[ARSIP TABLOID NOVA]
Warok menempati posisi penting dalam tradisi reog ponorogo, kesenian khas Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Ada kalanya mereka saling adu kekuatan.
Artikel ini pertama tayang di Tabloid Nova, ditulis oleh Bambang HS dan Maman S
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Dahulu, yang namanya reog, warok dan gemblak merupakan bagian dari tradisi yang menyatu dalam masyarakat Ponorogo, Jawa Timur. Antar warok sering terlibat gegeran, tawuran karena kebanggaan kelompok tersinggung dan iri hati.
Jika sudah begini mata barongan bisa dicungkil dan darah pun tumpah.
Warok konon artinya besar. Besar wibawa dan kedudukannya. Disegani dan dihormati, umumnya mereka punya jabatan demang.
Dalam kesenian reog, warok adalah pemimpin sekaligus pemain barongan. Simaklah apa yang sedang terjadi di Desa Surodikraman sebagaimana dikisahkan dalam Tabloid Nova edisi 14 Januari 1990 ini.
Suara kendang, kenong, dan terompet ditimpali teriakan hook ... e oleh para penabuh dan penonton memecah kesunyian desa. Dua penari jathilan atau jaranan melenggak-lenggok luwes di atas jaranan (kuda lumping dari anyaman bambu), diiringi penari yang mengenakan topeng Klono Sewandono dan Bujang Ganong.
Perhatian penonton terpusat pada penari yang mengenakan topeng harimau besar. Di atas topeng harimau terpasang batangan rotan yang ditempeli bulu-bulu merak.
Tak ubahnya burung merak jantan yang sedang mengembangkan ekornya. Seakan bulu merak itu menjadi mahkota dari sang raja rimba. Topeng yang beratnya bisa mencapai 50 kg inilah yang disebut barongan atau dadhak merak.
Berat topeng agaknya tak menjadi masalah bagi sang penari yang juga warok. Padahal, topeng itu hanya disangga dengan gigi dan kepalanya.
"Bagi warok, berat barongan dan dadhak merak tak ada artinya," tutur Juwari, salah seorang mantan warok yang kemudian jadi Lurah Ronowijayan yang menjadi salah satu narasumber Tabloid Nova saat itu.
Selain penari topeng, di kiri-kanan rombongan berjalan laki-laki bertubuh tinggi besar, berkumis dan berjenggot hitam tebal. Mengenakan udeng (ikat kepala), penadon (baju hitam), selabruk (celana hitam), otok (sabuk besar berkantung) serta tali besar putih menjuntai di depannya, mereka ini pun para warok, jawara di daerah Ponorogo yang dahulu dikenal sakti mandraguna. Sedang penari jathilan dan jaranan adalah para gemblak.
ILMU TINGGI
Sejak kapan budaya warok dikenal, tak ada yang tahu persis. Konon warok pertama adalah Jayanegara yang mendapat sebutan Sri Garasakan, ketika bertakhta sebagai Raja Wengker di kawasan ini dulu.
Ada yang berpendapat, warok pertama adalah Ki Ageng Suryongalam. Di dalam Babad Ponorogo karangan Purwowijoyo, nama Suryongalam disebut sebagai demang di Surukubeng, sekitar empat setengah abad silam. Karena tinggal di Desa Kutu, dia lebih dikenal sebagai Ki Ageng Kutu. Salah seorang anaknya bernama Suromenggolo, yang kelak menjadi warok legendaris.
Terlepas dari siapakah yang benar, orang Ponorogo umumnya sepakat, julukan warok hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki "kelebihan" dalam ilmu kanuragan maupun kasampurnan. Warok bahkan tidak hanya digdaya dan berani tetapi juga harus cakap memimpin.
Seperti kata Kasni, mantan warok dari Sumoroto. "Kalau modalnya cuma berani itu namanya 'warokan' bukannya warok," tukas Kasni yang kondang dengan sebutan Kamituwo Kucing.
Warok juga berbeda dengan gelar bangsawan. Tak bisa diturunkan, karena ia merupakan legitimasi dari masyarakat, sebagai rasa hormat dan segan terhadap kesaktian dan pengaruh mereka. Anak seorang warok belum tentu akan menjadi warok.
"Sebutan warok itu diberikan masyarakat, bukan diaku-aku sendiri. Yang mengaku dirinya warok hanya ada di dalam kethoprak," kata Ira Daru Mardi, narasumber Tabloid Nova yang dulu Lurah Josari.
SESAT
Kesaktian yang luar biasa sering membuat mereka lupa diri. Hingga memilih jalan sesat, seperti menjadi tukang berkelahi atau merampok.
"Sebagian besar para warok itu waktu mudanya nakal. Saya sendiri dulu juga sering berkelahi dan merampok," tutur Mardi lagi. Nama warok Senen Kaku dulu dikenal pula sebagai perampok yang ditakuti.
Di antara para warok sering terjadi adu ilmu atau bentrok secara fisik. Adu ilmu, misalnya, mengganggu lewat hal yang tak kasat mata (tak kelihatan). Secara fisik, yaitu langsung lewat tatap muka dan perkelahian. "Biasanya, karena satu grup iri hati melihat barongan grup yang lain tampil lebih baik," tutur Tobron, salah seorang bekas warok.
Tak jarang grup yang menyerang berusaha merusak barongan milik grup yang diserangnya. "Bahkan tak jarang mata barongan itu dicungkilnya," tambahnya.
Ini tentu bukan pekerjaan mudah, karena warok yang diserang tak akan tinggal diam. "Di sana darah pun bisa tumpah," tutur Tobron.
Dari mana kesaktian warok? Hanya orang-orang yang kuat prihatin (menjalani gemblengan fisik dan mental) yang bisa menjadi warok. Meski tak mutlak, banyak warok mengawali kariernya sebagai gemblak.
Ini diakui para bekas warok, seperti Jolego, Juwari, Tobron, Imam Sukadi dan Benjot. "Dulu, saya ngenger pada Mbah Aseng dan Ki Ageng Mirah," tutur Jolego.
Dalam masa berguru, dia harus menjalani topo ngalong, yaitu bergelantungan di atas pohon berhari-hari dengan kaki di atas seperti halnya kalong, tanpa makan dan minum. Kemudian dilanjutkan dengan topo ngluweng, bertapa dalam lubang selama puluhan hari tanpa makan dan minum. Setelah selesai baru dia harus topo mbisu selama 40 hari tidak boleh berbicara sama sekali.
Setelah topo-topo itu dilakukan barulah dia mutih selama 40 hari. Selama kurun waktu itu, dia hanya boleh makan nasi putih tanpa garam, serta air putih. Masih ada lagi beberapa proses yang harus dijalani dan dirahasiakan dengan berbagai bacaan dan pantangan yang tak boleh dilanggar. Itu semua hanya diketahui dan diamalkan para warok.
LUNTUR
Betapa mahalnya kesaktian yang mereka peroleh, sampai-sampai demi kedigdayaan itu mereka rela menjauhi wanita selama "masa penggemblengan".
Sebagai ganti mereka memelihara gemblak, lelaki muda yang berfungsi lebih dari sekadar istri. Karena dia juga bisa menemani melancong, minum-minum bahkan memijit sang warok. Menyalurkan hasrat kepada wanita, konon dapat melunturkan kesaktian. Wanita tidak akan melunturkan kesaktian jika langsung dinikahi.
Kenapa tidak langsung menikah saja? "Menikah baru kami lakukan kalau 'isi' diri kami sudah penuh. Kalau belum bisa repot. Karena dapat menghambat perolehan ilmu kesaktian yang memerlukan waktu dan pengorbanan yang tak sedikit," tutur Jolego.
Karena "belum penuh" maka dorongan seks yang tak bisa dibendung harus disalurkan. Ya dengan mengangkat gemblak itulah.
Lalu, bagaimana sebenarnya hubungan antarmereka? "Pokoknya tak akan mengakibatkan AIDS, karena kami tidak berbuat yang aneh-aneh. Kami sekadar tidur bersama. Paling-paling cuma cium-ciuman,” jelas Jolego.
Tapi mereka yang akrab dengan kehidupan para warok umumnya membantah hal itu. "Mereka tidak mungkin mau berterus-terang, karena kedudukan mereka sekarang sebagai lurah harus menjadi contoh bagi warganya," ungkap mereka.
Kehidupan para warok memang merupakan fenomena menarik. Meski umumnya beristri dan punya anak, mereka melakukan praktik homoseks dengan pasangan di bawah umur dengan aman. Bahkan, makin banyak punya gemblak seorang warok semakin terpandang di mata masyarakat.
Istri warok pun tak gusar dengan hal itu. "Tidak apa-apa, kok. Malah saya senang. Karena dengan adanya gemblakan, tentunya suami saya tidak akan menyeleweng dengan perempuan lain," kata istri seorang warok. Begitulah lika-liku kehidupan warok beserta para gemblaknya dalam khasanah tradisi reog ponorogo di Ponorogo.