[ARSIP INTISARI]
Beberapa surat kabar mewanti-wanti jangan sampai pemerintah membeli sesuatu yang sejatinya milik pemerintah sendiri. Begitulah yang terjadi ketika keraton Kerajaan Kutai hendak dijadikan museum pada 1970-an.
Penulis: Umar Dachlan, untuk Majalah Intisari edisi Juli 1973
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Tahun 1936, di Tenggarong, ibukota Kerajaan Kutai (yang dimaksud adalah Kesultanan Kutai Kartanegara), didirikan sebuah keraton. Ongkosnya 100.000 gulden, karena dibuat dari beton dan bahan-bahan banyak yang diimpor dari Negeri Belanda.
Kutai memang kerajaan yang terbesar dan terkaya di antara empat kerajaan yang ada di Kalimantan Timur ketika itu.
Waktu itu yang menjadi sultan adalah Aji Muhammad (A.M.) Parikesit, yang memerintah sejak 1922. Sampai sekarang, keraton itu masih merupakan salah satu bangunan termegah di Kaltim, di samping punya nilai sejarah.
Baca Juga: Masa Kejayaan Kerajaan Kutai: Siapa Rajanya dan Apa Faktor Utamanya
Permulaan tahun 1960, kerajaan-kerajaan di Kaltim dihapuskan secara serentak, berdasarkan Undang-Undang No. 27 tahun 1959. Dengan sendirinya sultan-sultannya tidak lagi jadi penguasa.
Sesudah jadi daerah istimewa kemudian bekas kerajaan Kutai dijadikan tiga daerah tingkat II, yaitu dua kotamadya (Samarinda dan Balikpapan) dan satu kabupaten (Kutai).
Sesudah dihapusnya kerajaan Kutai, Sultan Parikesit tidak lagi jadi penguasa, tapi dia dan keluarga masih tinggal di 'bekas' keraton. Sebab rupanya pemerintah mengakui bangunan itu sebagai milik pribadi A.M. Parikesit, sultan Kutai yang terakhir.
Karena statusnya bukan lagi bangunan resmi, maka biaya pemeliharaannya jadi tanggungan A.M. Parikesit sendiri. Jadi dapat dimengerti kalau bangunan yang megah itu dari hari ke hari tambah suram juga.
Tahun 1970, dalam rangka usaha mengembangkan Kalimantan Timur sebagai daerah pariwisata dengan Kutai sebagai 'intinya', maka pemerintah daerah bermaksud memanfaatkan keraton tersebut, yaitu untuk dijadikan museum yang selama itu belum ada di Kaltim. Gedung ini dipilih mengingat nilai historisnya.
Di dalamnya akan ditaruh benda-benda kuno dan bersejarah dari bekas kerajaan Kutai maupun dari kerajaan-kerajaan lain di Kaltim yang perlu dimuseumkan.
Pemerintah bermaksud membelinya dari A.M. Parikesit yang diakui sebagai pemiliknya. Setelah mengadakan pertemuan beberapa kali, akhirnya kedua belah pihak setuju bahwa pemerintah memberi “ganti rugi” 60 juta rupiah dan ini sebelumnya sudah dapat persetujuan DPRD Provinsi Kaltim.
Tapi ketika tersiar berita bahwa bekas keraton ini akan dibeli pemerintah, pers setempat yang terbit di Samarinda mulai heboh. Tapi di Tenggarong sendiri, yang hanya punya surat kabar milik Pemda Kabupaten Kutai, pers tidak mempersoalkan hal ini.
Umumnya surat kabar-surat kabar setempat menyarankan kepada pemda untuk mengadakan penyelidikan yang mendalam tentang siapa yang sebenarnya jadi pemilik syah dari bekas keraton itu.
Konon, supaya pemerintah jangan sampai membeli milik pemerintah sendiri. Malah ada surat kabar yang berpendapat bahwa dengan dihapusnya kerajaan Kutai, keraton itu dengan sendirinya jadi milik Negara atau Daerah.
Tapi tampaknya keputusan pemda tidak terpengaruhi. Bahkan bagian depan dan samping kiri kanan keraton sudah mulai disiapkan untuk jadi museum. Oktober 1971 pembukaan museum diresmikan dan di depan gedung sudah ditempel papan bertuliskan “MUSEUM”.
Tapi berhubung pembayaran “ganti rugi” baru sebagian kecil saja diterima oleh A.M. Parikesit, maka bekas sultan dan keluarganya masih tetap mendiami bagian belakang museum.
Hingga kemudian muncullah kabar itu. Diberitakan ada sebuah “dokumen” yang menjelaskan bahwa “bekas” keraton tersebut dibangun oleh dan dengan biaya pemerintah Hindia Belanda.
“Dokumen” itu katanya tersimpan dalam sebuah tabung yang ditanam pada salah sebuah dinding beton di bagian depan bangunan itu ketika pertama dibangun pada 1936.
Surat kabar itu menyatakan pendapatnya bahwa berhubung dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda, maka 'bekas' keraton tersebut otomatis menjadi milik kekuasaan yang menggantikannya, yaitu pemerintah RI.
Untuk membuktikan sampai di mana kebenaran berita ini, Gubernur Kepala Daerah Provinsi Kaltim membentuk tim yang bertugas menemukan apa yang disebut “dokumen” ini. Untuk keperluan ini tentu saja dinding beton bagian depan bangunan yang konon berisi “dokumen” itu harus dijebol.
Dinding yang dimaksud letaknya di sebelah kanan tangga yang menuju ke ruang depan (dulu balairung). Penjebolan dilaksanakan pada 15 Februari 1972, dengan disaksikan Muspida Kabupaten Kutai, para pejabat sipil maupun ABRI setempat dan ratusan penduduk Tenggarong.
Hadir juga bekas sultan Kutai, A.M. Parikesit yang sebelumnya memberi persetujuan “pengrusakan yang terpaksa dilakukan” terhadap dinding beton yang disinyalir berisi “dokumen” penting.
Dari Samarinda, selain seluruh anggota team, hadir pula Gubernur Muda A.R. Padmo, mewakili Gubernur Kalimantan Timur. (Gubernur Muda adalah nama jabatan pegawai negeri tinggi pembantu dalam pelaksanaan pemerintahan kepala daerah pada 1969. Penetapan tugas Gubernur Muda tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri no. 145 tahun 1969 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah).
Ternyata penjebolan makan waktu empat jam. Maklum dinding beton. Akhirnya ditemui tabung yang dicari. Ternyata masih utuh, karena dibuat dari seng yang tebal.
Tabung ini dibawa ke tempat kediaman bupati Kutai.untuk dikeluarkan isinya, dengan disaksikan oleh pejabat yang berwenang serta A.M. Parikesit.
Isinya selembar kertas tebal bergulung, yang ukurannya 96 x 64 cm. Meskipun warnanya sudah kekuning-kuningan, tapi masih utuh dan tulisannya yang memakai tinta tahan lama, masih jelas. Tulisan dalam bahasa Belanda ini dibuat dengan tangan, judulnya “OORKONDE”.
Isinya begini:
"In het jaar 1936, den 16en November onder de Regeering van Hare Majesteit Koningin Wilhelmina tijdens het Opperbestuur van Z. Exc. Jhr. Mr. A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer Gouverneur Generaal van Ned. Oost Indie is, in het 16en jaar van Zijn Bestuur, door Zijne Hoogheid Adji Moehamad Parikesit Sultan van Koetai Kartanegara, Officier Kruis der Orde van Oranje Nassau en Ridder in de Orde van den Nederlandschen Leeuw, de eerste steen van dezen Paleisbouw gelegd, in tegenwoordigheid van W.C. Moggenstorm, Resident der Zuider en Oosterafdeeling van Borneo Ridder in de Orde van den Nederlandschen Leeuw, en van de Landsgrooten: Adji Pangeran Sosro Negoro Ridder in de Orde van Oranje Nassau, Adji Pangeran Tjokro Ridder in de Orde van Oranje Nassau en Adji Pangeran Adi Kesoema.
Het Paleis wordt geboud door de Hollandsche Beton Maatschappij NV, onder architectonische leiding van Henr Estourgie, Architect te Soerabaja.”
Di bagian bawahnya tercantum tanda tangan-tanda tangan dari kelima orang yang hadir dalam upacara peletakan batu-pertama pembangunan keraton tersebut (termasuk Sultan A.M. Parikesit sendiri) dan yang namanya masing-masing disebut dalam “OORKONDE” itu.
Bagi yang mengerti bahasa Belanda jelaslah bahwa apa yang tadinya dihebohkan sebagai dokumen yang menjelaskan status keraton itu, ternyata semacam piagam yang pokoknya menerangkan, bahwa pada tanggal 16 November 1936, tahun ke-16 dari pemerintahannya, oleh Sultan Kutai Kartanegara AM Parikesit dilakukan peletakan batu-pertama pembangunan keraton.
Peletakan batu pertama tersebut disaksikan oleh Residen Kalimantan Selatan dan Timur W.G. Moggenstorm (pada waktu itu malah sampai runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda dalam perang dunia ke-II - Kaltim termasuk dalam Karesidenan Kalimantan Selatan dan Timur yang berpusat di Banjarmasin, red) dan tiga orang Menteri Kerajaan (Landsgrooten) Kutai, dengan menyebutkan juga namanya masing-masing.
Dijelaskan selanjutnya, bahwa keraton itu dibangun oleh Hollandsche Beton Maatschappij di bawah pimpinan ahli (architectonische leiding) dari Henri Estourgie, Arsitek di Surabaya.
Bahkan dalam “OORKONDE” itu disebut-sebut nama “Koningin Wilhelmina" dan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer — yang pada waktu itu memegang pucuk pimpinan pemerintahan Hindia Belanda — tidaklah dapat dijadikan sebagai bukti, bahwa keraton tersebut dibangun oleh dan dengan biaya pemerintah jajahan (Hindia Belanda).
Sebaliknya pula tidaklah dapat dijadikan sebagai bukti bahwa Kerajaan Kutai atau Sultan A.M. Parikesit sendirilah yang menjadi pemiliknya, berhubung dengan kenyataan bahwa peletakan batu-pertamanya dilakukan oleh Sultan Kutai yang terakhir itu — sebagaimana diterangkan juga dalam “OORKONDE”.
Tegasnya, isi “OORKONDE” yang ditulis dalam bulan November 1936 itu — yang untuk menemukannya, terpaksa dengan menjebol dinding beton keraton, tidak memberikan jawaban, siapa sebenarnya pemilik atau setidaknya yang dapat diakui sebagai pemilik dari bangunan megah di Tenggarong itu.
Namun kenyataannya, sesudah ditemukannya “OORKONDE” tersebut, pemerintah Daerah rupanya tidak ragu-ragu lagi untuk mengakui dan menetapkan bahwa bekas keraton itu adalah syah milik pribadi A.M. Parikesit (Mungkin karena sesudah itu ada bukti baru — entah berupa apa — yang menyebabkan Pemerintah mengambil pendirian yang demikian).
Demikianlah, dalam bulan April 1972 — kurang-lebih dua bulan sesudah terjadinya penjebolan dinding beton yang "bersejarah" itu — dengan bertempat di Operation Room Kantor Gubernur Kdh Prov. Kaltim di Samarinda, dilangsungkan "serah terima" bekas keraton itu dari pemiliknya yang lama A.M. Parikesit, kepada Pemerintah Daerah Kaltim sebagai pemiliknya yang baru. Dan sekaligus dalam peristiwa tersebut kepada bekas Sultan Kutai itu diserahkan cek sebagai pembayaran "ganti rugi"-nya.
Seluruh bangunan bekas keraton Kerajaan Kutai itu kini sudah dimanfaatkan sebagai gedung Museum, yang pembinaan dan penyelenggaraannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai.
Baca Juga: Apa Alasan Kerajaan Kutai Diyakini Sebagai Kerajaan Hindu Tertua di Indonesia?