Intisari-Online.com – Meski termasuk daerah beriklim kering, Flores Timur tidak kering dengan objek wisata menarik. Mulai pantai bersih, dunia bawah laut yang masih perawan, sampai kekayaan adat dan budaya masyarakat lokal tersedia di sana.
--
Perjalanan panjang dari Yogyakarta akhirnya berakhir juga. setelah roda pesawat menyentuh landasan Bandara Maumcre. Raul muka keras penduduk aslinya merupakan kesan pertama yang kami rasakan ketika tiba di Bandara Maumere, pintu masuk menuju Kabupaten Flores Timur, tempat tujuan kami. Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan darat dari Maumere menuju Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur (Flolim).
Perjalanan sejauh 130 km itu ditempuh kurang lebih sekitar 3.5 jam. mengikuti jaIan berkelok-kelok menyusuri punggung bukit. Tikungan-tikungan tajam, ditambah ruas jalan yang sempit dengan salah satu sisi jalan berbatasan langsung dengan jurang dilahap habis oleh sopir bus yang kami lumpangi.
Tiba di Larantuka. Matahari mulai beringsut rnasuk ke peraduan. Kami menginap di Saron Rumah Pembinaan Keuskupan Larantuka. Tempat ini seperti asrama yang sering digunakan sebagai tempat menginap para tamu, ketika terdapat kegiatan-kegiatan keagamaan ataupun kegiatan lainnya. Sunggingan senyum ramah para suster biarawati serta tutur katanya yang halus cukup meneduhkan katni, setelah menempuh perjalanan panjang. Tidak terdapat pembedaan di sini, meskipun sebagian dari kami adalah muslim.
Masih ada perang
Suasana pagi di Larantuka cukup mengejutkan bagi saya. Sebab, hari sudah cukup terang, padahal jarum jam masih menunjukkan pukul 05.00 pagi.
Larantuka yang terletak di pinggir pantai ini terkenal dengan prosesi Jumat Agung pada perayaan Paskah. Di Larantuka kami sempat menyambangi Danau Weibelen atau dikenal dengan nama Danau Asmara, sebelum akhirnya berkunjung ke Pulau Adonara.
Dari Pelabuhan Larantuka perlu 1,5 jam menggunakan kapal kayu untuk sampai ke Adonara. Kami menginap di rumah Pak Rats, salah seorang penduduk Desa Weiwerang, Kecamatan Adonara Timur. Keramahannya menghapuskan kesan keras pada wajah-wajah mereka.
Berbagai hidangan ringan dan kopi segera disuguhkan. Ingat, jangan pernah menolak suguhan jika kita tak mau tak disapa lagi oleh man rumah. Mereka sangat menghargai para tamu dengan memberikan jamuan yang terbaik yang mereka punyai. Pembicaraan kami pun berlangsung sekental kopi yang disuguhkan Nona, begitu Pak Rats memanggil anak perempuannya.
Dalam obrolan itu ada satu cerita menarik yang saya peroleh. Kata Pak Rats, di kawasan ini masih ada perang antardesa yang sudah berjalan hampir lima tahun dan sampai sekarang masih berlangsung. Perang itu dipicu oleh perebutan tanah adat yang lak kunjung selesai. Jika dulu tombak, parang, dan panah menjadi senjata, beberapa tahun terakhir ini perang sudah mulai menggunakan senjata api rakitan (senpira) dan bom ikan!
Pcrtempuran berlangsung di tanah terbuka dan ditonton oleh masyarakat sekitar. Peperangan hanya berlangsung antara dua desa yang bermusuhan, sedangkan orang luar desa yang kebetulan melintas atau menonton tidak akan dilukai. Begilu pula dengan perempuan, meskipun mereka membantu menyiapkan anak panah ataupun senjata lain di belakang pasukan masing-masing.
Kisah unik lain yaitu tentang gading adat raksasa yang beranak. Karena penasaran, kami mengunjungi tempat itu pada keesokan harinya. Desa Lamalota tempat tujuan kami terletak di kaki Ile Boleng (ile = gunung).