Puasa, Media Introspeksi Agar Kepentingan Lahiriah Tak Lagi Bertentangan dengan Hati Nurani

Agus Surono

Penulis

Puasa sebgai Pengendali Diri
Puasa sebgai Pengendali Diri

Intisari-Online.com - Hari ini umat Muslim memasuki bulan Puasa. Banyak kajian positif tentang puasa. Baik ditinjau dari kesehatan maupun kejiwaan. Di situs ini, dengan mengetik kata kunci "puasa" akan kita temukan banyak artikel yang berkaitan dengan puasa.

Puasa juga merupakan terapi yang baik untuk menekan penyakit yang timbul sebagai dampak modernisasi. Mereka yang tak dapat beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat, sekaligus tidak menjalankan ajaran agamanya, akan diserang bukan hanya penyakit fisik dan mental, tetapi juga penyakit sosial.

Sementara penyakit sosial berakar dari kondisi kesehatan masing-masing orang. Oleh sebab itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menilai status kesehatan seseorang meliputi kesehatan fisik, mental, dan sosial.

(Baca juga:Yuk Belajar Mengolah Kolang-kaling supaya Lebih Tahan Lama)

Pengamalan ibadah - terutama puasa - bukan hanya akan mencekal berbagai penyakit yang dipicu oleh stres lepas kendali, tetapi juga dapat memperbaiki kondisi kesehatan sosial seseorang.

Sebab, kalau ibadah yang satu ini diamalkan dengan penuh keimanan dan ketulusan hati, otomatis akan menggugah altruisme atau rasa cinta kasih yang tanpa pamrih terhadap sesama.

Pada dasarnya, ibadah puasa adalah strategi pengendalian berbagai bentuk nafsu. Jadi, bukan untuk memadamkannya. Menurut Imam Ghazali, seorang sufi besar pada zamannya, sejak awal manusia tinggal di planet Bumi ini, Tuhan telah melengkapinya dengan empat macam nafsu.

(Baca juga:Tampomas II, Salah Satu ‘Korban’ Keganasan Perairan Masalembo, Segitiga Bermuda Versi Indonesia)

Tiga di antaranya bersifat keduniaan, sehingga mutlak harus kita kendalikan, yaitu nafsu sufiah (senang berfoya-foya), lawamah (suka agresif), dan amarah (nafsu merusak). Yang keempat ialah nafsu muthmainnah, yakni bentuk nafsu yang di-ridhai Allah.

Dengan berpuasa, tiga nafsu yang pertama tadi diharapkan dapat dikendalikan secara maksimal, agar nafsu muthmainnah bisa mendominasi akal budi manusia dalam menunaikan tugas-tugas duniawi dan rohaninya sehari-hari.

Kemajuan pesat yang diraih manusia di bidang sains dan teknologi sekarang ini memang telah memberikan kesenangan dan kenyamanan hidup yang diidamkan orang. Namun, karena nafsu inderawi sering lepas kendali, orang jadi sulit mencapai ketenangan diri.

Pada gilirannya, ketidaktenangan ini membuat orang mudah terjebak ke dalam berbagai bentuk gangguan emosi seperti stres, depresi, frustrasi, cemas, dan marah-marah yang tak jelas ujung pangkalnya.

Berpuasa dengan motivasi keimanan dan ketulusan hati - lantaran dijamin bisa menenangkan nafsu muthmainnah atas nafsu-nafsu lainnya - sebenarnya potensial buat mengendalikan berbagai macam nafsu atau bahkan menetralisasi setiap bentuk emosi yang bersifat destruktif.

Pakar terdahulu di bidang psikologi, Sigmund Freud, telah menganalisis jiwa manusia atas tiga elemen, yaitu Id, Ego, Superego. Id (naluri) merupakan bagian jiwa yang memberi motivasi alamiah pada perilaku manusia.

(Baca juga:Sesekali Kita Perlu Puasa Media Sosial)

Id terletak di alam tak sadar. Ego atau "keakuan" kita merupakan bagian mental yang setia melaksanakan perintah id. Letak ego di alam sadar. Sementara superego (hati nurani) terbentuk setelah manusia berkembang mental dan moralnya melalui studi ilmu pengetahuan atau agamanya.

Jadi, orang yang berpuasa (apa pun agama yang dianutnya) berarti memberikan kekuatan konstruktif untuk dirinya sendiri.

Mengendalikan nafsu sepanjang siang hari dari makan-minum-koitus, yang sasarannya tak lain menenangkan superego atas kecenderungan id dan ego yang bisa melampaui batas.

(Baca juga:Polisi Muda Ini Ubah Lokasi Prostitusi Dan Miras Jadi Tempat Mengaji Dengan Uang Pribadinya)

Latihan spiritual berpuasa itu merekayasa jiwa sedemikian rupa agar kondisi kehidupan kita menjadi proporsional, sehingga kepentingan lahiriah kita tak lagi bertentangan dengan hati nurani. Sebab itulah, ibadah puasa boleh dibilang sebagai ibadah introspeksi.

Sebagai PNS atau aparat pemerintah, misalnya, bisa mempertanyakan pada diri sendiri, "Apakah diriku sudah benar-benar tidak mengorupsi uang rakyat?" Sebagai pedagang yang maunya untung besar, mempertanyakan, "Apakah diriku tidak seenaknya menaikkan harga barang untuk menghadapi Lebaran?" Sebagai wakil rakyat, mengintrospeksi diri, "Apakah diriku sudah benar-benar menyalurkan aspirasi rakyat?"

Setiap ibadah yang diwajibkan Islam (shalat, puasa, zakat, haji), semuanya sarat dengan dimensi sosial. Bahkan ditegaskan bahwa ibadah yang dilakukan tidak berpahala jika mengabaikan kemanusiaan. Shalat, misalnya, baru bernilai jika mampu mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar. (Intisari)

Artikel Terkait