Di Jawa, orang Barat dan orang Timur sudah hidup berdampingan selama tiga abad. Yang satu bisa berbicara dalam bahasa yang lain. Mereka saling tergantung dan tidak saling membenci. Namun, orang Belanda tidak memahami orang Jawa dan begitu pula sebaliknya.
Saya mengaku bahwa saya tidak mengenal jiwa orang Jawa, walaupun saya memperhatikan mereka. Yang saya tahu cuma keadaan lahiriahnya saja.
Kebanyakan mereka hidup di luar rumah: mandi di kali, makan di tepi jalan, bahkan tidur di bawah pohon atau emper rumah, di bawah cahaya bulan. Hal ini tentu ganjil sekali bagi orang-orang dari Utara yang terbiasa memenjarakan dirinya di balik kungkungan dinding dan atap. Namun, kalau melihat mereka, kita mesti mengakui bahwa cara hidup mereka itu baik dan cocok buat mereka.
Di Tanahabang, saya sering melihat mereka mandi di kali pagi-pagi sekali. Kaum pria membuka pakaian lalu mencebur dan menyelam di kali. Ketika mereka naik, tubuhnya yang coklat tampak seperti patung-patung perunggu.
Kaum wanita turun ke kali dengan cara lebih tenang. Mereka memakai kain basahan. Ibu-ibu muda membimbing anak-anak mereka ke tempat yang dangkal.
Anak laki-laki dan perempuan berenang sambil main ciprat-cipratan dengan berisik. Sementara itu gadis-gadis remaja bercanda di tempat yang teraling tanaman air sambil saling mengguyur dengan gayung dari daun kelapa. Rambutnya yang hitam panjang itu berkilat-kilat dan kain basahannya rapat menempel ke tubuh.
Kadang-kadang lewat rakit. Penumpangnya sedang sarapan di bawah atap. Penumpang rakit saling menyapa dengan orang-orang yang mandi. Kadang-kadang mereka ikut bercanda juga.
Selesai mandi para wanita beriring-iringan naik dan pergi ke tukang bunga. Orang-orang di Jawa senang bunga: melati putih, mawar merah, cempaka kuning, pacar air.
Walaupun tanaman bunga mudah tumbuh di sini, tapi di Batavia saya belum pernah melihat mereka bertanam bunga dekat gubuknya. Paling-paling kembang sepatu di pagar.
Mereka juga tidak terbiasa menaruh bunga dalam jembangan. Bunga adalah untuk dipakai di rambut mereka yang panjang, yang dikeramas dengan abu jerami padi dan dibilas dengan air bunga sebelum diberi minyak akar wangi.
Bunga juga ditaburkan di antara pakaian mereka. Motif bunga-bungaan menghiasi pakaian mereka dan ragam hias mereka. Anak-anak meronce bunga tanjung untuk dipakai sebagai kalung. Bunga juga dipakai untuk sesajen.
Makannya sepersepuluh orang Belanda
Di Tanahabang dan Koningsplein, di bagian yang dihuni oleh pribumi, ada warung-warung penjual makanan. Tapi lebih banyak lagi warung-warung yang lebih kecil dan portable. Ada yang mangkal di pinggir kali, sepanjang kanal, di pojok-pojok jalan, di stasiun, di pangkalan sado.
Mereka datang memikul warung berjalannya itu pagi-pagi sekali. Lalu dagangannya yang aneka warna dan piring-gelas-botolnya diatur supaya menarik. Mereka menurunkan anglonya dan mulai beroperasi.
Ada yang menjual nasi dengan ikan asin dan sambel, kue hijau yang diberi parutan kelapa berwarna putih, pelbagai macam kue manis berwana-warni mencolok yang disajikan di daun pisang segar yang hijau.
Penduduk Jawa sedikit sekali makannya dan tidak mewah. Sebungkus nasi dengan ikan asin dan sambal cukup untuk sehari. Orang Eropa akan menginsafi betapa rakusnya mereka kalau melihat orang Jawa makan. Bayangkan, cuma sepersepuluh dari yang kita lahap. Padahal mereka mesti berjalan kaki sepanjang hari dan memikul beban yang berat.
Tampaknya, mereka penggemar makanan manis. Sambil duduk di dingklik, mereka makan dengan nikmat kue-kue berwarna kuning, putih, merah jambu, dan minum sirup. Anak-anak juga boleh makan.
Anak-anak tidak dipercaya untuk makan sendiri, tapi disuapi. Anak yang masih kecil sekali direbahkan di paha, lalu mulutnya dijejali dengan nasi yang dihaluskan bersama pisang. Mau tidak mau, menangis atau tidak, makanan itu mesti ditelan. Kalau si ibu merasa anaknya sudah cukup makan, barulah penjejalan dihentikan.
Lalu si anak boleh bangkit. Ibunya menyeka air matanya dan mendekapnya. Si anak pun digoyang-goyang sampai tertidur.
Ayam aduan harus dipijat
Sesudah sarapan, penduduk pribumi mulai bekerja. Di kota-kota mereka tidak bisa bertani. Sementara itu pertukangan dan perdagangan kebanyakan berada di tangan orang-orang Tionghoa. Jadi, selain bekerja seperti yang tadi diceritakan, banyak juga di antara mereka yang menjadi pembantu rumah tangga di rumah-rumah orang Eropa.
Menjelang pukul empat, mereka kembali mandi di kali. Lalu mereka merokok atau mengunyah sirih sambil mengobrol. Saat musim kemarau mereka bermain layang-layang di lapangan-lapangan dan taman-taman di Batavia. Layangan mereka ada yang bersayap seperti burung, ada yang seperti naga, ada juga yang bisa berbunyi. Ada yang disebut "sawangan", "palembang", "kuncir", dsb.
Ada juga layangan aduan. Layangan berbentuk trapesium dari bambu dan kertas tipis itu digambari tokoh-tokoh wayang. Benangnya diberi gelasan, yaitu tumbukan beling yang dicampur dengan perekat.
Mereka juga mengadu ayam atau jangkrik, tapi secara diam-diam karena dilarang oleh pemerintah. Dalam semua permainan itu, betapa pun juga serunya, mereka tidak berteriak-teriak seperti orang Barat yang "barbar". Mereka menjaga perasaannya dan menekan rasa irinya terhadap lawan.
Ayam aduan dipelihara dengan seksama. Hewan itu diberi nasi, air, daging cincang, dan jamu! Takarannya sangat cermat. Secara berkala binatang itu dimandikan, dikeramasi, dijemur, dipijat leher, sayap, dan pahanya supaya kuat dan luwes.
Penduduk pribumi juga senang menonton wayang: wayang orang, wayang kulit. Musik pengiringnya gamelan dan ceritanya diambil dari Mahabharata dan Ramayana.
Masih banyak buaya
Saya mendengar pelbagai dongeng: dongeng Nyai Loro Kidul, dongeng Kyai Belorong, dan macam-macam lagi. Namun, rasanya buaya-buaya yang hidup di rawa-rawa muara Kali Betawi lebih ditakuti daripada Kyai Belorong. Kadang-kadang reptil itu kelihatan berjemur dengan mulut mengangga. Mereka menunggu bangkai binatang yang dihanyutkan air. Ada kalanya mereka juga menyambar manusia yang sedang mandi.
Karena dianggap berbahaya, beberapa tahun sebelumnya pemerintah menjanjikan hadiah bagi orang yang bisa menangkap buaya. Lalu berdatanganlah penduduk yang memikul bangkai-bangkai anak buaya dengan bambu. Walaupun bukan buaya dewasa, pembawanya mendapat hadiah juga.
Kemudian baru ketahuan bahwa penduduk bukan menangkap buaya, melainkan mengambil telurnya untuk ditetaskan. Setelah dipelihara beberapa lama, anak buaya ini dibawa kepada sekaut (polisi). Sejak itu hadiah dihentikan dan buaya-buaya dibiarkan berkembang biak di pantai utara Pulau Jawa.
Sesekali ada juga pemburu yang sok mau berburu buaya. Mereka mengintai berlama-lama di rawa-rawa. Yang mereka peroleh bukan binatang buruan, melainkan demam. Demamnya berbahaya lagi!
Jawa bagi saya, seperti bagi banyak orang, memang harus selalu merupakan negeri dalam mimpi, Negeri Dongeng, dan rumah yang bahagia bagi penduduknya." (HI)
Begitulah catatan Augusta de Wit tentang bagaimana kondisi Jakarta di awal abad 20.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR