Meskipun demikian anak selalu menangguk informasi baru dalam dirinya. Informasi yang masuk akan memperlebar "jendela informasi"-nya. Jendela tersebut memungkinkan anak mempunyai kemampuan berbahasa, bermusik, atau berhitung pada usia-usia tertentu. Tahap belajar ini dikendalikan oleh perubahan sinyal biokimiawi yang rumit.
Umur 18 tersendat-sendat
Selain dari segi kuantitatif, dalam menumbuh-kembangkan anak, dalam pandangan Lies, perlu pula diperhatikan segi kualitatifnya. Ada tujuh aspek yang harus diperhatikan: motorik kasar dan halus, komunikasi aktif dan pasif perkembangan kecerdasan kognitif, kemampuan menolong diri sendiri, dan kemampuan sosial. Aspek-aspek tersebut saling berkaitan. Lies memberi contoh belajar menyusun balok. Di sini berpadu latihan komunikasi, kognitif, dan motorik halus.
Penumbuh-kembangan anak harus dimulai sejak dini. Tapi harus melihat situasi anak, terutama susunan saraf. Dalam soal instrumen musik misalnya, "Anak makin memperoleh kemudahan dibandingkan jika usia makin tambah," tutur pendidik musik Gudrun Schwarzer. Kemampuan bermusik bisa memperkuat kemampuan berpikir logis. Anak usia 3 tahun yang memperoleh pelajaran piano dan sering menyanyi dalam koor, lebih cepat belajar untuk menggambar bentuk-bentuk geometris dan menyelesaikan tugas-tugas menghitung.
Dalam hal kemampuan berbahasa, pengajaran sejak dini semakin perlu dilakukan mengingat hasil penemuan peneliti bahasa AS, Patricia Kuhl. Pada usia 12 bulan anak-anak kehilangan kemampuan untuk membedakan bunyi yang tidak memegang peranan penting dalam berbahasa. Itulah sebabnya mengapa anak-anak Jepang tidak dapat membedakan antara lafal "l" dan "r". Dalam kaitan pengajaran bahasa asing, paling mudah jika mereka hidup dalam lingkungan yang mempergunakan dua bahasa. "Siapa bilang bahasa asing baru bisa diberikan setelah selesai sekolah dasar?" kata Chugani.
Memang orang dewasa masih bisa belajar bahasa, tapi itu membutuhkan usaha yang lebih berat dibandingkan dengan ketika masih kanak-kanak. Mungkin suatu hari bisa ditemukan obat-obatan yang bisa membuka kembali "jendela kemampuan belajar" yang peka seperti proses biokimiawi alami.
Pembentukan alami otak makin tersendat setelah melewati usia 18 tahun. Saat itu yang menonjol justru perkembangan prestasi kemampuannya. Berbagai "tombol" yang ada di otak, yang memuat data-data yang dibutuhkan, tinggal "dipencet". Kemampuan bermusik, berbahasa, berpikir logis pada setiap individu ternyata berbeda, tergantung tidak hanya pada latihan, tetapi juga bakat yang diturunkan.
Menerima apa adanya
Masalahnya, apa yang terjadi apabila proses penyambungan saraf-saraf tersebut tidak berjalan dengan baik di masa kanak-kanak? Autis adalah salah satunya, kata Greenspan. Mereka menarik diri dari dunia sekitarnya begitu lahir. Mereka hampir tidak mampu belajar, membaca, menulis, berhitung, atau melakukan gerakan-gerakan tertentu. Sering kali mereka melakukan pengulangan yang tidak ada artinya. Menutup pintu tanpa henti, memandang dengan pandangan kosong, mencabik-cabik kain, atau bergerak ke sana-kemari.
Melalui penelitian fisiologi saraf, Greenspan bisa membuktikan autis terjadi akibat kurang terhubungkannya saraf-saraf di pusat otak yang berisi emosi yang mengisi gerakan rasional dan pikiran logis. Anak jadi tidak dapat menangkap suatu persepsi sehingga tidak mengerti maknanya.
