Sebagai contoh, dari segi kurikulum, ada sekolah nasional biasa, sekolah nasional plus, sekolah internasional, sekolah agama.
Ada juga sekolah alam yang menawarkan ruang yang luas bagi anak untuk mengembangkan kreativitas, mengelaborasi kekayaan alam, dan mengasah aspek psikomotoriknya.
Ada juga sekolah yang menerapkan disiplin ketat dan lebih menekankan pada pengembangan aspek kognitif anak.
Tiga pilihan
Semuanya positif belaka. Tergantung harapan dan keinginan jangka panjang orangtua mau mendidik anaknya seperti apa. Namun, seperti yang ditunjukkan dalam ilustrasi di awal, antara harapan dan kenyataan kadang tak berjodoh.
Saat memilih sekolah anak, tak jarang kita mendapati kenyataan di mana pilihan-pilihan yang tersedia tidak sesuai dengan angan-angan atau harapan. Bagaimana orangtua menyiasati situasi seperti itu?
Harini Tunjungsari, psikolog pendidikan dari Universitas Atma Jaya, Jakarta, menuturkan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
Pertama, orangtua sebaiknya belajar menerima pilihan dan menyesuaikan ekspektasi mereka. Di luar sekolah, mereka bisa mendampingi anaknya agar tetap mencapai kualitas perkembangan yang diinginkan.
Contohnya, jika ingin anak menghargai orang dari budaya dan usia yang berbeda, maka orangtua perlu mencarikan kegiatan yang memberikan lingkungan multikultur dan multiusia buat anaknya. Caranya dengan mengikutsertakan anak pada klub tertentu atau les tertentu yang mengakomodasi keberagaman latar belakang pesertanya.
Kedua, orangtua juga bisa mencoba untuk mengedukasi pihak sekolah. “Tapi perlu dipastikan dahulu, seberapa besar kemungkinan sekolah menerima masukan dari orangtua,” kata Harini.
Ketiga, memilih sekolah rumahan (homeschooling). Dengan sekolah rumahan, para orangtua bisa mendesain sekolah yang bisa mewujudkan model pendidikan anak sesuai keinginannya.
Realistis saja
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR