makin memperburuk kondisi belajar anak.
Baca juga: Typoglycemia, Buku Simulator Web untuk Penderita Disleksia
Yang mengejutkan, lansiran ABCnews mengenai hasil riset American Association of Suicidology. Para remaja penderita disleksia lebih sering berpikir ataupun mencoba melakukan bunuh diri ketimbang rekan-rekan mereka yang normal.
Riset dilakukan terhadap 94 siswa dengan kesulitan membaca, dan 94 siswa berkemampuan normal, seluruhnya berusia 15 tahun.
Hasilnya, 19% dari kelompok penyandang disleksia pernah berpikir atau mencoba bunuh diri, sedangkan dari kelompok normal hanya 5%. Untuk angka putus sekolah, di kalangan penderita disleksia pun lebih tinggi 10%.
Menurut Tjhin, yang lulus menjadi psikiater anak dan remaja dari FKU1 tahun 2000, kecenderangan untuk bunuh diri mungkin saja terjadi. Terutama jika kondisi depresi menjadi lebih berat, anak remaja itu mungkin merasa tak berdaya dan putus asa.
Itu karena, baik orangtua, guru, ataupun lingkungan tak ada yang membantu dan mendukungnya.
Baca juga: 6 Mitos yang Keliru tentang Disleksia (2)
"Walaupun demikian, jarang sekali ditemukan kasus bunuh diri pada anak dengan disleksia. Lebih banyak ditemukan yang disertai gangguan tingkah laku menentang, dikeluarkan dan sekolah, atau gangguan tingkah laku antisosial sebagai bentuk komplikasi di kemudian hari," terangnya.
Lebih jauh Tjhin menekankan, disleksia merupakan masalah yang cukup serius, karena dampaknya dapat mempengaruhi kualitas hidup anak di kemudian hari. Untuk itu deteksi dan intervensi dini sangal penting, baik oleh orangtua maupun guru.
Betapapun, kemampuan membaca merupakan fondasi untuk memperoleh kepandaian skolastik lainnya.
Langkah penyembuhan
Menurut Dr. Tjhin Wiguna, SpKJ, terapi difokuskan pada pemberian remediasi (terapi pengulangan).
Jika disertai gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH), gangguan depresi, gangguan perilaku menentang, atau kondisi gangguan kejiwaan lainnya, maka perlu diberikan obat-obatan dan psikoterapi.
Baca juga: 6 Mitos yang Keliru tentang Disleksia (1)
Misal, anak dengan GPPH bisa mendapat obat golongan psikostimulan untuk membantu anak mengontrol perilaku dan memusatkan perhatian pada tugas dan tanggung jawabnya.
Sedangkan anak dengan gangguan depresi bisa mendapat obat antidepresan.
Psikoterapi yang diberikan dapat berupa psikoterapi individual dan juga yang berbasis keluarga.
Tjhin berpendapat, pengajaran remedial dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, dan pemberian motivasi seperti pujian atau hadiah kecil setiap kali si anak berhasil mengatasinya akan sangat membantu.
Pendekatan multisensori, berdasarkan asumsi bahwa anak dapat belajar dengan baik, jika materi pembelajaran disajikan dalam berbagai modalitas. Modalitas yang sering dipakai adalah penglihatan, perabaan, gerakan (kinestetik), pendengar an. Untuk itu diperlukan berbagai alat bantu seperti kartu huruf, cat, bak pasir, huruf timbul, dan Iain-Iain. Metode ini dikembangkan Fernald dan Gillingham.
Baca juga: Daniel Britton, Menciptakan Font Baru yang Menunjukkan Seperti Apa Rasanya Mengalami Disleksia
Pendekatan modifikasi abjad, banyak dipakai untuk anak berkesulitan membaca pada bahasa yang kaitan antara huruf dengan bunyinya tidak selalu konsisten. Dalam bahasa Inggris, misalnya huruf a dapat dibaca /e/, /ei/ atau /a/. Bunyi /f/ dapat dilambangkan oleh huruf f, gh atau ph.
Metode modifikasi alfabet mencoba menciptakan abjad baru, sehingga ada korespondensi satu-satu antara huruf I lambang dengan bunyinya. Dengan demikian, ejaan kata-kata yang tidak beraturan akan diubah. Dalam bahasa Indonesia, metode ini tidak banyak bermanfaat karena kaitan antara huruf dan bunyi relatif konsisten.
Pendekatan kesan neurologis terdiri atas kegiatan membaca bersama-sama secara cepat antara guru dan siswa. Asumsi dasarnya, anak dapat belajar dengan mendengar suaranya sendiri dan suara orang lain yang membaca materi yang sama.
Kelebihan dari pendekatan ini, diperoleh kemajuan dalam hal ekspresi lisan, kelancaran membaca, dan peningkatan rasa percaya diri. Namun, kemajuan dalam pemahaman kontekstual sangatlah minimal.
(Ditulis oleh Dharnoto. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2004)
Baca juga: Ternyata Orang Kreatif Cenderung Idap Gangguan Mental, Kok Bisa?