Pada anak-anak autis, terdapat masalah biologis sehingga mereka kehilangan kemampuan belajar. Hilangnya perasaan cinta pada fase awal kehidupan juga dapat melemahkan kekuatannya dan membuat pengaruh yang fatal pada otak. Pernyataan ini diperkuat oleh hasil penelitian, ukuran otak anak yang jarang tersiram kasih sayang dan jarang diajak bermain lebih kecil 30% daripada anak normal pada usia yang sama.
Percobaan terhadap tikus memperkuat hasil penelitian di atas. Tikus yang diisolir di kandang, ukuran otaknya lebih kecil seperempat daripada yang dibesarkan di lingkungan yang diberi stimulasi permainan. Binatang tersebut juga lebih mampu belajar dan lebih cepat menemukan jalan dalam labirin percobaan.
Lies berpendapat, lingkungan yang kondusif akan memberi kesempatan anak untuk berkembang. "Namun yang terpenting adalah menerima apa adanya," tandasnya. Merujuk konsep emotional quotient (EQ) yang merupakan faktor tak terukur dalam membentuk kecerdasan, Lies menjelaskan, EQ dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, sekolah, permainan, dll.), kepribadian, minat, serta motivasi berprestasi. "Faktor-faktor tadi kontribusinya sangat besar bagi keberhasilan anak," ungkap Lies.
Seperti main layangan
Penelitian yang pernah dilakukan Lies juga membuktikan, anak yang diberi ASI lebih pandai dibandingkan dengan rekannya yang menjadi "anak sapi".
Perlakuan terhadap anak pada tiga tahun pertama merupakan lem bagi otak. Mereka yang dimarahi, maupun dipukul tak dapat melenyapkannya dari ingatan di otaknya. Sesuai dengan penelitian Bruce Perry, pada saat hal itu diulangi, pusat rasa takutnya di sistem limbik akan dipenuhi hormon stres. Selama beberapa hari sistem alarm di otaknya akan meningkat dan bayangan akan pelakunya menimbulkan rasa takut. Akibatnya, fungsi otak bagian lain seperti untuk belajar tiba-tiba jadi terblokir. Begitu pula dengan kemampuan berbahasanya terganggu. Ketika tumbuh menjadi dewasa, hormon stres cepat terproduksi begitu terkena beban ringan.
Geraldine Dawson, psikolog AS, meneliti kurva arus otak anak-anak yang ibunya depresif. Di situ terlihat jelas menyempitnya aktivitas saraf di otak depan yang merupakan gudang perasaan bahagia. Tinggi dan dalamnya perasaan wanita dapat dibaca dari berbagai contoh arus otak. Otak yang "sedih" diperlihatkan oleh anak-anak yang ibunya mudah tersinggung dan tidak sabaran. Namun, jika ibu tersebut dapat mengatasi depresinya sebelum si anak lahir, aktivitas otak yang "sedih" itu cepat terobati.
Di AS tengah dibahas pengetahuan baru tentang watak anak sejak dini oleh kalangan yang peduli dengan hal itu. Orangtua yang dua-duanya bekerja dan meninggalkan anak balita mereka serta menyerahkan pengawasan bayi kepada orang lain merasa khawatir. Namun pendapat seperti orang bisa mempunyai inteligensia tinggi dan kreatif meskipun masa kecilnya penuh horor, serta anak-anak yang diasuh dengan baik bisa juga mengalami kegagalan di sekolah, mewarnai pembahasan tersebut.
"Mendidik anak memang seperti bermain layangan," canda Lies. Harus tahu kapan mengulur benangnya, kapan mengikuti angin, dan kapan harus menariknya. Yang jelas, "Kita tidak dapat mengubah apa yang menjadi kekurangannya saat sebelum lahir. Tetapi kita dapat mempengaruhinya setelah sesuatu dialami," tutur Chugani. (Kumpulan Artikel Psikologi Anak 2)
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR