Intisari-Online.com - “Donal Trump adalah seorang fasis” kerap kita dengarkan terutama di masa menjelang pemilihan presiden di Amerika Serikat ini. Kampanye itu, tentu saja dibuat oleh orang-orang yang anti-Trump, untuk menjatuhkan kredibilitasnnya yang, memang, penuh dengan kontroversi.
Pertanyaannya kemudian, seberapa fasis Donald Trump? Pantaskah ia disandingkan dengan tokoh-tokoh fasisme besar terdahulu macam Benito Mussolini atau Adolf Hitler?
Fasisme lahir di Italia selama Perang Dunia I dan semakin mencorong ketika Italia dipimpin oleh veteran perang cum mantan wartawan, Benito Mussolini, pada 1922. Pasca kejatuhan Mussolini dan berakhirnya Perang Dunia II, tetapnya tahun 1955, beberapa sejarawan mencoba untuk meletakkan fasisme di “atas meja”, untuk mencari tahu apa sebenarnya fasisme.
Dari situ kemudian fasisme dibedakan menjadi dua: sebagai ideologi politik dan sebagai gerakan politik. Sebagai ideologi politi, fasisme punya delapan sifat; sementara sebagai gerakan politik, ia punya tiga sifat dasar. Dari sini kita kemudian bisa mengukur (penilaian menggunakan 0-4 Benito): seberapa fasis Donald Trump? (formula ini juga bisa untuk mengukur kadar kefasisan kita).
Sebagai ideologi politik:
Hiper-nasionalisme. Atribut ini sejatinya tidak terbatas pada fasisme, tapi hiper-nasionalisme merupakan pusat dari semua fasisme. Trump, secara teratur mengatakan bahwa dalam kebijakannya ia akan mengutakamakan orang Amerika (artinya orang-orang kulit putih). Dengan standar politik Amerika, Trump masuk kategori hiper-nasionalisme. Tapi ia tidak ada apa-apanya denga Mussolini. Dua Benito untuk Trump.
Militerisme. Fasisme kerap dilekatkan dengan segala hal yang berbau militerisme. Trump kerap menggunakan pendekatan militeristik untuk menyelesaikan pelbagai masalah—dan hampir semua pemimpin Amerika Serikat memang begini; seperti mengatasi persoala Negara Islam dan merebut minyak di Timur Tengah. Meski demikian, ia juga kerap menyerang lawan politiknya yang gemar menggunakan cara-cara militer. Oleh sebab itu, dua Benito untuknya.
Mengagungkan kekerasan untuk melanggengkan kekuasaan. Fasis seperti Mussolini kerap menggunakan cara ini untuk melegitimasi kekuasaannya. Ia kerap menggunakan cara-cara kekerasan untuk menyingkirkan lawan politiknya. Tapi tampaknya kita belum menemukan hal ini pada Trump—meski kita beberapa menjumpai pernyataan-pernyataan Trump yang mendukung kekerasan. Saol ini, satu Benito untuk Trump.
Pemujaan terhadap pemuda. Gerakan fasis, bahkan ketika dipimpin oleh laki-laki setengah baya, selalu memuji semangat pemuda dan menyebut mereka sebagai aktor perubahan. Hal ini supaya pemuda bersimpati kepadanya. Trump, sebagai laki-laki tujuhpuluhan tahun, sepertinya kurang kuat dalam hal ini. Buktinya ia tidak punya basis pemuda untuk mendukungnya. Nol Benito untuk Trump.
Memuja maskulinitas. Fasis kerap mengindentifikasi dirinya sebagai maskulin dan memandang remeh perempuan. Dan Trump menunjukkan itu. Ini bisa kita lihat dari pidato-pidatonya ketika menyerang lawan politiknya, yang kebetulan seorang perempuan. Trump juga disebut kerap melakukan kekerasan terhadap perempuan. Empat Benito untuk Trump.
Pengkultusan terhadap kepemimpinan. Fasisme selalu memandang seorang pemimpin sebagai orang yang berani, tegas, gagah, tanpa kompromi, dan kejam bila diperlukan. Mussolini dan Hitler, keduanya sukses mencitrakan diri mereka seperti itu, dan tanpa segan-segan menyebut diri mereka sebagai Il Duce dan Fuhrer. Trump, meskipun seorang veteran perang, adalah tipe yang mengultuskan kepemimpinan. Ia menyebut pengalaman bisnisnya sebagai bukti kepemimpinannya yang tegas. Empat Benito untuknya.
Sindrom kejayaan masa lampau. Fasisme Italia dan Jerman bersumber dari sindrom kejayaan masa lampau. Mussolini ingin mengembalikan kejayaan Romawi Kuno, sementara Hitler sangat bersemangat dengan kampanye kemurnian rasnya. Trump, dalam kampanye-kampanyenya, ingin mengembalikan kejayaan Amerika Serikat. Ia juga meyakinkan orang-orang bahwa dirinya bisa “membuat Amerika besar lagi.” Empat Benito untuk Trump.
Source | : | washingtonpost.com |
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR