Suatu hari di tahun 1976, Muhammad Yunus bersama koleganya, H.I Latifee mengunjungi Desa Jobra yang terletak di dekat Universitas Chitagong, Bangladesh. Mereka berhenti di rumah bobrok berdinding lempung yang hampir roboh dan beratapkan rumbia yang rendah dan berlubang. Mereka menemui seorang perempuan yang tengah membuat bangku dari anyaman bambu dan bercakap-cakap tentang pendapatan yang diperoleh perempuan beranak tiga itu.
Sufiya Begum, nama perempuan itu, memperoleh pendapatan dua sen sehari. Bagi Yunus, profesor yang terbiasa berteori mengenai jumlah miliaran dolar AS di ruang kuliah, jumlah itu adalah recehan yang tak berarti. Hal itulah yang membuatnya terpukul. Ia berhadapan dengan masalah hidup dan mati yang ditentukan oleh sejumlah uang recehan. Peristiwa itulah yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya Grameen Bank, yang mengantarkan Yunus memperoleh Nobel Perdamaian tahun 2006.
Lewat bank itu, Yunus memberi pinjaman kepada jutaan perempuan Bangladesh yang bernasib seperti Sufiya Begum. Pinjaman itu hanya sebesar beberapa ratus atau beberapa ribu Taka (mata uang lokal) yang setara dengan beberapa puluh atau beberapa ratus ribu rupiah. Dengan pinjaman superkecil tersebut, para perempuan miskin Bangladesh memulai usaha kerajinan tangan, beternak, atau berdagang kecil-kecilan. Kisah ini diceritakan oleh Yunus di dalam buku Bank Kaum Miskin (terbitan Marjin Kiri, terjemahan dari buku Banker to The Poor).
Pemandangan mirip keluarga Sufiya Begum di Bangladesh juga terjadi di Kampung Sodong, Desa Ligar Mukti, Klapanunggal, Bogor. Seorang perempuan tua tinggal di rumah berdinding rumbia, bertiang bambu dan atap genting. Ari, begitu saja perempuan itu menyebut namanya, punya warung kecil yang terletak persis di pinggir jalan. Sementara rumahnya yang sebagian dindingnya masih bolong terletak lebih tinggi dari jalan. Pecahan karang menjadi penyangga urukan tanah yang kemudian menjadi lantai rumah. Lantai itu berupa tanah hitam berbongkah-bongkah yang menampilkan retakan seperti tanah sawah yang kering saat kemarau. Ada balai-balai kayu di depan rumah. Di situlah ia biasa duduk menanti pembeli.
Isi warung berupa minuman maupun makanan kecil seperti kerupuk, rempeyek, dan jajanan lain yang biasa dijual Rp 500,- - Rp 1.000,-. Penghasilan kotor dari warung itu setiap hari maksimal hanya Rp 10.000,-. Tak jarang dagangannya tak laku, bahkan sampai tiga hari. Pasalnya, pada hari Senin-Sabtu sangat sedikit orang yang berkunjung. Warung Ari terletak dekat pemandian mata air Sodong yang hanya ramai pada hari Minggu atau hari libur. Jika tiba hari libur, Ari semringah karena penghasilannya bisa mencapai Rp 50.000,- - Rp 100.000,-.
Bagi perempuan berusia 60-an tahun itu, kondisi seperti itu masih jauh lebih baik daripada waktu menjadi buruh tani. Seharian dipanggang sinar Matahari, seminggu sekali ia hanya menerima upah Rp 20.000,-. Ia sadar, usia kian menua, kepalanya sering pusing ketika ia bekerja di tengah sawah. Suaminya sudah meninggal sehingga ia harus menghidupi dirinya sendiri.
Beruntung, tahun 2009 lalu Ari bergabung dalam kelompok simpan pinjam yang merupakan replikasi dari Grameen Bank. Yayasan Mitra Dhuafa selaku pengelola pinjaman itu memberi utang sebesar Rp 500.000,- yang bisa ia gunakan untuk modal usaha.
Pinjaman sebesar itu ia lunasi selama 25 minggu dengan cicilan sebesar Rp 22.500,- per minggu. Apakah setiap minggu Ari selalu punya uang untuk membayar cicilan itu? Ia tertawa getir, lalu bercerita sambil tersenyum lugu. Pada satu hari, ia memperoleh uang sebesar Rp 60.000,-. Semua uang itu digunakan untuk kulakan jajanan sore harinya. Esoknya, ketika tiba waktunya mencicil, ia bingung bagaimana membayar uang cicilan. Untungnya, ada pembeli datang dan ia mendapat uang untuk membayar angsuran.
Bukan hanya sekali hal semacam itu terjadi. Tapi toh nyatanya ia berhasil melunasi pinjamannya tepat waktu. Sekarang ia tengah mengambil pinjaman kedua sebesar Rp 900.000,-, yang harus ia lunasi dalam tempo 50 minggu. "Kalau ngambil yang lebih pendek (25 minggu) cicilannya gede, takut enggak bisa bayar," katanya dengan logat Sunda yang kental.
Sistem Tanggung Renteng
Bagi Ari, menghadapi keadaan terjepit semacam itu sudah terbiasa. Meski pernah bolong membayar angsuran, ia tetap bertanggung jawab membayar kewajibannya. Jenal Abidin, kepala cabang Mitra Dhuafa Klapanunggal bercerita bahwa Ari termasuk nasabah yang cukup rajin membayar angsuran. Apa kuncinya? Berhemat, termasuk untuk kebutuhan primer seperti makan sehari-hari. "Saya selalu simpan beras. Kalau makan, yang penting ada nasi. Dua liter bisa dimakan untuk 3-4 hari," kata perempuan yang menjanda sejak 20 tahun lalu ini.
Simpan pinjam di bank rakyat kecil ini mengikuti sistem tanggung renteng. Agar bisa mengajukan pinjaman, seorang nasabah harus menjadi anggota dari sebuah kelompok kecil bersama beberapa nasabah lain. Jika ada anggota kelompok yang membandel dalam mengangsur, maka seluruh anggota lain dalam kelompok itu harus ikut bertanggung jawab.
Sistem tanggung renteng ini membuat Ari mau tak mau harus disiplin. Sejak awal, sebelum pinjaman cair, anggota diwajibkan mengikuti Latihan Wajib Kumpul (LWK). Setiap kelompok yang terdiri dari lima orang harus mengikuti LWK selama lima hari. Pertemuan itu dimaksudkan untuk mempererat tali silahturahmi sekaligus forum tempat anggota memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban. Di forum ini, calon nasabah juga bisa belajar mengenai pengelolaan keuangan rumah tangga dan sebangsanya. Biasanya LWK diadakan di satu wilayah yang disebut center. Tiap center terdiri atas 2-6 kelompok, yang berarti 10-30 orang.
Pencairan pinjaman juga tak serempak, melainkan berpola 2-2-1. Pola ini sama dengan yang diterapkan Muhammad Yunus ketika mengawali Grameen Bank di Desa Jobra. Setelah LWK, pinjaman untuk dua orang dalam satu kelompok cair di minggu kedua. Pada saat yang sama, petugas bank melakukan survei terhadap dua orang berikutnya. Lalu, di minggu ketiga, pinjaman untuk dua orang berikutnya cair, bersamaan dengan survei untuk satu orang terakhir. Orang terakhir yang merupakan ketua kelompok ini memperoleh pinjaman di minggu keempat.
"Dalam program kredit mikro ini kami menginginkan hanya pelopor-pelopor yang punya keberanian dan ambisi. Merekalah orang-orang yang akan berhasil," begitu kata Yunus yang mengawali program ini tahun 1980-an. Bahkan ketika memperoleh pinjaman uang yang setara dengan Rp 250.000,-, perempuan-perempuan miskin itu menerima uang dengan gemetar. Lantaran tak pernah memegang uang sebanyak itu sepanjang hidup, mereka menggenggam uang itu dengan berurai air mata.
Pinjaman untuk Perempuan
Selain Yayasan Mitra Dhuafa, lembaga penyedia kredit "supermikro" juga bisa kita jumpai di UKM Center Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI). Para nasabahnya pun tak jauh berbeda dari Ari.
Ade Nurani, seorang nasabah yang tinggal di Rangkepan Jaya, Depok, sejak dua tahun lalu juga menggunakan dana pinjaman untuk berjualan makanan kecil. Ia membeli barang dari produsen makanan lalu menjajakannya dengan cara berkeliling kampung tiap pagi dan sore. Tiap hari keuntungan bersih yang diperoleh sekitar Rp 20.000, - - 30.000,-. Ade bangga karena kini ia punya sumber pendapatan baru selain nafkah suaminya. "Bisa digunakan untuk membayar kekurangan biaya sekolah anak," katanya.
Pendapatan tak jauh berbeda diperoleh Ati, nasabah lain, yang tinggal di desa Singasari, Klapanunggal, Bogor. Ati punya warung kecil berdinding bambu. Setiap hari Senin dan Kamis, ia membawa ternak atau buah-buahan hasil bumi dari desanya untuk dijual di Pasar Jonggol. Tiap minggu pendapatan bersih bisa mencapai Rp 200.000,- - Rp 300.000,-.
Sama seperti Ari, Ati dan Ade kini juga memasuki pinjaman kedua. Seiring meningkatnya pinjaman, modal usaha pun bertambah. Selain untuk modal, uang pinjaman juga bisa digunakan untuk memperbaiki sarana hidup. Ari, misalnya, menggunakan uang dari pinjaman kedua untuk membangun rumah bambu yang lebih layak dari rumah sebelumnya.
Meniru Grameen Bank, fokus pemberian pinjaman di kedua lembaga di atas memang perempuan miskin. Muhammad Yunus memang sengaja memilih kaum perempuan sebagaui nasabah karena mereka ini terpinggirkan secara sosial namun punya potensi besar. Menurut Yunus, perempuan miskin memandang jauh ke depan dan bekerja keras untuk membebaskan diri dan keluarganya dari kemiskinan. Ketika seorang ibu dari keluarga miskin mulai memperoleh pendapatan, impian keberhasilannya selalu terpusat di sekitar anak-anaknya. Prioritas kedua adalah rumah tangganya.
Menurut Nining I Susilo, Direktur UKM Center FEUI yang memulai proyek percontohan Grameen Bank di Depok, disiplin adalah kunci keberhasilan. Yang dituntut berdisiplin tinggi bukan hanya pada nasabah tapi juga petugas lapangan.
Ketidakdisiplinan jelas berpotensi menyebabkan kredit macet sekaligus menyulitkan nasabah sendiri, seperti yang pernah terjadi pada Ade. Suatu kali Ade sudah menyiapkan uang cicilan tepat waktu, tapi ternyata petugas tidak datang mengambil. Akhirnya uang itu Ade pakai untuk keperluan lain, bukan disimpan. Akibatnya, ketika tiba waktu pembayaran cicilan berikutnya, Ade kesulitan membayar cicilan dobel.
Sekalipun para peminjam itu sering menghadapi kesulitan saat jatuh tempo membayar cicilian, orang-orang miskin itu adalah nasabah yang bertanggun jawab. Grameen Bank di Bangladesh telah membuktikannya. Di sana, rata-rata tingkat pengembalian kredit mencapai 98%!
Memberi pinjaman adalah cara yang lebih bermartabat daripada memberi mereka sedekah. Kata Yunus, kita cenderung memberi mereka sedekah karena enggan mencari pangkal masalah kemiskinan dan mencari solusinya. Sedekah membuat mereka bertahan hidup sementara, tapi pinjaman memberi mereka keberanian dan inisiatif untuk hidup mandiri.
(Sumber: Intisari Extra, 30 Inspirasi Berani Yang Akan Mengubah Hidup Anda)
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR