Pecinan
Kalau kita mengikuti kanal ke arah pintu air dan melewati bangunan kantor pos yang buruk, kita akan tiba di jembatan Kampung Baru (Pasar Baru - Red.). Kalau kita menyeberang jembatan itu, tiba-tiba kita seakan-akan masuk ke dunia lain.
Jalan yang lebar di sini diapit oleh rumah-rumah yang tinggi dan sempit. Atap gentengnya yang merah seakan-akan menantang langit yang biru lazuardi.
Jalannya ramai dilewati oleh gerobak dan orang yang berlalu-lalang dengan gesit. Inilah Pecinan. Di Batavia ada tiga atau empat Pecinan yang cuma dihuni oleh orang-orang Tionghoa.
Sekarang mereka memang memilih untuk tinggal berkelompok. Namun, sebenarnya kebiasaan ini peninggalan zaman Gubernur Jenderal Valckenier. Waktu itu gubernur jenderal membatasi kedatangan orang-orang Tionghoa yang miskin.
Walaupun niatnya baik, pelaksanaannya buruk, sehingga timbul kabar bahwa pemerintah akan mendeportasi penduduk Tionghoa, juga yang tinggal di Batavia. Terjadilah kepanikan yang menghantar ke pemberontakan di seluruh Jawa.
Orang Belanda berhasil menumpas pemberontakan itu dengan menelan banyak korban. Orang-orang Tionghoa melarikan diri ke daerah sekitar Batavia. Beberapa bulan kemudian pemerintah memberikan amnesti umum.
Sisa penduduk Tionghoa yang masih hidup ditempatkan dalam kawasan khusus, supaya mudah dilindungi maupun dikendalikan. Tempat itu kira-kira seperti ghetto untuk orang Yahudi di Italia pada Abad Pertengahan. Sejak itu mereka tinggal di sana.
Mereka itu terdiri atas jutawan yang bisa menjamu perwira dan pejabat pemerintah di rumahnya yang megah dan penuh hiasan, ada pula penjaja keliling yang sepanjang hari menelusuri jalan untuk menawarkan benang dan sabun yang dibawa dalam buntelannya sambil tak henti-hentinya membunyikan "klontong"-nya.
Walaupun yang satu bergelimang harta sedangkan yang lain morat-marit, namun jiwa dan sikap hidup mereka sama. Mereka hidup untuk berdagang. Seorang Tionghoa berdagang dengan seluruh hati dan jiwanya.
Sejak dilahirkan sampai dikuburkan, saat makan, saat bersantai, saat mengisap madat, dan di kelenteng sekalipun, mereka tidak pernah melepaskan dirinya dari perdagangan.
Lain dengan orang Barat. Kalau orang Barat berdagang, maka mereka menjadi pedagang cuma beberapa jam sehari, di kantornya.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR