Bangkit Setelah Ditinggal Pergi: Duka Tak Harus Nestapa (1)

K. Tatik Wardayati

Editor

Bangkit Setelah Ditinggal Pergi: Duka Tak Harus Nestapa (1)
Bangkit Setelah Ditinggal Pergi: Duka Tak Harus Nestapa (1)

Intisari-Online.com – Menangis dinilai ampuh menyembuhkan luka psikis dan mampu menurunkan beban pikiran. Pengeluaran air mata dirangsang oleh hormon prolaktin. Wanita memiliki kandungan prolaktin lebih besar dibanding dengan pria, sehingga wanita lebih mudah menangis. Apalagi bila ditinggal oleh pasangan. Bagaimana mereka harus bangkit setelah ditinggal pergi pasangan? Ya, duka tak harus selalu ditambah nestapa.

--

“Rindu adzan berbunyi. Rindu kamu di hati. Rindu setengah mati @MrAmplitudo #madrid”

Begitu cara Fira Basuki mengekspresikan kerinduan yang ia tujukan untuk almarhum sang suami, Havez Agung Baskoro. Ia tidak pernah putus mengirimkan puisi dan berbagai pesan singkat melalui Twitter kepada @Mr.Amplitudo, akun Twitter suaminya.

Sejak suaminya mendadak koma, Fira rajin meng-update kabar tentang kondisi suaminya yang ketika itu tengah berada di Yogyakarta. Akhirnya pada Jumat pagi, 16 Maret 2012, ia mengabarkan bahwa sang suami telah berpulang.

Kabar mengejutkan tersebut sempat ramai diperbincangkan publik di media sosial. Pasalnya, pernikahan mereka memang terbilang singkat, baru lima bulan. Apalagi saat itu ia tengah mengandung. Ungkapan simpati dan doa pun mengalir untuknya.

Setelah empat puluh hari berselang, pesan-pesan singkat untuk @Mr.Amplitudo masih terus ada. Menerima kenyataan bahwa sang belahan jiwa telah pergi memang bukan hal mudah. Namun ia mencoba mematahkan anggapan bahwa orang yang berduka cenderung terpuruk.

Pada 22 April 2012 lalu Fira menulis, “40 hari tanpa ragamu @MrAmplitudo. Bahkan di mana pun kutemu jiwamu. Cinta spt haus akanmu. #madridwithoutu.” Saat itu Fira berada di Madrid dalam rangka pekerjaan.

Fira juga mengutarakan, tinggal lama di Amerika telah membuatnya menjadi pribadi yang “terbuka”. Namun darah Jawa yang dimilikinya membuat ia mengerem dan menutupi sebagian kesedihannya.

“Sebagai perempuan Jawa saya terbiasa tersenyum walau di dalam hati kesedihan teramat sangat. Membuat orang bahagia melihat saya adalah bagian saya,” jelasnya dalam Twitter. Namun keluarga, pengalaman, kedekatan dengan Tuhan juga membentuknya menjadi pribadi yang pasrah, ikhlas, percaya.

Moving on is like a river which has some rocks. The water hits the rocks. As pain as it is, slowly, to the sea. Ingatan seperti tulisan pakai pensil, ketika dihapus bekasnya masih ada di kertas. Bisa dipakai nulis lagi tapi tidak semulus semula,” tutur Chief Editor Majalah Cosmopolitan Indonesia dalam Twitternya, 20 April 2012.

Tidak melamun

Aryani, 29 tahun, tak pernah mengira bahwa di usia yang masih sangat muda, harus kehilangan pendamping hidup dan menjadi orangtua tunggal. Sang suami tiba-tiba saja divonis kanker paru-paru stadium lanjut dan meninggal dunia hanya dua tahun setelah mereka menikah. Saat itu usia Aryani baru 23 tahun dan baru dikaruniai anak yang belum genap usia setahun.

“Bayangkan di usia itu saya harus menjadi janda dan single mom,” tuturnya. Diakuinya, hal yang paling membebani adalah mereka saat itu baru memiliki anak dan belum bekerja. Aryani kemudian memutuskan meninggalkan rumah yang baru mereka tinggali berdua dan kembali tinggal bersama orangtuanya.

Ia mengaku begitu terpukul, hingga sulit tidur selama berbulan-bulan. Beruntung, keluarga, terutama ibu dan ibu mertuanya memberi dukungan yang luar biasa. “Mereka yang selalu menjaga dan memberi saya pengertian bahwa hidup harus dilanjutkan. Saya harus kuat demi anak,” ujarnya.

Awalnya ia pesimis akan mudah mendapat pekerjaan, mengingat statusnya yang telah menikah dan memiliki anak. Ia pun sempat kembali terpuruk ketika pekerjaan yang dinantinya belum kunjung diperoleh. Setahun kemudian ia diterima bekerja di sebuah perusahaan consumer goods ternama.

Butuh waktu sekitar tiga tahun baginya untuk pulih. Dulu ia mengaku sering mengeluh dan merasa diri paling nelangsa. Ia sengaja menyibukkan diri dengan pekerjaan agar tidak larut dalam kesedihan. “Saya juga suka jualan. Pokoknya apa saja saya kerjakan supaya tidak ada waktu kosong. Karena kalau sudah melamun, sedih itu datang lagi,” ujarnya.

Namun melihat putranya tumbuh dan masuk usia sekolah, membuat ia perlahan menerima keadaan. Ditanya mengenai pendamping hidup, ia mengaku mulai membuka diri. Belum lama ini ia tengah menjalin hubungan dengan seseorang. Namun belum merencanakan menikah dalam waktu dekat.

Menangislah dan bangkit

Psikolog keluarga M.G. Yulistin Puspaningrum mengatakan, tingkat kesulitan seseorang dalam menghadapi pasangan yang pergi lebih dulu dipengaruhi oleh intensitas cinta yang telah mereka bangun. “Hal tersebut dipengaruhi oleh emosi, keterikatan, ketergantungan dengan pasangan. Seberapa besar cinta satu sama lain,” tuturnya.

Ditinggal pasangan hidup akan menjadi sangat berat, bukan hanya bagi mereka yang baru menikah, tetapi juga bagi pasangan yang telah puluhan tahun menikah. Secara umum terdapat beberapa tahap. Reaksi pertama yang biasa dialami ketika seseorang ditinggal pasangan hidupnya adalah shock hebat, terguncang. Selanjutnya akan diikuti oleh fase penolakan, kemarahan ataupun perasaan bersalah, dan depresi. Negosiasi dengan diri sendiri, hingga kemudian sampai pada tahap penerimaan.

Menangis merupakan ekspresi yang sangat wajar dialami ketika seseorang baru kehilangan orang yang dicintai. Menangis dipercaya menjadi bagian penting dari proses penyembuhan luka batin.

Fase itu terbilang normal dialami seseorang dalam kondisi berduka akibat kehilangan pasangan hidup. Namun, lamanya waktu pemulihan akan berbeda pada setiap orang, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Di antaranya intensitas hubungan, pengalaman, penyebab kematian, karakter emosi, kondisi keluarga, latar belakang budaya serta agama.

Kita harus menanamkan pemahaman bahwa dalam hidup semua berubah. Semua tidak kekal. Ada kelahiran, ada kematian. Ada perjumpaan, ada perpisahan. Kalau kita pegang prinsip itu, kita tidak akan larut dalam keterpurukan. “Berusahalah merelakan apa pun yang terjadi, karena hidup tidak akan selalu berlangsung bahagia,” ungkap Yulistin.

--

Tulisan ini pernah dimuat di Intisari Extra November 2012, ditulis oleh Risma Hasnawaty, dengan judul asli Bangkit Setelah Ditinggal Pergi; Duka Tak Harus Selalu Ditambah Nestapa.