Kasih Sayang Melahirkan Kecerdasan

Agus Surono

Editor

Kasih Sayang Melahirkan Kecerdasan
Kasih Sayang Melahirkan Kecerdasan

Intisari-Online.com -The Wall Street Jorunal pernah menerbitkan hasil penelitian yang isinya menyatakan, faktor genetika lebih berperan daripada lingkungan dalam menciptakan perbedaan kecerdasan. Apakah ini berarti mematahkan pendapat betapa pentingnya peranan orangtua dan lingkungan dalam merangsang kecerdasan anak?

Bangyan, seorang anak Papua Nugini, tertegun dan terus mengamati tingkah laku seorang peneliti asing yang sedang mengumpulkan tanaman yang ada di hutan Papua untuk dijadikan herbarium. Kelak, tanaman-tanaman tersebut dibandingkan dengan tanaman dari negara lain. Tiba-tiba saja Bangyan dengan polah kanak-kanaknya mendekati sang peneliti. "Lihat, tanaman kita sama," ujar anak itu sambil menunjukkan tanaman yang baru ia petik.

Peneliti asal Jerman itu kaget dan bingung sebab ia sendiri tidak bisa dengan segera menemukan kesamaan kedua tanaman tersebut. Bahkan ia perlu meminta bantuan dua ahli untuk meneliti. Hasilnya, sungguh membuat dia terkejut campur malu. Kedua tanaman tersebut berasal dari genus yang sama.

Si peneliti tercengang, bagaimana anak yang tak mengenal ilmu bisa cerdas begitu?

Sejak dalam kandungan

Kasus Bangyan menjadi menarik jika dikaitkan dengan pola asuh bayi di lingkungan masyarakat Papua Nugini. Dalam kultur mereka, peran wanita sangat dominan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu meski baru saja melahirkan, ibu-ibu di sana segera cancut tali wanda menopang hidup keseharian mereka. Bayi pun terpaksa menempel terus bersama ibunya, meski si ibu bekerja.

Dalam bukunya The Growth of The Mind, Stanley Greenspan menggambarkan bagaimana seorang bayi belajar menempatkan dirinya di dunia ini. "Perasaan menentukan arsitektur otak," begitu kredo para psikiater AS, yang sering dilupakan oleh ibu-ibu modern karena berbagai tuntutan dan kondisi. Tanpa sadar, kredo itu justru melekat pada ibu-ibu Papua.

Menurut Greespan, beberapa hari setelah lahir bayi melakukan reaksi emosional akibat kontak pertamanya. Jantungnya berdetak lebih cepat apabila mendengar suara ibunya. Ia menyusu lebih bersemangat apabila menemukan kenikmatan di mulutnya. Itulah yang diterapkan kaum wanita Papua. Mereka pergi bekerja sambil menggendong bayinya. Dengan begitu sang bayi bisa menyusu kapan saja. Kedekatan dan keterikatan dengan sang ibu memberinya banyak pengalaman. "Dengan demikian terbentuklah rasa percaya diri. Dengan modal itulah ia menaklukkan dunia," ujar sang peneliti Jerman.

Bisa saja pendapat tersebut hanyalah penjelasan romantis dari seorang ahli pengamat suku bangsa yang suka keluar-masuk hutan. Namun penelitian yang dilakukan kemudian membuktikan hal itu. Ada keterikatan erat antara pembentukan otak anak dan perasaan dengan rangsangan yang diberikan, bahkan sejak dalam kandungan.

"Pembentukan otak paling intensif pada tahun pertama," kata Dra. Lies D. Karyadi, M.S., seorang psikolog dan ahli gizi yang berkecimpung dalam dunia perkembangan anak. Dalam tahun tersebut, ada 100 miliar sel otak bayi (neuron) yang saling berhubungan layaknya time accelerator untuk merespons keadaan dunia luar. Pengalaman baru yang mereka peroleh akan memperkuat sambungan yang ada. Dikendalikan oleh gelombang rangsangan saraf dan pengalaman dini masa kecil, terbentuklah jaringan berupa "tombol-tombol" sebanyak 100 biliun yang merupakan suatu universum (jagat).

Berkaca pada kenyataan di atas, sungguh tepat apa yang ditegaskan oleh Lies, betapa pentingnya otak perlu dirangsang sejak dini. "Kalau tidak dirangsang, bisa menjadi atrofi." tambahnya. Atrofi adalah mengecilnya organ, dalam hal ini jaringan otak, akibat menurunnya fungsi karena tiadanya rangsangan. Karena itu perangsangan harus dilakukan sebanyak mungkin dan dimulai sejak dalam kandungan. Rangsangan bisa berupa tindakan mengajaknya berbicara atau memperdengarkan musik.

Hal ini dipraktikkan oleh Henny Supolo Sitepu, salah seorang pengurus Yayasan Anakku – penyelenggara Sekolah Al Izhar. Ia juga merangsang janinnya dengan mengajak bercakap-cakap. 'Eh.... kamu kok tidak bergerak sih hari ini?' begitu salah satu obrolannya dengan sang janin. "Responsnya ada." Henny merasakan ada gerakan dalam perutnya.

Komunikasi itu dilanjutkan setelah bayi lahir dengan sering menceritakan silly story (cerita lucu). Cerita bisa berawal dari kejadian di sekitarnya. "Misalnya ketika ada kecoak lewat, kita bisa bercerita tentang tiga ekor kecoak," katanya. Komunikasi pun mengalir dengan bahan lebih mengarah kepada keseharian dan juga apa yang mereka miliki. Ia percaya, obrolan semacam itu akan memperkaya "isi" kepala si anak.

Dari sebuah penelitian, janin memiliki "jendela belajar". Melalui jendela ini calon jabang bayi mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan dunia luar, khususnya dalam hal berbahasa. la bisa mengenali melodi dan suara ibunya. Jendela ini semakin lama semakin lebar daun pintunya seiring dengan rangsangan yang diberikan. Pada usia dua tahun, otak anak memiliki jaringan dua kali lipat dari otak orang dewasa, dan menghabiskan energi dua kali lebih banyak. Saat itu, jumlah hubungan yang terjalin sudah lebih dari 300 triliun dan sel-sel yang tidak terhubungkan atau tidak digunakan "dibuang".

Harus bertahap

Greenspan berpendapat, seorang bayi belajar lewat perasaan tentang makna abstrak. Kata "nanti" diserapnya sebagai saat menunggu yang membuatnya frustrasi. Kata "lagi" adalah sesuatu kenikmatan ekstra, tapi juga berarti sesuatu yang tidak menyenangkan. Sedangkan "dekat" bermakna berada di samping ibu.

Pola ajar bayi juga harus bertahap. "Sebelum jalan harus bisa berdiri dulu 'kan?" kata Lies. Demikian pula dengan Greenspan yang mengemukakan sebelum anak belajar menghitung, ia membutuhkan sesuatu yang bisa dipegang. Itu semua merupakan dasar untuk berpikir logis dan dasar untuk memahami asal usul munculnya bintang atau untuk menguasai taksonomi tanaman seperti yang ditunjukkan Bangyan.

Selanjutnya anak bisa menyatukan berbagai macam pengalaman emosional yang diterimanya menjadi sebuah gambaran utuh. "Tak seorang pun yang belajar makna kata cinta dari kamus," ucap Greenspan berfilosofi. Mula-mula ia menangkapnya ketika menyusu, dicium, dan disayang. Kemudian ia pun belajar bahwa cinta juga ada hubungannya dengan kekaguman, kebanggaan, pemberian maaf, persahabatan, dan keinginan seksual.

Kemampuan untuk berpikir logis juga bergantung pada pengalaman yang berhubungan dengan panca indera. Sebenarnya percampuran antara perasaan dan inteligensia sudah digambarkan oleh Albert Einstein. Kata dan simbol dalam pikiran memegang peranan yang kesekian. Yang utama justru gambaran imajinasi yang menentukan serta keinginan untuk menghubung-hubungkan kata dan simbol itu menjadi sebuah konsep yang logis.

Akan tetapi, bayi tidak begitu saja bisa menginterpretasikan gelombang informasi yang masuk. Untuk itu ia membutuhkan susunan saraf yang bisa menangkap makna itu, yang tak lain adalah perasaan! Indera penangkap nilai-nilai emosi ini terdapat di sistem limbik. Nilai-nilai emosi akan diperbandingkan dengan pengalaman yang disimpan di lapisan luar otak. Jika baru dan dianggap penting, nilai tersebut akan disimpan terus. Otak bagian depan mengubah penampilan nilai-nilai itu dalam bentuk tindakan yang masuk akal. Supaya perputaran ini berjalan baik, masing-masing wilayah otak harus terhubungkan dengan baik.

Mengacu pada penelitian Harry Chugani, seorang dokter ahli saraf anak, pada usia 6-20 bulan ingatan emosi bayi paling aktif. Pada umur tersebut bayi membangun jalinan perasaan yang kuat dengan orangtua dan orang di sekitarnya. Tentu saja dasar emosional anak berasal dari elusan yang kemudian akan mencapai tahap perkembangan tertentu. Jika tahap ini sudah terengkuh, hal paling penting adalah mendorong rasa ingin tahu alaminya dan mengembangkan keinginan belajarnya.

Namun orangtua jangan memaksakan kehendak jika anak tak berminat. "Ambisi memang perlu, tapi jangan ambisius," tegas Lies. Sikap ambisius bisa membuat anak frustrasi dan ketakutan, menurut psikolog AS, Adele Diamond. "Kalau anak dipaksa, bisa-bisa sel saraf di otaknya lumpuh," kata fisiolog saraf dari Giessen, Jerman, Horst Prehn. Itu karena kemampuan merespons rangsangan tidak bekerja.

Meskipun rangsangan yang diberikan sama, namun minat mereka bisa berbeda. Seperti kedua anak Henny, yang satu suka dengan kegiatan membaca dan menulis sedangkan satunya cenderung sebagai peneliti. "Orangtua sebaiknya mengembangkan bakat yang sudah terlihat. Untuk yang suka baca-tulis saya mengarahkannya melalui buku harian," tutur Henny.

Dalam hal ini mencintai anak menjadi faktor penting. "Saat mencintai berarti kita menerima," kata Henny Supolo. Kondisi ini menimbulkan rasa aman sehingga membuat konsentrasi anak terfokus pada potensinya, bukan pada cap atau kekurangannya.

Meskipun demikian anak selalu menangguk informasi baru dalam dirinya. Informasi yang masuk akan memperlebar "jendela informasi"-nya. Jendela tersebut memungkinkan anak mempunyai kemampuan berbahasa, bermusik, atau berhitung pada usia-usia tertentu. Tahap belajar ini dikendalikan oleh perubahan sinyal biokimiawi yang rumit.

Umur 18 tersendat-sendat

Selain dari segi kuantitatif, dalam menumbuh-kembangkan anak, dalam pandangan Lies, perlu pula diperhatikan segi kualitatifnya. Ada tujuh aspek yang harus diperhatikan: motorik kasar dan halus, komunikasi aktif dan pasif perkembangan kecerdasan kognitif, kemampuan menolong diri sendiri, dan kemampuan sosial. Aspek-aspek tersebut saling berkaitan. Lies memberi contoh belajar menyusun balok. Di sini berpadu latihan komunikasi, kognitif, dan motorik halus.

Penumbuh-kembangan anak harus dimulai sejak dini. Tapi harus melihat situasi anak, terutama susunan saraf. Dalam soal instrumen musik misalnya, "Anak makin memperoleh kemudahan dibandingkan jika usia makin tambah," tutur pendidik musik Gudrun Schwarzer. Kemampuan bermusik bisa memperkuat kemampuan berpikir logis. Anak usia 3 tahun yang memperoleh pelajaran piano dan sering menyanyi dalam koor, lebih cepat belajar untuk menggambar bentuk-bentuk geometris dan menyelesaikan tugas-tugas menghitung.

Dalam hal kemampuan berbahasa, pengajaran sejak dini semakin perlu dilakukan mengingat hasil penemuan peneliti bahasa AS, Patricia Kuhl. Pada usia 12 bulan anak-anak kehilangan kemampuan untuk membedakan bunyi yang tidak memegang peranan penting dalam berbahasa. Itulah sebabnya mengapa anak-anak Jepang tidak dapat membedakan antara lafal "l" dan "r". Dalam kaitan pengajaran bahasa asing, paling mudah jika mereka hidup dalam lingkungan yang mempergunakan dua bahasa. "Siapa bilang bahasa asing baru bisa diberikan setelah selesai sekolah dasar?" kata Chugani.

Memang orang dewasa masih bisa belajar bahasa, tapi itu membutuhkan usaha yang lebih berat dibandingkan dengan ketika masih kanak-kanak. Mungkin suatu hari bisa ditemukan obat-obatan yang bisa membuka kembali "jendela kemampuan belajar" yang peka seperti proses biokimiawi alami.

Pembentukan alami otak makin tersendat setelah melewati usia 18 tahun. Saat itu yang menonjol justru perkembangan prestasi kemampuannya. Berbagai "tombol" yang ada di otak, yang memuat data-data yang dibutuhkan, tinggal "dipencet". Kemampuan bermusik, berbahasa, berpikir logis pada setiap individu ternyata berbeda, tergantung tidak hanya pada latihan, tetapi juga bakat yang diturunkan.

Menerima apa adanya

Masalahnya, apa yang terjadi apabila proses penyambungan saraf-saraf tersebut tidak berjalan dengan baik di masa kanak-kanak? Autis adalah salah satunya, kata Greenspan. Mereka menarik diri dari dunia sekitarnya begitu lahir. Mereka hampir tidak mampu belajar, membaca, menulis, berhitung, atau melakukan gerakan-gerakan tertentu. Sering kali mereka melakukan pengulangan yang tidak ada artinya. Menutup pintu tanpa henti, memandang dengan pandangan kosong, mencabik-cabik kain, atau bergerak ke sana-kemari.

Melalui penelitian fisiologi saraf, Greenspan bisa membuktikan autis terjadi akibat kurang terhubungkannya saraf-saraf di pusat otak yang berisi emosi yang mengisi gerakan rasional dan pikiran logis. Anak jadi tidak dapat menangkap suatu persepsi sehingga tidak mengerti maknanya.

Pada anak-anak autis, terdapat masalah biologis sehingga mereka kehilangan kemampuan belajar. Hilangnya perasaan cinta pada fase awal kehidupan juga dapat melemahkan kekuatannya dan membuat pengaruh yang fatal pada otak. Pernyataan ini diperkuat oleh hasil penelitian, ukuran otak anak yang jarang tersiram kasih sayang dan jarang diajak bermain lebih kecil 30% daripada anak normal pada usia yang sama.

Percobaan terhadap tikus memperkuat hasil penelitian di atas. Tikus yang diisolir di kandang, ukuran otaknya lebih kecil seperempat daripada yang dibesarkan di lingkungan yang diberi stimulasi permainan. Binatang tersebut juga lebih mampu belajar dan lebih cepat menemukan jalan dalam labirin percobaan.

Lies berpendapat, lingkungan yang kondusif akan memberi kesempatan anak untuk berkembang. "Namun yang terpenting adalah menerima apa adanya," tandasnya. Merujuk konsep emotional quotient(EQ) yang merupakan faktor tak terukur dalam membentuk kecerdasan, Lies menjelaskan, EQ dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, sekolah, permainan, dll.), kepribadian, minat, serta motivasi berprestasi. "Faktor-faktor tadi kontribusinya sangat besar bagi keberhasilan anak," ungkap Lies.

Seperti main layangan

Penelitian yang pernah dilakukan Lies juga membuktikan, anak yang diberi ASI lebih pandai dibandingkan dengan rekannya yang menjadi "anak sapi".

Perlakuan terhadap anak pada tiga tahun pertama merupakan lem bagi otak. Mereka yang dimarahi, maupun dipukul tak dapat melenyapkannya dari ingatan di otaknya. Sesuai dengan penelitian Bruce Perry, pada saat hal itu diulangi, pusat rasa takutnya di sistem limbik akan dipenuhi hormon stres. Selama beberapa hari sistem alarm di otaknya akan meningkat dan bayangan akan pelakunya menimbulkan rasa takut. Akibatnya, fungsi otak bagian lain seperti untuk belajar tiba-tiba jadi terblokir. Begitu pula dengan kemampuan berbahasanya terganggu. Ketika tumbuh menjadi dewasa, hormon stres cepat terproduksi begitu terkena beban ringan.

Geraldine Dawson, psikolog AS, meneliti kurva arus otak anak-anak yang ibunya depresif. Di situ terlihat jelas menyempitnya aktivitas saraf di otak depan yang merupakan gudang perasaan bahagia. Tinggi dan dalamnya perasaan wanita dapat dibaca dari berbagai contoh arus otak. Otak yang "sedih" diperlihatkan oleh anak-anak yang ibunya mudah tersinggung dan tidak sabaran. Namun, jika ibu tersebut dapat mengatasi depresinya sebelum si anak lahir, aktivitas otak yang "sedih" itu cepat terobati.

Di AS tengah dibahas pengetahuan baru tentang watak anak sejak dini oleh kalangan yang peduli dengan hal itu. Orangtua yang dua-duanya bekerja dan meninggalkan anak balita mereka serta menyerahkan pengawasan bayi kepada orang lain merasa khawatir. Namun pendapat seperti orang bisa mempunyai inteligensia tinggi dan kreatif meskipun masa kecilnya penuh horor, serta anak-anak yang diasuh dengan baik bisa juga mengalami kegagalan di sekolah, mewarnai pembahasan tersebut.

"Mendidik anak memang seperti bermain layangan," canda Lies. Harus tahu kapan mengulur benangnya, kapan mengikuti angin, dan kapan harus menariknya. Yang jelas, "Kita tidak dapat mengubah apa yang menjadi kekurangannya saat sebelum lahir. Tetapi kita dapat mempengaruhinya setelah sesuatu dialami," tutur Chugani. (Kumpulan Artikel Psikologi Anak 2)