Intisari-Online.com -Berbicara soal biaya pendidikan yang mahal, rasanya bukanlah hal yang baru.
Bahkan biaya masuk sekolah dasar yang mencapai puluhan juta rupiah kini terasa umum terdengar.
Meski, tentu saja, hanya segelintir orang yang sanggup membayarnya.
Sementara yang lainnya hanya bisa 'melongo' melihat biaya pendidikan semahal itu.
Baca juga:Inilah Bukit Nirbaya di Nusakambangan, Lokasi Eksekusi Mati para Tahanan yang Terkesan 'Angker'
Nah, mereka yang 'melongo' tersebut mungkin akan 'shock' jika melihat sebuah unggahan di media sosial Facebook, Kamis (10/5/2018) tentang biayamasuk sekolah dasar untuk tahun 2018/2019.
Sebab dalam postingan yang tertulis diambil dari situs the-alvianto.com tersebut, salah satu sekolah, yaitu Sekolah Victory Plus, mematok uang pangkal dan SPP sebagai bagian biaya masuk sekolah tersebut sebesar Rp106.200.000 (harga per Maret 2018).
Ya, harganya setara dengan mobil LCGC Daihatsu Ayla tipe 1.0 D+ M/T, bahkan lebih mahal dibanding tipe D M/T (Rp94,05 juta) dan Datsun GO+ tipe D (Rp104,8 juta).
Baca juga:Kisah Tragis Junko Furuta: Disekap 44 Hari, Diperkosa, Dibunuh, Lalu Mayatnya Dibeton
Biaya yang dipatok sekolah yang terletak di wilayah Kemang Pratama, Bekasi, Jawa Barat tersebut lebih tinggi 2-3 kali lipat dibanding biaya masuk sekolah dasar swasta lainnya dalam daftar tersebut.
Tentu saja, daftar tersebut mendapatkan beragam komentar dari pengguna Facebook.
Kebanyakan menyebut bahwa harga tersebut memang tak masuk akal bagi sebagian masyarakat Indonesia,hanya cocok untuk kaum konglomerat.
Ada pula yang menganggap harga tersebut wajar karena sesuai dengan kualitas pendidikan yang diberikan.
Istilahnya, 'ada harga, ada rupa'.
Benarkah demikian? Sebelum menjawabnya, kita wajib menyimak ulasan tentang biaya pendidikan anak dalam artikel berjudul "Realitas dalam Memilih Sekolah Anak" yang tayang di majalahIntisari edisi Ekstra2013 berikut ini.
---
Baru genap satu bulan si buyung di sekolah barunya, orangtuanya sudah memindahkannya ke sekolah lain. Itu masih mending. Sebab di sekolah sebelumnya, ia hanya bertahan dua minggu.
Usut punya usut, baik si anak maupun orangtuanya memang merasa tidak sreg dengan sekolahsekolah itu. Sekolah pertama letaknya terlalu jauh dari rumah. Kasihan si kecil harus menempuh perjalanan jauh untuk sampai di sekolah, begitu pikir orangtuanya.
Baca juga:Hanya 1 Menit, Sakit Gigi Tak Tertahan Reda dengan 5 Bahan Alami ini
Sedangkan sekolah kedua menerapkan peraturan yang terlalu ketat untuk mendisiplinkan siswanya. Orangtuanya tak mau peraturan sekolah memasung hasrat anak untuk berkreasi dan mengelaborasi hal-hal yang menarik minatnya.
Beruntung, si buah hati masih bersekolah di level taman kanakkanak (TK). Saat masih di jenjang TK atau prasekolah memang tidak mengharuskan ada komitmen untuk mengikuti pelajaran hingga tuntas, sehingga anak bisa pindahpindah sekolah.
Tapi jangan coba-coba hal ini dilakukan pada jenjang yang lebih tinggi. Hal itu akan bakal mengganggu kegiatan belajar mengajar sekolah, dan si anak pun harus beradaptasi dari nol.
Beruntung bagi orangtua, beberapa tahun belakangan bermunculan sekolah baru dengan model yang spesifik. Pilihannya tidak lagi antara sekolah negeri dan swasta, atau sekolah umum dan agama, melainkan lebih beragam.
Sebagai contoh, dari segi kurikulum, ada sekolah nasional biasa, sekolah nasional plus, sekolah internasional, sekolah agama.
Ada juga sekolah alam yang menawarkan ruang yang luas bagi anak untuk mengembangkan kreativitas, mengelaborasi kekayaan alam, dan mengasah aspek psikomotoriknya.
Ada juga sekolah yang menerapkan disiplin ketat dan lebih menekankan pada pengembangan aspek kognitif anak.
Tiga pilihan
Semuanya positif belaka. Tergantung harapan dan keinginan jangka panjang orangtua mau mendidik anaknya seperti apa. Namun, seperti yang ditunjukkan dalam ilustrasi di awal, antara harapan dan kenyataan kadang tak berjodoh.
Saat memilih sekolah anak, tak jarang kita mendapati kenyataan di mana pilihan-pilihan yang tersedia tidak sesuai dengan angan-angan atau harapan. Bagaimana orangtua menyiasati situasi seperti itu?
Harini Tunjungsari, psikolog pendidikan dari Universitas Atma Jaya, Jakarta, menuturkan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
Pertama, orangtua sebaiknya belajar menerima pilihan dan menyesuaikan ekspektasi mereka. Di luar sekolah, mereka bisa mendampingi anaknya agar tetap mencapai kualitas perkembangan yang diinginkan.
Contohnya, jika ingin anak menghargai orang dari budaya dan usia yang berbeda, maka orangtua perlu mencarikan kegiatan yang memberikan lingkungan multikultur dan multiusia buat anaknya. Caranya dengan mengikutsertakan anak pada klub tertentu atau les tertentu yang mengakomodasi keberagaman latar belakang pesertanya.
Kedua, orangtua juga bisa mencoba untuk mengedukasi pihak sekolah. “Tapi perlu dipastikan dahulu, seberapa besar kemungkinan sekolah menerima masukan dari orangtua,” kata Harini.
Ketiga, memilih sekolah rumahan (homeschooling). Dengan sekolah rumahan, para orangtua bisa mendesain sekolah yang bisa mewujudkan model pendidikan anak sesuai keinginannya.
Realistis saja
Jika pun harus memilih sekolah, Harini menyarankan agar orangtua lebih bersikap realistis. Orangtua harus belajar menoleransi jika dihadapkan pada kenyataan bahwa sekolah tidak memberi sesuatu kepada anak sesuai harapan orangtuanya.
Bahkan seringkali jauh panggang dari api. Terlepas dari apa pun kondisinya, setidaknya ada empat pertimbangan yang menurut Harini tidak bisa diabaikan.
Pertama, perkirakan kemampuan (dan kebahagiaan) anak. Tidak perlu memaksakan anak bersekolah di tempat yang suasana persaingannya sangat kuat jika orangtua tahu anaknya tidak tahan stres dan mudah putus asa.
“Mungkin dengan bersekolah di tempat yang ‘biasa-biasa saja’ anak justru bisa belajar mendalam karena tidak stres,” papar Harini. Belajar dengan perasaan bahagia juga dapat memberikan hasil yang baik.
Kedua, perkirakan kesanggupan fisik anak. Tidak perlu memaksakan anak bersekolah di lokasi yang jauh, terlebih jika orangtua mengenali fisik anaknya sering tidak fit.
Ketiga, pertimbangan tentang sekolah lanjutannya. “Jika menggunakan sekolah dengan dasar kurikulum nasional plus, pertimbangkan apakah nantinya anak akan cocok melanjutkan pendidikan di sekolah kurikulum nasional biasa,” imbau Harini.
Sebab berdasarkan pengalaman Harini menangani klien, anak dari sekolah alam perlu adaptasi ekstra untuk bisa duduk tenang di sekolah reguler. “Jadi saat memasukkan anak ke satu jenjang pendidikan, mulai pikirkan juga jenjang lanjutannya.”
Keempat, pertimbangan masalah biaya. Kita mafhum, tidak semua orangtua memiliki dana pendidikan yang tak terbatas. Jika orangtua memilih untuk bekerja ekstra demi menyekolahkan anak, ada baiknya si anak diajari untuk menghargai usaha itu sehingga ia belajar dengan baik.
Namun pembelajaran tentang makna kerja keras orangtua sebaiknya disampaikan sedemikian rupa. Tujuannya, agar orangtua tetap bijak jika suatu saat menemui kenyataan bahwa anaknya mengalami kesulitan belajar.“Kesulitan belajar yang dialami anak tidak selalu berarti anak itu malas,” kata Harini tegas.
Kuncinya tetap orangtua
Terlepas dari apa pun pilihan sekolahnya, lanjut Harini, kunci keberhasilan anak memang terletak pada orangtua. Hal ini tak lepas dari kewajiban orangtua menanamkan dasar-dasar kecintaan belajar dan kemauan si anak untuk mengembangkan diri.
Harini mencontohkan, kebiasaan membaca bacaan yang bagus bakal lebih efektif jika dicontohkan oleh orangtua di rumah. Atau, kebiasaan melakukan segala hal hingga tuntas, sangat dapat didukung oleh orangtua.
Pendampingan akan berhasil jika orangtua menerapkan sikap menghargai dan terbuka pada pendapat anak. “Dengan begitu, anak merasa bebas untuk mengemukakan ideidenya dan selalu bersemangat mengembangkan diri.”
Yohana Hardjadinata, konsultan pendidikan dari Tulip Education Group, Jakarta, menuturkan hal senada. Dia mengimbau agar orangtua mempunyai batas toleransi dalam memilih sekolah.
Umumnya pengajaran di sekolah cenderung menekankan pada pengembangan aspek kognitif, sementara aspek psikologisnya terabaikan. Maka, orangtua harus menambahkannya di rumah.
Misalnya, dengan mengajarkan anak agar mau berbagi, menahan emosi, dan mengasah kepedulian pada sesama.
“Sesibuk apa pun orangtua harus meluangkan waktu untuk anaknya,” kata Yohana. Ukurannya tentu bukan kuantitas, tapi kualitas hubungan kedekatan orangtua dengan anaknya.
Ada juga sekolah yang jumlah siswanya banyak sehingga perkembangan kemampuan belajarnya tidak optimal. Di sini, orangtua harus responsif dengan memberi latihan-latihan tambahan tertentu di rumah, dengan jadwal yang terorganisasi.
Bagaimanapun, tak ada pihak lain yang memiliki tanggung jawab lebih besar atas pendidikan anak kecuali orangtua. Kesibukan kerjalah yang mengharuskan orangtua mendelegasikan pendidikan anak kepada orang lain yang dipercayainya, seperti guru, suster, atau saudara. Namun tetap orangtua harus memantau perkembangan anak.
“Jadi orangtua harus berusaha ekstra. Sebab, ketika kita berkomitmen untuk berumahtangga, kita juga siap untuk dikaruniai anak,” data Yohana.