Namanya adalah Johanna Tumbuan, karena menikah dengan Masdani pada 1941, dia lebih akrab disapa Johanna Masdani atau Jo Masdani. Saat masih muda, dia termasuk golongan bandel, menurut intel Belanda. Inilah cerita tentang Johanna Masdani jadi peserta Kongres Pemuda II tapi melewatkan Sumpah Pemuda.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Pada 28 Oktober 1928 Johanna Masdani berhasil menyelinap ke Gedung Indonesische Clubgebouw (IC) di Jl. Kramat Raya 106, tempat berlangsungnya Kongres Pemuda II. Sayang, dia melewatkan momen sakral Sumpah Pemuda lantara aturan asrama yang ketat.
Terkait hari penuh sejarah itu, Jo Masdani langsung menceritakannya kepada Majalah HAI dan tayang pada 1977 lalu. Bagaimana ceritanya?
Ketika itu Jo masih 18 tahun. Diam-diam dia menyelinap dari asrama putri Pedagogisch Algemene Middelbare School (PAMS) di Matraman. Ada bungkusan di tangannya. Pada teman sekamarnya dia pamit mau belanja ke Pasar Baru.
Baca Juga: Tak Kelihatan Batang Hidungnya, di Mana Bung Karno dan Bung Hatta saat Sumpah Pemuda?
Tapi ternyata kakinya membawanya ke gedung Indonesische Clubgebouw (IC) yang terletak di Jl. Kramat Raya 106. Hari itu di sana sedang berkumandang lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya. Pada hari itu pula sedang berlangsung Kongres Pemuda II, yang akhirnya mencetuskan Sumpah Pemuda.
"Tapi pas pencetusan Sumpah Pemuda itu sendiri saya tidak hadir," tutur Jo Masdani, sebagaimana dia sampaikan kepada Majalah HAI. Jo Masdani wafat pada Mei 2006 pada usia 95 tahun. "Sebab saya tidak bisa berlama-lama ke luar asrama. Saya harus segera kembali pulang."
Selain karena ibu asramanya galak, sehari sebelumnya dia mendapat skors di sekolahnya akibat laporan dari pihak Politieke Inlichtingendienst/PID (intel politik Belanda) yang melaporkan bahwa gadis itu mengikuti gerombolan pemuda-pemuda Pribumi yang "berandal".
Tapi kejadian seperti itu, ditahan polisi, bukan sekali itu saja dialami oleh Jo Masdani. Untuk ukuran waktu itu dia memang termasuk gadis "badung". Karena dia banyak mengikuti kegiatan-kegiatan putri yang dalam pandangan tradisi saat itu dianggap terlalu maju.
Johanna Tumbuan, gadis Manado itu memang termasuk gadis yang tidak pingitan. Selain suka dansa, dia pun senang mengikuti kegiatan-kegiatan pemuda di Indonesisch Clubgebouw (IC).
"Pada suatu Sabtu sore saya diajak oleh Monni Tumbel, seorang murid STOVIA, untuk pergi ke IC," ceritanya. Semenjak itu dia mulai aktif dalam kegiatan perkumpulan pemuda. Mula-mula ikut dalam Jong Minahasa, yang kemudian menjadi Jong Celebes. Lalu menjadi anggota Jong Indonesie, yang kemudian menjadi Indonesia Muda.
Apa yang menyebabkannya begitu getol aktif dalam organisasi-organisasi kebangsaan itu?
"Beberapa kawan saya berkata pada saya: Tidakkah kamu melihat kepincangan dalam masyarakat kita sekarang ini? Banyak rakyat kita yang masih miskin—bahkan kelaparan. Banyak yang masih buta huruf. Sementara penjajah Belanda begitu enak hidupnya. Rakyat membutuhkan perjuangan kita. Perjuanganmu.'"
Baca Juga: Jadi Presiden di Usia Muda, Kok Bisa Sukarno Sering Berseberangan dengan Para Pemuda?
Dia pun menyimpulkan, "Benar juga pendapat kawan saya itu. Saya harus berjuang untuk rakyatku. Dan kemudian saya pikir: setiap generasi itu harus berarti untuk masanya. Setiap generasi membutuhkan generasi sebelumnya. Maka kemudian saya pun mulai aktif dalam organisasi-organisasi."
Sebagai organisator, selain dibutuhkan ketekunan dan disiplin, dia harus pula siap menerima risiko. Tak jarang dia dan kawan-kawannya ditahan dan 'diverhoor' pihak polisi Belanda.
Jo aktif juga di Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO), sebuah gerakan kepanduan yang kemudian menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia. Bersama Seno, seorang teman pandunya, dia pernah mengelilingi kota Batavia (Jakarta) untuk mencari dana.
Dana itu dimaksudkan untuk menyewa pengacara bagi pemuda-pemuda Indonesia yang sedang diadili di negeri Belanda. Antara lain termasuk Bung Hatta, Sutan Pamuntjak. Abdul Madjid, serta Ali Sastroamidjojo.
"Saya ingat bagaimana kami mesti bersepeda keliling kota, kadang jalan kaki, melompati selokan," ceritanya.
"Waktu sampai di daerah Petojo, kami disuruh makan di sebuah keluarga Jawa. Semula kami menolaknya, tapi karena memang merasa haus dan lapar, akhirnya kami tak bisa menolak tawaran tersebut."
Berapa yang diperoleh dan 'minta-minta' itu? "Wah, tidak ingat lagi. Berapa yang bisa kami kumpulkan waktu itu. Setiap orang tidak menentu jumlahnya. Kadang ada yang memberi serupiah, kadang setalen."
Main tonil
Kegemarannya berdansa dan berorganisasi ternyata menyeretnya pula pada bidang lain, main drama, yang waktu itu lebih dikenal dengan "main tonil". Beberapa kali dia naik panggung mementaskan beberapa judul. Antaranya "Ken Arok" bersama dr Abu Hanifah serta dr Rosmali.
Waktu main sebagai Candra Kirana, dia mendapat komentar: "Wah. Candra Kirana bahasanya kok kebelanda-belandaan." Dia memang fasih casciscus pakai Belanda.
Tapi waktu keluarganya di Manado mengetahui, dia segera dipanggil pulang dan dilarang untuk "main tonil" lagi. Dia pun menangis menerima putusan itu. Tapi waktu kembali ke Batavia, dia tetap nekat "main tonil" lagi.
Orangtuanya sendiri tinggal di Tomohon. Ayahnya, sebagaimana kebanyakan penduduk di daerah itu, memiliki kebun kelapa yang luas. Saudaranya hanya satu, laki-laki, yang meninggalkannya lebih dulu.
Johanna Tumbuan lahir 29 November 1910. Hingga umur 14 tahun, setelah menyelesaikan sekolahnya di Meisjesschool, dia bermaksud meneruskan sekolahnya ke Jawa. Di Batavia dia sekolah di Christelijke MULO (setingkat SMP) di Gang Menjangan. Setelah itu melanjutkan ke Pedagogisch Algemene Middelbare School (PAMS), sebuah sekolah calon guru.
Jadi psikolog dan tampung Chairil Anwar
Singkat ceritanya, Johanna Tumbuan menikah dengan Masdani pada 1941, itulah kenapa dia dikenal sebagai Jo Masdani.
Setelah itu dia tinggal di Jl. Menteng Raya 25, Jakarta. Di rumah ini, sebagian dipakai Erasmus Huis, dia dan suaminya pernah menanggung hidup sekitar 80 orang kaum republikein, antaranya: penyair Chairil Anwar.
Di rumah itu pula sekarang Jo membuka praktik sebagai psikolog, pasiennya anak-anak dan para remaja yang memiliki kesulitan psikologis.
Pada 1953 atas anjuran suaminya dia mengikuti kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yang kemudian dia tamatkan pada 1961. Selain praktik di rumahnya, Jo juga pernah memegang jabatan sebagai lektor kepala pada Fakultas Kedokteran UI. Bukan wanita sembarangan memang!
Baca Juga: Bagaimana Pandangan Mohammad Yamin Terhadap Negara Merdeka?