Aryani, 29 tahun, tak pernah mengira bahwa di usia yang masih sangat muda, harus kehilangan pendamping hidup dan menjadi orangtua tunggal. Sang suami tiba-tiba saja divonis kanker paru-paru stadium lanjut dan meninggal dunia hanya dua tahun setelah mereka menikah. Saat itu usia Aryani baru 23 tahun dan baru dikaruniai anak yang belum genap usia setahun.
“Bayangkan di usia itu saya harus menjadi janda dan single mom,” tuturnya. Diakuinya, hal yang paling membebani adalah mereka saat itu baru memiliki anak dan belum bekerja. Aryani kemudian memutuskan meninggalkan rumah yang baru mereka tinggali berdua dan kembali tinggal bersama orangtuanya.
Ia mengaku begitu terpukul, hingga sulit tidur selama berbulan-bulan. Beruntung, keluarga, terutama ibu dan ibu mertuanya memberi dukungan yang luar biasa. “Mereka yang selalu menjaga dan memberi saya pengertian bahwa hidup harus dilanjutkan. Saya harus kuat demi anak,” ujarnya.
Awalnya ia pesimis akan mudah mendapat pekerjaan, mengingat statusnya yang telah menikah dan memiliki anak. Ia pun sempat kembali terpuruk ketika pekerjaan yang dinantinya belum kunjung diperoleh. Setahun kemudian ia diterima bekerja di sebuah perusahaan consumer goods ternama.
Butuh waktu sekitar tiga tahun baginya untuk pulih. Dulu ia mengaku sering mengeluh dan merasa diri paling nelangsa. Ia sengaja menyibukkan diri dengan pekerjaan agar tidak larut dalam kesedihan. “Saya juga suka jualan. Pokoknya apa saja saya kerjakan supaya tidak ada waktu kosong. Karena kalau sudah melamun, sedih itu datang lagi,” ujarnya.
Namun melihat putranya tumbuh dan masuk usia sekolah, membuat ia perlahan menerima keadaan. Ditanya mengenai pendamping hidup, ia mengaku mulai membuka diri. Belum lama ini ia tengah menjalin hubungan dengan seseorang. Namun belum merencanakan menikah dalam waktu dekat.
Menangislah dan bangkit
Psikolog keluarga M.G. Yulistin Puspaningrum mengatakan, tingkat kesulitan seseorang dalam menghadapi pasangan yang pergi lebih dulu dipengaruhi oleh intensitas cinta yang telah mereka bangun. “Hal tersebut dipengaruhi oleh emosi, keterikatan, ketergantungan dengan pasangan. Seberapa besar cinta satu sama lain,” tuturnya.
Ditinggal pasangan hidup akan menjadi sangat berat, bukan hanya bagi mereka yang baru menikah, tetapi juga bagi pasangan yang telah puluhan tahun menikah. Secara umum terdapat beberapa tahap. Reaksi pertama yang biasa dialami ketika seseorang ditinggal pasangan hidupnya adalah shock hebat, terguncang. Selanjutnya akan diikuti oleh fase penolakan, kemarahan ataupun perasaan bersalah, dan depresi. Negosiasi dengan diri sendiri, hingga kemudian sampai pada tahap penerimaan.
Menangis merupakan ekspresi yang sangat wajar dialami ketika seseorang baru kehilangan orang yang dicintai. Menangis dipercaya menjadi bagian penting dari proses penyembuhan luka batin.
Fase itu terbilang normal dialami seseorang dalam kondisi berduka akibat kehilangan pasangan hidup. Namun, lamanya waktu pemulihan akan berbeda pada setiap orang, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Di antaranya intensitas hubungan, pengalaman, penyebab kematian, karakter emosi, kondisi keluarga, latar belakang budaya serta agama.
Kita harus menanamkan pemahaman bahwa dalam hidup semua berubah. Semua tidak kekal. Ada kelahiran, ada kematian. Ada perjumpaan, ada perpisahan. Kalau kita pegang prinsip itu, kita tidak akan larut dalam keterpurukan. “Berusahalah merelakan apa pun yang terjadi, karena hidup tidak akan selalu berlangsung bahagia,” ungkap Yulistin.
--
Tulisan ini pernah dimuat di Intisari Extra November 2012, ditulis oleh Risma Hasnawaty, dengan judul asli Bangkit Setelah Ditinggal Pergi; Duka Tak Harus Selalu Ditambah Nestapa.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR