Maujud Sejak 1985, Ternyata Begini Riwayat Bubur Samin Banjar Menu Takjil Legendaris Masjid Darussalam Solo

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Bubur samin banjar yang menjadi menu takjil legendaris Masjid Darussalam Jayengan, Kota Solo, tak lepas dari keberadaan pendatang dari Banjar, Kalimantan Selatan, yang sudah menetap sejak akhir abad 19 (KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)
Bubur samin banjar yang menjadi menu takjil legendaris Masjid Darussalam Jayengan, Kota Solo, tak lepas dari keberadaan pendatang dari Banjar, Kalimantan Selatan, yang sudah menetap sejak akhir abad 19 (KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Masjid Darussalam Jayengan, Kota Solo, identik dengan bubur samin khas Banjar, yang menjadi menu takjil legendaris masjid itu. Punya kaitan erat dengan para pendatang dari Kalimantan Selatan.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Masjid Darussalam Jayengan, Solo, sepertinya tak bisa dipisahkan dari bubur samin banjar. Bagaimana tidak, kudapan khas Banjarmasin, Kalimantan Selatan, adalah menu takjil legendaris di masjid yang sudah berdiri sejak 1910 itu.

Bagaimana riwayat bubur samin banjir di masjid itu?

Baca Juga: Peradaban Bubur Nirkendur

Benar, bubur samin memang khas Banjar, Kalimantan Selatan. Tapi ia identik dengan jamaah Masjid Darussalam Jayengan, Kota Surakarta. Bubur itu selalu menjadi buruan warga setiap Ramadhan datang.

Bubur samin dibuat oleh Takmir Masjid Darussalam di Kelurahan Jayengan, Kecamatan Serengan, Solo, Jawa Tengah. Mengutip Kompas.com, tradisi bubur samin banjar Masjid Darussalam Jayengan sudah ada sejak 1985.

Bubur itu biasanya disajikansetiap sore menjelang berbuka puasa. Ketua Takmir Masjid Darussalam, M Rosyidi Muchdor, menyampaikan, tradisi buka puasa bersama di Masjid Darussalam sudah dilakukan sejak 1930.

Ketika itu masih bernama langgar atau mushala. Menu buka puasa saat itu masih berupa sop Banjar dan menu lainnya. Belum ada bubur samin.

Pada 1965, Takmir Masjid Darussalam H Anang Sahroni bin Abdul Somad membuat bubur samin khas Banjar sebagai menu buka puasa. Tetapi bubur samin belum dibagikan kepada masyarakat secara luas. Masih untuk kalangan jamaah Masjid Darussalam.

Lalu pada 1985, bubur samin mulai dibagikan masyarakat luas. "Awalnya hanya membuat 20 kilogram bubur samin. Kemudian meningkat sampai sekarang 50 kilogram," kata Muchdor di Solo, sebagaimana dikutip dari Kompas.com.

Muchdor menyampaikan, setiap ramadhan, Masjid Darusaalam selalu membuat 50 kilogram atau 1.300 porsi bubur samin. Di mana 1.100 porsi bubur samin dibagikan kepada masyarakat dan sisanya 200 porsi untuk takjil atau buka puasa bersama di Masjid Darussalam.

"Ditambah kopi susu, kurma, buah-buahan dan kue lain dari donatur," ungkap dia.

Lalu dari mana biayanya untuk membuat bubur sebanyak itu? MenurutMuchdor, semuanya berasal dari para donatur yang di ada berbagai tempat, termasuk alumni Darussalam. "Uangnya (pembuatan bubur samin) dari alumni SD Darussalam, alumnus masjid dari Singapura, Yogyakarta, Purwokerto," kata dia.

Sebagai simbol perekat

Bubur samin khas Banjar sempat dua tahun absen dari Masjid Darussalam Jayengan karena pandemi Covid-19. Tapi kini, ia sudah maujud lagi.

Seperti disebut di awal, tradisi berbagi takjil bubur samin banjar selama bulan Ramadhan sudah berlangsung sejak 1985. Yang mencetuskan adalah para pendatang dariKabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, yang sekarang sudah beranak pinak di sana.

Mengutip Kompas.ID, bubur samin banjar punya cita rasa yang unik. "Setiap suapnya membawa kehangatan pada tubuh. Boleh jadi itu disebabkan banyaknya rempah-rempah yang digunakan. Resepnya enggan dibeberkan pihak masjid secara rinci. Tetapi, dalam cecapan, terasa campuran bumbu seperti kapulaga, kayu manis, pala, ketumbar, jahe, hingga kemiri. Bubur tambah nikmat dengan adanya tetelan daging sapi dan sayuran. Bintang utamanya yang membuat bubur semakin lezat adalah digunakannya minyak samin," begitu tulisnya.

Siapa saja boleh dan berhak mengantre untuk mendapatkan semangkuk bubur samin di Masjid Darussalam Jayengan. Takmir masjid akan membagikannya tanpa memandang latar belakangsuku, agama, dan ras si pengantre.

Jangankan mereka yang berasal dari luar Jayengan atau Solo, mereka yang punya latar belakang agama berbeda pun tak jadi soal.

Yusuf Ahmad adalah warga asli Jayengan. Pria berusia 55 tahun itu mengaku pernah melihat seorang warga keturunan Tionghoa datang mengantre untuk mendapatkan semangkuk bubur samin.

Diceritakannya, sang pengantre itu datang dengan mobil mewah dan tampak bukan mencari bubur gratis karena alasan kekurangan uang. Ternyata, dia mengantre diminta orangtuanya yang sedang sakit dan menginginkan bubur itu.

”Ini kami malah senang. Bubur ini bisa bermanfaat bagi orang lain. Dan, ini malah jadi tempat persatuan. Karena, kami tidak membedakan ras, suku, dan agama,” kata Yusuf.

Dari penuturanKetua Takmir Masjid Darussalam Jayengan HM Rosyidi Muhdhor, kita tahu bahwa inisiator dari gerakan itu adalah masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan, yang sudah beranak-pinak di Solo, yang merantau sejak 1890.

Ketika itumereka datang untuk berdagang perhiasan permata demi keperluan upacara di Kasunanan Surakarta. Lambat laun, mereka yang sukses kemudian membeli sebidang tanah di Jayengan. Di tanah itulah mereka membangun langgar pada 1910, selesai pada 1911.

Langgar itulah yang menjadi embrio Masjid Darussalam Jayengan yang kita kenal sekarang. "Kebiasaan buka bersama sesama warga Banjar dimulai sejak adanya langgar. Menunya tentu masakan-masakan Banjar. Pada 1985, baru jemaah masjid ini berikrar untuk membagikan bubur kepada masyarakat umum," kata Rosyidi.

Lebih lanjut, Rosyidi mengatakan bawhaberbagi bubur samin banjar semata-mata untuk memperkuat ukhuwah islamiyah, persaudaraan antarumat Islam. Dari tahun ke tahun, ternyata antusias masyarakat besar.

Semula, hanya 15 Kg beras per hari yang dimasak menjadi bubur. Kini, rata-rata bisa membutuhkan 40 Kg beras per hari. Orang yang datang juga tidak hanya jamaah masjid setempat, tetapi umat muslim dari berbagai daerah. Bahkan, bubur itu juga menjadi berkah bagi umat beragama lain.

Baca Juga: Masjid Jami Kebon Jeruk dan Eksistensi Cina Muslim di Batavia Abad 18

Artikel Terkait