Komunikasi itu dilanjutkan setelah bayi lahir dengan sering menceritakan silly story (cerita lucu). Cerita bisa berawal dari kejadian di sekitarnya. "Misalnya ketika ada kecoak lewat, kita bisa bercerita tentang tiga ekor kecoak," katanya. Komunikasi pun mengalir dengan bahan lebih mengarah kepada keseharian dan juga apa yang mereka miliki. Ia percaya, obrolan semacam itu akan memperkaya "isi" kepala si anak.
Dari sebuah penelitian, janin memiliki "jendela belajar". Melalui jendela ini calon jabang bayi mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan dunia luar, khususnya dalam hal berbahasa. la bisa mengenali melodi dan suara ibunya. Jendela ini semakin lama semakin lebar daun pintunya seiring dengan rangsangan yang diberikan. Pada usia dua tahun, otak anak memiliki jaringan dua kali lipat dari otak orang dewasa, dan menghabiskan energi dua kali lebih banyak. Saat itu, jumlah hubungan yang terjalin sudah lebih dari 300 triliun dan sel-sel yang tidak terhubungkan atau tidak digunakan "dibuang".
Harus bertahap
Greenspan berpendapat, seorang bayi belajar lewat perasaan tentang makna abstrak. Kata "nanti" diserapnya sebagai saat menunggu yang membuatnya frustrasi. Kata "lagi" adalah sesuatu kenikmatan ekstra, tapi juga berarti sesuatu yang tidak menyenangkan. Sedangkan "dekat" bermakna berada di samping ibu.
Pola ajar bayi juga harus bertahap. "Sebelum jalan harus bisa berdiri dulu 'kan?" kata Lies. Demikian pula dengan Greenspan yang mengemukakan sebelum anak belajar menghitung, ia membutuhkan sesuatu yang bisa dipegang. Itu semua merupakan dasar untuk berpikir logis dan dasar untuk memahami asal usul munculnya bintang atau untuk menguasai taksonomi tanaman seperti yang ditunjukkan Bangyan.
Selanjutnya anak bisa menyatukan berbagai macam pengalaman emosional yang diterimanya menjadi sebuah gambaran utuh. "Tak seorang pun yang belajar makna kata cinta dari kamus," ucap Greenspan berfilosofi. Mula-mula ia menangkapnya ketika menyusu, dicium, dan disayang. Kemudian ia pun belajar bahwa cinta juga ada hubungannya dengan kekaguman, kebanggaan, pemberian maaf, persahabatan, dan keinginan seksual.
Kemampuan untuk berpikir logis juga bergantung pada pengalaman yang berhubungan dengan panca indera. Sebenarnya percampuran antara perasaan dan inteligensia sudah digambarkan oleh Albert Einstein. Kata dan simbol dalam pikiran memegang peranan yang kesekian. Yang utama justru gambaran imajinasi yang menentukan serta keinginan untuk menghubung-hubungkan kata dan simbol itu menjadi sebuah konsep yang logis.
Akan tetapi, bayi tidak begitu saja bisa menginterpretasikan gelombang informasi yang masuk. Untuk itu ia membutuhkan susunan saraf yang bisa menangkap makna itu, yang tak lain adalah perasaan! Indera penangkap nilai-nilai emosi ini terdapat di sistem limbik. Nilai-nilai emosi akan diperbandingkan dengan pengalaman yang disimpan di lapisan luar otak. Jika baru dan dianggap penting, nilai tersebut akan disimpan terus. Otak bagian depan mengubah penampilan nilai-nilai itu dalam bentuk tindakan yang masuk akal. Supaya perputaran ini berjalan baik, masing-masing wilayah otak harus terhubungkan dengan baik.
Mengacu pada penelitian Harry Chugani, seorang dokter ahli saraf anak, pada usia 6-20 bulan ingatan emosi bayi paling aktif. Pada umur tersebut bayi membangun jalinan perasaan yang kuat dengan orangtua dan orang di sekitarnya. Tentu saja dasar emosional anak berasal dari elusan yang kemudian akan mencapai tahap perkembangan tertentu. Jika tahap ini sudah terengkuh, hal paling penting adalah mendorong rasa ingin tahu alaminya dan mengembangkan keinginan belajarnya.
Namun orangtua jangan memaksakan kehendak jika anak tak berminat. "Ambisi memang perlu, tapi jangan ambisius," tegas Lies. Sikap ambisius bisa membuat anak frustrasi dan ketakutan, menurut psikolog AS, Adele Diamond. "Kalau anak dipaksa, bisa-bisa sel saraf di otaknya lumpuh," kata fisiolog saraf dari Giessen, Jerman, Horst Prehn. Itu karena kemampuan merespons rangsangan tidak bekerja.
Meskipun rangsangan yang diberikan sama, namun minat mereka bisa berbeda. Seperti kedua anak Henny, yang satu suka dengan kegiatan membaca dan menulis sedangkan satunya cenderung sebagai peneliti. "Orangtua sebaiknya mengembangkan bakat yang sudah terlihat. Untuk yang suka baca-tulis saya mengarahkannya melalui buku harian," tutur Henny.
Dalam hal ini mencintai anak menjadi faktor penting. "Saat mencintai berarti kita menerima," kata Henny Supolo. Kondisi ini menimbulkan rasa aman sehingga membuat konsentrasi anak terfokus pada potensinya, bukan pada cap atau kekurangannya.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR