Intisari-Online.com - Seorang lelaki bangsawan berbusana adat Jawa. Dia berlengan panjang, berkain jarik, bertopi kuluk, dan di pinggangnya tersemat keris.
Rambutnya yang panjang tampak digelung rapi. Bangsawan itu berjalan didampingi seorang perempuan yang menawarkan sekotak sirih, mungkin abdinya.
(Baca juga:Empat Lukisan Misterius di Dunia yang Katanya Bisa Bergerak, Salah Satunya Lukisan Prabu Siliwangi)
Mereka berjalan melintasi dua lapis pagar kayu tinggi menuju sebuah lapangan, yang kini disebut sebagai “Alun-alun Lor”.
Dahulu kerap digunakan untuk pertunjukan rampogan hingga menghukum gantung para bromocorah.
Di depan mereka tampak dua penjaga bertombak dan dua pohon beringin muda yang mengapit jalan lurus menuju bangunan pagelaran beratap tinggi.
Di dalam bangunan itu telah menanti prajurit-prajurit yang duduk bersila. Lebih masuk ke dalam lagi, tampak sebuah singgasana sang Sultan.
Itulah yang terlihat dari sebuah lukisan dengan sapuan tinta Cina. Di atas lukisan itu tampak pita bertuliskan basa Belanda lama, “Het Gezigt van het Dalem Sultan Sumatran Leggende op Het Eyland Groot Yava aan de Noord Oost Zyde”.
Sebuah suasana budaya Jawa di mata orang Eropa. Awalnya lukisan ini koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah komunitas masyarakat seni dan ilmu pengetahuan di Batavia.
Lukisan itu karya seniman sohor Johannes Rach. Dia menggoreskan tinta cina dan air pada lembaran kertas yang didatangkan dari Belanda. Biasanya dia didampingi asisten dan seorang budak yang memayunginya ketika di lapangan.
(Baca juga:12 Hewan Langka yang Belum Pernah Kita Dengar Sebelumnya, Nomor 9 Ditemukan di Indonesia)
Keunikan lukisan Rach adalah, dia tidak membuat sketsa, namun hanya membuat garis perspektif untuk membantu menggambarkan ruang dan jarak.
Kini, lukisan masyhur dan bersejarah ini tersimpan di Perpustakaan Nasional, bagian dari koleksi 202 lukisan Rach dan murid-muridnya yang dimiliki Indonesia. Sementara, Rijksmuseum Amsterdam, Belanda, hanya memiliki 68 karya pelukis masa VOC tersebut.
Rach adalah lelaki asal Kopenhagen, Denmark. Pada usia 42 tahun dia menjadi pegawai kesatuan penembak meriam VOC di Kastil Batavia, sekaligus merangkap sebagai pelukis pemandangan topografi pada 1762-1783.
Rumahnya sekitar Roea Malakka—kini Roa Malaka—Batavia. Banyak penguasa dan bangsawan lokal yang memesan lukisan istana atau vila mereka kepada Rach.
Sulit memastikan tahun berapa lukisan tersebut dibuat, lantaran Rach tidak membubuhkan keterangan tanggal pembuatannya. Namun, tampaknya Rach membuat lukisan itu sekitar 1757 hingga 1777.
(Baca juga:"Kekuasaan Majapahit di Nusantara itu Omong Kosong", Benarkah?)
Perkiraan tersebut berdasar bahwa bangunan Pagelaran dan Siti Hinggil—keduanya tampak pada lukisan Rach—telah selesai pada 1757.
Sementara, tembok baluwarti yang mengelilingi keraton baru didirikan pada 1777—pada lukisan itu masih berupa pagar kayu.
Artinya, karya seni rupa ini merupakan lukisan tertua dan terlangka yang menggambarkan suasana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa awal berdirinya.
Berdirinya kerajaan-kerajaan di Jawa hampir selalu didahului oleh perseteruan saudara, pemberontakan, hingga campur tangan VOC.
Di Jawa Tengah, perang perebutan takhta mahkota penerus ketiga telah menyulut terpecahnya Kerajaan Mataram.
(Baca juga:Pak Harto, Dunia Gaib, Supranatural dan Spiritualisme Jawa)
Perdamaian Giyanti yang ditandatangani pada 22 Rabiulakhir 1680 dalam kalender Jawa, atau 12 Februari 1755, telah membagi kekuasaan Tanah Jawa menjadi Kasusunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.
Pembangunan bangunan inti Keraton Kasultanan Ngayogyakarta selesai pada 7 Oktober 1756, yang kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai hari jadi Kota Yogyakarta.
Kembali ke lukisan Rach, siapakah lelaki bangsawan berbusana Jawa dan berkuluk yang berjalan diiringi seorang abdinya itu? Mungkinkah itu Sultan Hamengkubuwana I, sang pendiri dan pitarah Kota Yogyakarta?