Advertorial

Stavira Ashin Jinarakkhita Bikhu Pertama Indonesia Abad XX: Ke-Aku-an Menjadi Sumber Salah Paham, Pertentangan, dan Perpecahan

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Bertutur kata dengan Bikhu Jinarakkhita mengenai pribadinya memang tidak mudah.

Sebelumnya dia sudah menegaskan, "Janganlah ke-aku-an saya dikemukakan. Bukankah keakuan itu hanya akan menjadi sumber dari salah paham, pertentangan dan perpecahan?"

Padahal setidak-tidaknya, satu hal yang ingin kami tanyakan kepadanya, "Mengapa dia sebagai seorang doktorandus Ilmu Pasti lulusan Universitas Groningen, Belanda, akhirnya justru memilih kehidupan sebagai seorang bikhu Buddha?"

Akhirnya dengan enggan dijawabnya, "Sesuai dengan isi hati saya, saya mendapatkan ketenangan di dalamnya. Seakan-akan semua masalah lalu terpecahkan."

Baca juga: Kisah Masa Kecil Buddha

Lima tahun lebih The Boan An, demikian namanya sebelum menjadi bikhu, belajar di Eropa, hidup di tengah suasana agama dan kebudayaan Kristen.

Beberapa temannya sudah menyaksikan ketenangan yang dimiliki mahasiswa ilmu pasti tersebut. Disiplinnya terhadap diri sendiri keras. Dia gemar mendengarkan ceramah tentang aliran kebatinan dan mendalami buku-buku Buddha dari perpustakaan-perpustakaan.

Sering juga ia bertemu dengan bikhu-bikhu yang kebetulan melawat ke Eropa. Di antaranya dengan Bikhu Titila di London.

Beberapa sahabat menganjurkan, supaya dia belajar teologi untuk menjadi domine atau pastor. "Saya berterima kasih kepada mereka. Tetapi sekali lagi persesuaian hati tidaklah ke sana, melainkan kepada Sang Buddha."

Baca juga: Dvarapala, Dulu Penjaga Bangunan Suci dan Pendamping Buddha, Kini Jadi Penghias Rumah Orang Kaya

Kecenderungan akan ajaran Sang Buddha sudah dirasakannya sejak duduk di HBS Jakarta, kemudian pindah ke ITB Bandung dan akhirnya meneruskan ke Universitas Groningen.

Kami bertanya, "Jika sudah sejak HBS bermaksud untuk menjadi bikhu, mengapa meneruskan studi ilmu pasti ke Eropa?"

Jawabnya, "Kita orang Timur selalu menghormati kemauan orang tua, bukan? Karena orang tua mau saya meneruskan belajar, maka saya turuti dengan senang hati."

Saudaranya ada sebelas orang. Mereka menganut beragam keyakinan agama. "Tetapi kami hidup damai. Perbedaan keyakinan agama tidak menjadi sebab renggangnya persaudaraan, asalkan kasih sesama benar-benar diamalkan."

Dari penuturan selanjutnya jelaslah ketenangan yang dicarinya bukanlah ketenangan negatif untuk diri sendiri, melainkan ketenangan yang akan diamalkan kepada sesamanya.

Baca juga: Babi Raksasa Bersujud di Kuil Buddha Usai Kabur dari Peternakan

Tiga kali (paling sedikit) sehari sebagai seorang bikhu dia bermeditasi, melakukan renungan dan konsentrasi. Tetapi dia pun gembala bagi umatnya yang terkena percobaan dan masalah hidup, untuk minta nasehat, penghiburan dan kekuatan.

"Dalam hal ini pekerjaan kami tidak banyak berbeda dengan domine atau pastor," katanya. Upacara-upacara kebaktian dipimpinnya, demikian pula upacara perkawinan dan mendoakan arwah yang baru meninggal dunia.

Bagaimanakah upacara perkawinan tersebut?

"Upacara boleh dijalankan menurut adat kebiasaan setempat. Yang terpenting doanya, mantra Buddha. Dalam mantra tersebut kami mohonkan kepada dewa agung agar melindungi suami-isteri baru, memberikan keselamatan dan rezeki."

Perkawinan dalam agama Buddha adalah monogami. Sekali kawin dibawa mati. Kecuali dalam hal-hal luar biasa, jika tidak ada jalan lagi, perkecualian dapat dipertimbangkan.

Baca juga: Peneliti Belanda Dikejutkan Adanya Mumi Seorang Biksu dalam Patung Buddha Berusia 1000 Tahun

Umat Buddha di Indonesia ditaksir berjumlah antara tujuh sampai 10 juta orang tersebar di berbagai tempat. Di Indonesia baru ada dua orang bikhu, karena itu Bikhu Jinarakkhita selalu berkeliling. Tempat kediamannya yang resmi di biara Buddha Gaya Semarang.

Apakah bikhu tidak suka berkunjung ke tempat-tempat keluarga?

"Hal itu kami lakukan, hanya kalau seluruh anggota keluarga menyetujuinya. Jangan sampai kunjungan kami malah mengganggu kerukunan."

Semangat toleransi menjiwai pelaksanaan tugasnya. Toleransi itu pula salah satu unsur, mengapa dia tertarik akan agama Buddha. Menurut pendapatnya, jiwa toleransi bangsa Indonesia tercermin pada Pancasila.

"Apabila Pancasila sungguh-sungguh kita amalkan, maka kita dapat memberikan lichtpunt, sinar terang kepada dunia."

Dalam menjalankan tugasnya Bikhu Jinarakkhita dibantu oleh seorang bikhu lain dan dua orang samanira (calon bikhu). Mereka termasuk Persaudaraan Rahib, hidup selibat (tidak kawin), pantang makan daging dan menjalankan disiplin kebatinan yang keras.

Baca juga: Peneliti Belanda Dikejutkan Adanya Mumi Seorang Biksu dalam Patung Buddha Berusia 1000 Tahun

Di samping mereka masih ada 1000 upashaka-upashika, para alim-ulama yang berwenang mewakili para bikhu dalam upacara perkawinan, kematian, dan Iain-lain.

Mereka boleh berumah tangga biasa, meskipun terikat pula oleh syarat-syarat tertentu yang membedakannya dari umat Buddha lainnya.

Tahun 1953, sekembalinya dari Eropa, Drs. The Boan An ditahbiskanmenjadi bikhu menurut ritus Mahayana di Jakarta. Kemudian dia melawat ke Birma. "Setelah diuji pengetahuan dan meditasi, maka saya diperkenankan hidup dalam biara memperdalam kitab-kitab Pali, Sansekerta mengenai ajaran Sang Buddha."

Setelah setahun di Birma, dia ditahbiskan menjadi bikhu sempurna menurut ritus Sthawiravada dan mendapat gelar Dharmacharja dari Dewan Buddha Sasana di Rangoon.

Tahun 1955 Maha Nayaka Stavira Ashin Jinarakkhita kembali ke Tanah Air sebagai bikhu putera Indonesia yang pertama di abad XX.

Baca juga: Terungkap! Rupanya Begini Cara Sulit Mumifikasi Diri Para Biksu yang Dilarang oleh Pemerintah Jepang!

"Sepuluh tahun Yang Mulia Maha Nayaka Stavira menegakkan dan mengembangkan kembali agama Buddha di Indonesia," demikian antara lain sambutan Kolonel Soemantri Mohammad Saleh, Ketua Perhimpunan Buddhis Indonesia pada resepsi peringatan 10 tahun Bikhu Stavira Ashin Jinarakkhita di Gedung Wanita Jakarta.

Selama 10 tahun tersebut Bikhu Jinarakkhita mengajarkan kepada umatnya bahwa dunia ini penuh penderitaan. Penderitaan tersebut disebabkan oleh nafsu loba, kebencian dan pengetahuan yang palsu (loba, dosa, moha).

Sumber-sumber penderitaan itu dapat dilenyapkan dengan menempuh ke delapan jalan yang mulia. Yaitu pengertian yang benar, pikiran yang benar, pembicaraan yang benar, pencarian yang benar, kehidupan yang benar, daya upaya yang benar, kesadaran yang benar dan konsentrasi yang benar.

Manusia sendiri harus berusaha mengekang ketiga nafsu yang menjadi sumber penderitaan dengan cara mengamalkan kedelapan jalan yang ditunjukkan oleh Sang Buddha. Maka rahmat Tuhan dengan sendirinya akan dicerminkan dalam usaha tersebut.

Seorang penganut Buddha harus mengakuti Tiga Perlindungan. Berlindung kepada Sang Buddha, berpegang kepada Dharma yang berarti ajaran Sang Buddha dan mengamalkan ajaran tersebut, disebut Sangga.

Baca juga: (Video) Mencengangkan! Biksu Shaolin Ini Mampu Melubangi Kaca Hanya dengan Jarum

Pada tahun 1959,10 orang bikhu dari Jepang, Sri Lanka, Kamboja, Muangthai, Birma berkumpul di Borobudur. Dua orang ditahbiskan menjadi bikhu pada upacara internasional tersebut.

Tutur Bikhu Jinarakkhita, "Peristiwa itu amat berkesan pada kami. Setelah berabad-abad, inilah yang pertama kalinya kebesaran Buddha dalam sejarah Indonesia di masa lampau, dihidupkan kembali."

Pada akhir percakapan kami datang dua orang dokter gigi, masing-masing ketua Perbudi cabang Bandung dan Makassar. Dokter gigi dari Bandung mengemukakan adanya berbagai kesulitan dewasa ini.

Sambut Bikhu Jinarakkhita sambil tersenyum, "Asalkan kita masih dapat tertawa saja."

Bikhu Jinarakkhita sudah 10 tahun meninggalkan kesenangan duniawi, dia hidup murni, berpantang daging, tetapi jangan mengira humor kemanusiaannya ikut lenyap.

Humor dan kegembiraan sejati adalah percikan jiwa. Makin bersih jiwanya makin bersenyum-simpul pula humornya, serta makin cerah kegembiraan. Kegembiraan yang tak dapat dirampas oleh malang-mujurnya kehidupan manusia.

Kesunyataan tentang adanya penderitaan di dunia tidak memuramkan pandangan Stavira Jinarakkhita. Yang kami bawa pulang dan kami sampaikan kepada khalayak adalah "... roman muka bulat telur yang senyum teduh, jubah kuning tua yang menutupi tubuh."

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1963)

Baca juga: Kuburannya Digali, Jenazah Biksu Ini Ditemukan dalam Kondisi Tersenyum, Inilah 'Pekerjaanya' Semasa Hidup

Artikel Terkait