Baca juga: Masih Muda dan Tidak Diunggulkan, Namun Lanny Kaligis Menjadi Ratu Gelanggang Tenis Asian Games
Pada masa jayanya berat badannya 68 kg dan tingginya 1,74 m. Sedangkan besar dadanya 91,5 cm, kalau menarik napas 95 cm, dan kalau mengeluarkan napas 88 cm. Kapasitas paru-parunya 6 liter, normal hanya 3,5 liter.
Denyut urat nadi seorang olahragawan terlatih biasanya di bawah 75 kali per menit rata-rata. Waktu Zatopek pada tahun 1951 menciptakan rekor dunia untuk jarak 20 km denyut urat nadinya berkali-kali diukur.
Sebelum perlombaan dimulai denyutnya 68 kali per menit. Segera setelah melampaui garis finis melonjak sampai 168 kali per menit.
Empat menit kemudian turun lagi sampai 108, enam menit lagi menjadi 98 dan 3 jam sesudah itu hanya 52 kali setiap menit.
Zatopek memang orang yang mengetahui cara menggunakan keuntungan-keuntungan itu sebaik-baiknya dengan latihan-latihannya yang luar biasa.
Perkembangan semacam itu tampak jelas pula pada Ferry Sonneville. Ferry dikenal sebagai pemain bulutangkis yang berbakat luar biasa. Tetapi kita tahu, bahwa tadinya Ferry juga memiliki bakat dalam cabang-cabang olahraga lain seperti tenis dan yudo.
Baca juga: Olahraga Gulat di Asian Games yang Digambarkan di Atas Perangko
Kenyataan bahwa ia memilih bulutangkis, bukan tenis atau yudo menunjukkan bahwa ia pun berbakat untuk memilih sesuatu dengan tepat. Dalam hal ini memilih bakatnya yang paling dapat ia kembangkan sehingga mencapai juara.
Di samping bakat istimewa dalam bulutangkis, ia pun memiliki hasrat besar untuk mengembangkan bakatnya dengan latihan yang tak kenal lelah serta semangat bertanding yang mati-matian.
Barang siapa mengikuti pertandingan Ferry bukan saja melihat tetapi merasakan hal itu. Sebagai ilusrasi dapat dikemukakan: Pada tahun-tahun 1952, 1953, dan seterusnya Ferry adalah juara. Indonesia belum juara.
Juara dunia pada waktu itu Wong Peng Soon dari Malaysia. Di Indonesia beberapa kali Ferry bertanding dengan “seniman” Wong, selalu dikalahkan.
Namun tak ada perasaan kendor, malahan semakin besar hasratnya untuk sekali waktu toh menunjukkan juara itu.
Dan peristiwa besar ini terjadi pada tahun 1955 bukan di Jakarta, melainkan di kandang Wong sendiri. Dengan kemenangan atas Wong itu Ferry sekaligus membuka pintu kemenangan Thomas Cup bagi Indonesia.
(Ditulis oleh Tan Liang Tie. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1965)
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR