80% ditentukan EQ
Hana menegaskan, 80% kesuksesan si anak ditentukan oleh EQ (emotional quotient), sementara 20%-nya oleh intelegensia. Meski demikian, orangtua harus mengetahui, EQ bukan seperti IQ yang merupakan pemberian sejak lahir. EQ yang bersifat abstrak harus diasah sedemikian rupa. Ia harus ditumbuhkan dengan latihan dan kebiasaan.
Meski bersifat abstrak, EQ berperan penting dalam memaksimalkan bakat bawaan si anak. Misal, si anak sangat berbakat bernyanyi dan memiliki pita suara yang istimewa. Pada sisi lain, ia adalah pemalas dan gampang putus asa. Pada sebuah kesempatan, ia mengikuti ajang pencarian bakat anak anak.
Tapi sial, ia kalah. Si anak putus asa dan tidak mau berlatih lagi. Jika selamanya ia tidak mau berlatih, bukan tidak mungkin bakat menyanyinya hilang. Tapi berbeda cerita jika si anak memiliki rasa percaya diri tinggi, selalu ingin belajar, saat dia gagal sekali, dia akan mencoba sekali lagi, sampai berhasil. “Semangat yang tinggi, percaya diri, tidak mudah menyerah, itulah EQ,” ujar Hana tegas.
Secara garis besar, EQ meliputi lima dimensi: kemampuan mengenali emosi diri, kemampuan mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri, kemampuan mengenali emosi orang lain, serta kemampuan membina hubungan.
“Satu dengan yang lain bisa saling melengkapi,” ujar Bunda Hana, panggilan akrab Hana Yasmira. Jika dijabarkan, dimensi-dimensi tersebut meliputi empati, kegigihan, keikhlasan, kepedulian, ketekunan, dll. Sepintar apa pun si anak, secerdas apa pun dia, jika tidak dibekali sifat-sifat tersebut, maka kepintarannya akan sia-sia. Bahkan tidak berkembang maksimal.
Cara menumbuhkan EQ
EQ bukan bawaan dari lahir, ia harus dilatih dan ditumbuhkan. Untuk menumbuhkan itu, orangtua harus memiliki komunikasi yang baik supaya si anak mau diajak bekerja sama untuk menumbuhkan kecerdasan emosionalnya.
Komunikasi yang berjalan lancar antara orangtua dan anak membuat keduanya bisa saling bertukar informasi serta bisa memahami isi hati masing-masing. Anak yang sudah dipahami hatinya oleh siapa pun, terlebih orangtua, kemungkinan besar bisa menerima dirinya dengan utuh. Penerimaan inilah, yang menurut Bunda Hana, menjadi fondasi anak untuk perkembangan kecerdasan mentalnya.
“Ada penelitian yang menyebut, kecenderungan gangguan kejiwaan pada anak disebabkan adanya hambatan berkomunikasi dengan orangtuanya, terlebih ibu,” ujar perempuan dengan dua orang anak ini.
Sejatinya ini bukan soal yang sulit. Banyak cara bisa dilakukan orangtua untuk berkomunikasi dengan anaknya. Menurut Bunda Hana, setidaknya ada empat cara yang bisa dilakukan orangtua untuk membangun komunikasi dengan si anak.
Pertama, memberi emotional first aid sedini mungkin. Anak biasanya belum memiliki kemampuan untuk memahami perasaannya, tapi kepekaannya dapat berkembang jika ada dorongan untuk mengungkapkan perasaannya. Misalnya dengan ungkapan-ungkapan seperti “Kelihatannya kamu sangat marah?”, “Wah, kamu senang ya bisa pergi ke rumah nenek?”, dan lain sebagainya.
Kedua, saat anak bercerita, posisikan diri sebagai pendengar terbaik yang aktif. Fokuskan perhatian pada emosi yang muncul dari cerita si anak serta sesekali membantunya mengenali perasaan tersebut. “Ya, Ibu Ayah bisa mengerti perasaanmu. Lalu bagaimana terusannya?”. Kalimat-kalimat tersebut bisa dijadikan bahan pancingan untuk terlibat dalam emosi si anak.
Ketiga, orangtua bisa menunjukkan sikap empati, sikap ini mencoba untuk merespons dengan tulus perasaan anak tanpa ikut menjadi emosional. Misalnya, jika anak merasa takut, sedih, marah, maka orangtua harus memberi dukungan secara sportif tanpa harus ikut menjadi takut, marah, sedih, dan cemas.
Keempat, orangtua harus bisa tulus menerima isi hati dan pikiran anak. Menerima di sini bukan berarti setuju dengan setiap keputusannya.
Jika keempat dijalankan, bukan tidak mungkin untuk menciptakan anak yang sukses. Sekali lagi perlu diingat, bahwa IQ bukan penentu utama kesukesan anak. Ada hal lain yang perlu dipupuk sedemikian rupa, perlu dilatih secara berkala, yaitu emosinya alias EQ-nya.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR