Advertorial
Intisari-Online.com – Bulan Agustus tahun 1962, stadion renang Senayan di Jakarta, baru dan mutakhir ketika itu, penuh sesak dengan penonton. Perlombaan renang Asian Games ke empat tengah berlangsung.
Pertandingan-pertandingan cenderung membosankan, hampir terus-menerus dimenangkan oleh perenang-perenang dari Jepang.
Kimigayo, lagu kebangsaannya, secara berantai berkumandang, sekali waktu diseling oleh lagu kebangsaan Birma.
Pada final pertandingan Loncat indah untuk papan 3 meter, dua puteri Jepang melawan seorang puteri Indonesia. Kayoko Tomoa dan Sakuko Kadokura bukanlah yang terbaik yang Jepang kirim ke Jakarta, namun terlatih lebih baik, berpengalaman lebih banyak dan percaya diri sendiri.
Baca juga: Dulu Dianggap Hanya Buat Pesolek, Kini Sepeda Dibalapkan dalam Asian Games 2018
Lanny Gumulya dari Indonesia, puteri Sala, delapan belas tahun, cantik gemulai, namun tak bereputasi sama sekali dalam olahraga yang serba artistik itu kendati memberi kesan tabah dan tak tar.
Di luar dugaan lawan maupun kawan akhirnya Lanny keluar sebagai pemenang pertama dengan keunggulan angka sedikit atas Sakuko dan Kayoko. Maka sambutan penonton seperti tiada hentinya.
Tatkala Lanny Gumulja mendaki restrum pemenang, dikalungi medali emas serta Indonesia Raya mulai berkumandang membarengi Sang Merah Putih naik ke puncak tiang bendera, tidak sedikit di antara para penonton yang berlinang mata.
Bakat yang terarah
Lanny Gumulya, yang lahir di Sala pada tanggal 13 Nopember 1944, memang berbakat dalam olahraga, maka tidak mengherankan jikalau semasa bersekolah selain berprestasi baik dalam mata pelajaran olahraga diapun menggemari berbagai cabang.
Bahkan sewaktu masih di S.M.P. Bandung, ia belajar yudo pada almarhum Battling Ong dan mencapai tingkat ban coklat. Latihan yudo ini temyata berpengaruh juga pada olahraganya kemudian, yaitu loncat indah, khususnya dalam keberanian berjumpalitan.
Tahun-tahun 1953-54 di Sala, kegemaran akan olahraga mulai berpusat di kolam renang, tapi masih belum bertujuan untuk mencapai prestasi setinggi mungkin, untuk menjadi juara.
Baru pada tahun 1959 Lanny beralih ke loncat-indah, atau dapat dikatakan bakatnya mulai diarahkan.
Masa cemerlang yang singkat
Latihan Lanny berloncat indah ditangani oleh M.Jasin dan pada permulaan itu terutama ditujukan pada Asian Games yang tahun 1962 akan dituanrumahi oleh Indonesia.
Baca juga: Yuk Coba 9 Cara Meningkatkan Stamina Tubuh Ala Atlet Asian Games
Sukses pertama yang nyata dicapai tahun 1961. Dalam P.O.N. VI di Bandung untuk nomor Papan 3 meter Lanny berhasil menggondol medali emas, antara lain mengalahkan Mien Brodjo yang pada waktu itu sudah tergolong peloncat indah kawakan.
Kemudian Lanny masuk T.C. Asian Games dan ikut try out ke Filipina dan Jepang.
Dalam Asian Games 1962 itu selain emas untuk papan 3 m Lanny menangkan perunggu untuk nomor Terjun Menara 10 meter. Sukses ini diulangi dalam Ganefo tahun 1963 di Jakarta, emas untuk papan 3 m dan perunggu untuk menara 10 m.
Dan nama Lanny Gumulya sebagai peloncat indah ayu tercatat untuk selamanya dalam sejarah olahraga Indonesia, bahkan telah menjadi salah satu harapan sebuah medali Olimpik 1964.
Hanya tiga atlet wanita yang akan diikutsertakan dalam Olimpiade 1964 di Tokio, yaitu ny. Lely Sampoerno untuk menembak, Lie Lan Hoa untuk renang dan Lanny Gumulya untuk loncat indah.
Akan tetapi mereka tidak sampai turut berlomba dalam Olympic Games itu. Karena perbedaan pendapat maka seluruh kontingan Indonesia menarik diri.
Setelah Tokio, Lanny tidak berlatih lagi dan selama setahun lebih menjadi mahasiswi FKUI. Pada tahun 1966 dia menikah dengan Charlie Kartadinata, anak Jakarta, putera pemilik pabrik kecap Cap Bango.
Serba terampil
Lanny dan Charlie berangkat ke Eropa untuk berbulan madu. Bulan madu ini berkepanjangan menjadi tiga tahun lebih lamanya. Dan selama di Eropa itu mereka sempat mencoba-coba mengusahakan restoran di Spanyol, bersama dengan seorang teman.
Nampaknya keterampilan Lanny tidak hanya dalam olahraga. Rumah makan di Malaga memakai nama "Mandarin" dan berjalan baik, apalagi suami Lanny, Charlie, memang berpendidikan ekonomi.
Tetapi setelah tiga tahun usaha di Malaga itu mereka tinggalkan juga. Lanny dan Charlie kembali ke Tanahair, membawa dua anak yang lahir di sana. Keduanya puteri.
Di Indonesia mereka menetap di Jakarta dan membuka sebuah percetakan di sebidang tanah di daerah Palmerah milik orangtua Charlie.
Baik Lanny maupun Charlie tidak mempunyai dasar pendidikan percetakan sama sekali, hanya Lanny mungkin sudah biasa dengan suasana percetakan karena di Sala keluarga ibunya memang pengusaha bidang ini. Merekapun mengerjakan percetakan offset dan letterpress.
Charlie terutama bekerja di luar mencari order dan Lanny, yang menjadi ibu empat orang puteri, yang sulung berumur 10 dan yang bungsu 2 tahun, mengendalikan perusahan di rumah. Percetakannya terletak di belakang rumah.
Mungkin Lanny bukan orang satu-satunya yang berhasil dalam olahraga maupun dalam usaha atau dalam kehidupan, sebab dari banyak contoh telah ternyata bahwa olahragawan yang berhasil di arena sering pula terampil dalam apapun yang dikerjakan sebagai anggota masyarakat.
Namun jelaslah, bahwa selain pandai mengarahkan bakatnya Lanny pun cerdas menarik keuntungan dari keterampilannya.
(Ditulis Oleh Tan Liang Tie. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1978)
Baca juga:Ketika Indonesia Disegani Sebagai 'Macan Asia' di Kancah Asian Games