Sumber-sumber penderitaan itu dapat dilenyapkan dengan menempuh ke delapan jalan yang mulia. Yaitu pengertian yang benar, pikiran yang benar, pembicaraan yang benar, pencarian yang benar, kehidupan yang benar, daya upaya yang benar, kesadaran yang benar dan konsentrasi yang benar.
Manusia sendiri harus berusaha mengekang ketiga nafsu yang menjadi sumber penderitaan dengan cara mengamalkan kedelapan jalan yang ditunjukkan oleh Sang Buddha. Maka rahmat Tuhan dengan sendirinya akan dicerminkan dalam usaha tersebut.
Seorang penganut Buddha harus mengakuti Tiga Perlindungan. Berlindung kepada Sang Buddha, berpegang kepada Dharma yang berarti ajaran Sang Buddha dan mengamalkan ajaran tersebut, disebut Sangga.
Baca juga: (Video) Mencengangkan! Biksu Shaolin Ini Mampu Melubangi Kaca Hanya dengan Jarum
Pada tahun 1959,10 orang bikhu dari Jepang, Sri Lanka, Kamboja, Muangthai, Birma berkumpul di Borobudur. Dua orang ditahbiskan menjadi bikhu pada upacara internasional tersebut.
Tutur Bikhu Jinarakkhita, "Peristiwa itu amat berkesan pada kami. Setelah berabad-abad, inilah yang pertama kalinya kebesaran Buddha dalam sejarah Indonesia di masa lampau, dihidupkan kembali."
Pada akhir percakapan kami datang dua orang dokter gigi, masing-masing ketua Perbudi cabang Bandung dan Makassar. Dokter gigi dari Bandung mengemukakan adanya berbagai kesulitan dewasa ini.
Sambut Bikhu Jinarakkhita sambil tersenyum, "Asalkan kita masih dapat tertawa saja."
Bikhu Jinarakkhita sudah 10 tahun meninggalkan kesenangan duniawi, dia hidup murni, berpantang daging, tetapi jangan mengira humor kemanusiaannya ikut lenyap.
Humor dan kegembiraan sejati adalah percikan jiwa. Makin bersih jiwanya makin bersenyum-simpul pula humornya, serta makin cerah kegembiraan. Kegembiraan yang tak dapat dirampas oleh malang-mujurnya kehidupan manusia.
Kesunyataan tentang adanya penderitaan di dunia tidak memuramkan pandangan Stavira Jinarakkhita. Yang kami bawa pulang dan kami sampaikan kepada khalayak adalah "... roman muka bulat telur yang senyum teduh, jubah kuning tua yang menutupi tubuh."
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1963)
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR