Kwee Thiam Hong, selain anggota Jong Sumatranen Bond, juga anggota kepanduan. Dia termasuk yang ikut Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Seluruh ada perwakilannya saat Kongres Pemuda II yang menghadirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dari ujung Sumatera hingga Papua ada perwakilannya. Bahkan ada pemuda Tionghoa yang ikut di dalamnya, namanya Kwee Thiam Hong, asal Palembang, datang sebagai delegasi Jong Sumatranen Bond.
Bagaimana kisahKwee Thiam Hong ikut Kongres Pemuda, mari ikuti catatan wartawan Majalah HAI, Iren (Rin) dalam tulisannya berjudul "SOEMPAH PEMOEDA: Susah menyebut Indonesia, apalagi merdeka", tayang pada Oktober 1985.
Begini catatannya:
Pada 28 Oktober 1928, para pemuda berikrar satu nusa, satu bangsa, dan menjunjung satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Peristiwa bersejarah ini sekaligus adalah detik-detik kelahiran bangsa Indonesia sebagai "nation".
Waktu itu, tidak ada daerah atau suku yang tidak diwakili. Semuanya hadir. Dari Sabang sampai Merauke. Juga hadir seorang pemuda berusia 18 tahun, bernama Kwee Thiam Hong, pelajar Eerste Gouvernements MULO Batavia ini adalah anggota Jong Sumatranen Bond.
Sugondo Agak Gemuk
Ditemui di rumahnya, Kwee Thiam Hong menceritakan pengalamannya pada peristiwa 57 tahun yang lalu. Dia menyatakan, mengikuti Kerapatan Pemuda-Pemuda Indonesia itu secara sadar. Tidak sekedar ikut-ikutan.
Hal ini disebabkan karena sebagai pemuda dan pelajar dia banyak terpengaruh oleh pidato-pidato H.O.S. Cokroaminoto dan kemudian Ir. Sukarno pada waktu itu. Bersama kawan-kawannya, dia rajin mengikuti rapat-rapat dan diskusi-diskusi yang bernapaskan semangat nasionalisme.
"Waktu itu, saya aktif di Jong Sumatranen Bond. Jabatan saya ressort komisaris. Saya juga aktif dalam kepanduan Jong Sumatranen Bond itu. Di sini, saya adalah Patrouille Leider. Kira-kira setingkat komandan peleton dalam ketentaraan sekarang. Juga merangkap penabuh genderang," katanya.
Mengapa masuk Jong Sumatranen Bond? Kan sekolahnya di Jakarta dan tinggal di Jakarta? Mengapa tidak masuk Pemuda Kaum Betawi atau Jong Java?
"Wah, saya lahir di Palembang dan masa kecil saya di Palembang. Ketika kecil, saya sering bermain, makan, dan mandi di sungai bersama anak-anak sekampung. Kami mandi di Sungai Sekanak, anak sungai Musi. Jadi, saya pilih masuk Jong Sumatranen Bond," jelasnya.
"Masih ingat situasi ketika Kongres Pemuda II itu?"
Kwee Thiam Hong yang kini bernama Daud Budiman menjawab bersemangat. "Masih! Itu ketuanya, Suwondo Joyo...," Pak Budiman memejamkan mata sambil mengerutkan dahi.
"Sugondo Joyopuspito!"
"Hah, betul itu! Sugondo Joyopuspito. Dia dari Sekolah Tinggi Hakim. Dan dia itu teman saya. Saya ada potretnya. Sudah berusia lebih dari 50 tahun. Saya simpan baik-baik. Kalau hilang, cari di mana juga nggak ada. Permisi, ya, saya ambilkan," Pak Budiman berlalu.
Selang sesaat ia kembali dengan sebuah album kertas yang sudah tua. Di tangan yang lain tergenggam sebuah amplop yang sudah robek. "Nah, ini, Sugondo! Di sini saya tidak kelihatan. Ada di belakang," kata Pak Budiman sambil menunjuk ke album.
Dia kembali membalik lembaran album dan..
"Ini Sutan Syahrir. Nah, ini Sutan Takdir Alisyahbana. Dia masih hidup dan setahun lebih tua dari saya."
Lalu bagaimana situasi Sumpah Pemuda itu?
"Oh, ini cerita saya mulai ngelantur. Waktu itu kan begini. Katanya, jam lima sore sudah harus kumpul di asrama Kramat, jelas Pak Budiman.
Waktu itu datang dalam barisan pandu sambil menabuh genderang atau bagaimana?
Mendengar kata menabuh genderang, Pak Budiman tertawa berderai. Dia mempunyai kenangan tersendiri tentang jabatannya itu.
"Waktu itu kami datang sendiri-sendiri. Saya mengajak tiga teman, Ong Kay Siang, John Liaw Tjoan Hok dan Tjio Jin Kwie. Sayangnya mereka semua sudah meninggal. Waktu itu, rapatnya dibuka agak telat lantaran harus ada izin dari polisi. Tapi untunglah intelijen-lah yang datang."
Ketika Pak Budiman sampai sudah banyak yang datang?
"Lumayan! Ada sekitar lima ratus orang.
Kok banyak banget? Kan gedungnya kecil?
"Ya, memang banyak. Gedung itu jadi penuh dan sebagian ada di luarnya. Tapi saya bisa masuk. Ha, ha, ha!" ujarnya.
Masih ingat bagaimana ketika Sugondo membacakan ikrar itu?
"Masih!" Pak Budiman menjawab tegas dan mengangguk dalam-dalam.
"Waktu itu sudah malam. Sugondo membacakannya dengan khidmat. Semua berdiri kecuali yang dari PID. Itu, dinas intelijennya Belanda. Malam itu, Supratman juga memainkan lagu Indonesia Raya dengan biolanya. Aduh, dengar lagu itu, hati ini bukan main dah," kata Pak Budiman sambil memegang dada. Suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca.
"Cuma itu waktu, lagunya agak beda dengan yang sekarang."
Sampai di sini, air muka Pak Budiman berubah. Dengan bersemangat, sambil menggerakkan tangannya mengikuti irama, dia bernyanyi:
"Indones! Indones! Mulia! Mulia! Begitu itu! Sebab, Belanda itu tidak suka dengar nama Indonesia. Dan kata merdeka itu seperti momok bagi Belanda. Kata merdeka itu saja bisa buat orang masuk penjara."
TITISAN GAJAH MADA
Ingat Muhammad Yamin? Dia kan sekretaris panitia Kongres Pemuda II?
"Ingat betul! Dia juga Jong Sumatranen Bond, toh? Dia disebut Gajah Mada. Kalau pidato suaranya besar. Bung Karno juga pinter berpidato. Yang dengar bisa diam semua. Kalau abang baca mulai ribut, Bung Karno bilang, ‘Hei, kamu, diam! Diam! Diam!'" Pak Budiman menirukan sambil menunjuk ke arah yang berbeda.
Kenal dengan WR. Supratman?
"Ya, dulu kita sama-sama di Sinpo. Kita sering makan siang bersama. Makan gado-gado atau sate kambing." -- Yang dimaksudnya dengan Sin Po adalah surat kabar Cina yang terbit waktu itu.
Jadi Pak Budiman pernah jadi wartawan?
Pak Budiman tertawa dan sesudah itu berkata, "Begini, ya. Terus terang saja, sejak umur 9 tahun saya sudah kirim berita ke Berita Andalas. Waktu itu saya suka kirim berita kota. Orang nyolong ayam. Orang lagi judi ketangkep polisi. Lumayan, untuk tiap berita dapat segobang. Segobang dulu itu banyak. Nah, waktu saya tahu, Supratman buat lagu Indonesia Raya, saya pikir, boleh juga anak itu."
PENABUH GENDERANG
Oh, ya, tentang penabuh genderang itu bagaimana?
"Yah, itu ceritanya begini! Waktu itu ada perayaan tentang penutupan kongres. Acaranya macam-macam, antaranya api unggun. Kelompok saya mengadakan api unggun di daerah Tanah Tinggi. Dulu di sana masih banyak lapangan terbuka. Ternyata api unggun diserbu polisi Belanda. Kita terpaksa bubar dan digiring ke Hopbiro. Semacam tahanan. Saya sempat menginap semalam di sana. Waktu itu polisi Belanda bilang, he, kamu kan orang Cina! Buat apa ikut-ikutan?"
Pak Budiman bilang apa?
"Wah, waktu itu nggak-berani lawan. Kita belum bisa apa-apa. Jadi saya bilang, tidak apa-apa, toh. Saya kan anggota pandu. Lalu dia tanya, apa jabatan saya. Saya bilang, itu pemukul genderang," cerita Pak Budiman sambil menggerakkan tangannya menirukan menabuh genderang.
Pembicaraan kami sudah berlangsung dua jam. Padahal Pak Budiman tidak boleh bercerita panjang. Sesudah itu biasanya dia jadi sesak napas.
"Ini, saya ada sedikit pesan. Pemuda-pemuda sekarang harus belajar sejarah. Supaya tahu, bagaimana susahnya negara ini didirikan. Wah, bukan main dah, waktu itu. Kalau dinding rumah ini bisa bicara, dia akan cerita panjang. Dulu, rumah ini pernah digeledah gara-garanya saya pasang bendera merah putih. Waktu itu baru saja proklamasi."
Digeledah siapa?
"Itu, tentara Inggris," jawabnya.
Oh, tentara NICA?
Ternyata pertanyaan saya salah. Padahal baru saja Pak Budiman pesan, pemuda harus belajar sejarah.
"Bukan! NICA kan datang sesudahnya. Itu Iho, tentaranya Christison. Kan NICA membonceng tentara Inggris. Ceritanya begini. Waktu itu pagi-pagi. Di jalan ini tidak ada yang berani pasang bendera merah putih. Hanya rumah ini saja. Tentara Inggris datang. Saya takut juga. Lalu saya tanya, apakah mereka sudah makan pagi: Dan mereka jawab, go to hell. Makan pagi gimana? Pagi-pagi sudah disuruh ke sini. Saya lalu suruh istri saya bikin kopi. Waktu itu tidak pakai gula pasir. Tidak ada. Jadi pakai gula merah saja. Lalu disuguhi sedikit kue. Sesudah mereka makan, saya buka pintu kamar. Nah, silakan diperiksa. Tapi mereka tidak jadi dan pergi sambil mengucapkan terima kasih. Katanya sudah merepotkan. Bayangkan, pasang bendera merah putih saja sudah didatangi," katanya mengakhiri pembicaraan.
IKRAR PEMUDA MENJADI SUMPAH PEMUDA
Sumpah Pemuda, hasil putusan Kongres Pemuda Indonesia II (1928), sebenarnya sudah diperdebatkan sejak Kongres Pemuda Indonesia I (1926). Waktu itu dibentuk panitia perumus yang ditugasi menyusun usul resolusi.
Anggotanya terdiri dari Djamaludin, Sanusi Pane, M. Tabrani, dan M. Yamin. Usul resolusi yang dirumuskan M. Yamin adalah sebagai berikut:
"Kami poetra dan poetri Indonsia mengakoe bertoempah darah yang satoe, tanah Indonesia."
"Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa satoe, bangsa Indonesia."
"Kami poetra poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Melayoe."
M. Tabrani mengusulkan, alinea ketiga, kata bahasa Melayu diubah menjadi bahasa Indonesia. Dengan demikian, setiap alinea berakhir dengan Indonesia. Yang hadir dalam perdebatan itu adalah Djamaludin, Yamin, dan Tabrani.
Karena tidak ada kesepakatan, lalu diambil suara yang berakhir 2-1 untuk kemenangan Yamin. Tapi kemudian datang Sanusi Pane dan dia menyetujui usul Tabrani. Kedudukan berubah menjadi 2-2.
Maka diusulkanlah agar Yamin memperjuangkan rumusannya pada Kongres Pemuda Indonesia II.
Yamin, seorang pemuda yang berpengetahuan luas mencantumkan bahasa Melayu dalam rumusannya karena menurutnya, hanya ada dua bahasa yang mengandung kemungkinan menjadi bahasa persatuan. Yaitu bahasa Jawa dan bahasa Melayu.
Tapi kemudian dia berpendapat, bahasa Melayu-lah yang lambat laun akan menjadi bahasa persatuan bagi rakyat Indonesia.
Rumusan yang disebut M. Yamin sebagai ikrar pemuda itu diendapkan sekitar dua tahun. Pada rapat penutupan Kongres Pemuda Indonesia II, 28 Oktober 1928, M. Yamin menyodorkan usul resolusi itu kepada ketua panitia, Sugondo Joyopuspito.
Oleh Sugondo, usul itu dibawa ke sidang umum, dan diterima secara bulat oleh kongres. Lalu disyahkan sebagai putusan kongres yang berbunyi:
"Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah yang satoe, tanah Indonesia."
"Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa yang satoe, Bangsa Indonesia."
"Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia."
Peristiwa Kongres Pemuda Indonesia II ini juga disiarkan surat kabar dan majalah. Dari publikasi pers inilah kemudian muncul istilah Sumpah Pemuda 1928.
M. Tabrani yang waktu itu sudah berada di Eropa berkirim surat kepada M Yamin, menanyakan mengapa ikrar menjadi sumpah. Yamin membalas surat ini dan di bagian penutupnya dia menulis:
"Sorry, te laat. Wij kunnen der niks san doen." Maaf, terlambat. Kita tidak bisa berbuat lain.
Jadilah, sampai kini kita mengenal ikrar pemuda sebagai sumpah pemuda. Dari segi bahasa, pengertian ikrar memang lain dengan sumpah Ikrar berarti berjanji dengan sungguh-sungguh atau berteguh janji.
Sedangkan sumpah berarti pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan bersaksi kepada Tuhan. Atau sesuatu yang dianggap suci, bahwa apa yang dikatakan atau dijanjikan itu benar.
Apa pun namanya, yang jelas para pemuda sudah menghasilkan suatu karya yang luar biasa. Betapa tidak. Bangsa kita, yang selama bertahun-tahun dididik sebagai burung yang tidak bisa bernyanyi, makan dan minum disuapi, hari itu mengumandangkan satu lagu merdu.
Mereka berani mengambil satu keputusan, menghilangkan sifat kedaerahan. Bahkan berani mengangkat satu bahasa daerah, bahasa Melayu, sebagai bahasa persatuan. Alhasil, masalah bahasa, seperti yang dialami Filipina dan Malaysia tidak lagi menjadi persoalan bagi kita.