Dalam menghadapi situasi yang semakin tegang ini, Presiden Sukarno mengambil langkah radikal pada Februari 1957 dengan mengumumkan penghentian "demokrasi liberal" dan transisi ke "demokrasi terpimpin," sebuah sistem politik yang lebih otoriter.
Langkah ini didukung oleh militer, khususnya oleh Jenderal Nasution, dan pada 14 Maret 1957, keadaan darurat militer diberlakukan di seluruh Republik Indonesia.
Kebijakan baru ini menimbulkan kekhawatiran di negara-negara Barat, yang melihat penolakan Indonesia terhadap prinsip-prinsip demokrasi liberal sebagai ancaman. Akibatnya, Indonesia terpaksa mencari dukungan dari Uni Soviet karena Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Eropa dan Asia menolak untuk menjual senjata atau peralatan militer kepada pemerintah Jakarta.
Situasi ini berubah ketika seorang pilot Amerika ditangkap oleh Indonesia, yang mengungkapkan keterlibatan AS dalam mendukung gerakan separatis. Di bawah tekanan internasional, AS akhirnya mengubah kebijakannya dan mulai menyediakan senjata senilai 7 juta dollar AS kepada Indonesia pada pertengahan Agustus 1958, diikuti oleh Inggris, Jerman, dan Italia yang juga menandatangani kontrak penyediaan peralatan militer.
Ironisnya, negara-negara Barat sendiri yang mendorong Indonesia untuk menjalin hubungan dengan negara-negara sosialis.
Pada Januari 1958, sebuah misi pengadaan yang dipimpin oleh Kolonel Jani berangkat ke negara-negara Blok Soviet, termasuk Polandia, Cekoslowakia, dan Yugoslavia. Di sana, mereka menandatangani kontrak untuk penyediaan senjata, yang sebagian besar berasal dari Uni Soviet namun dikirim dengan bendera negara-negara sahabat.
Pemimpin Indonesia menyambut baik tawaran ini, meskipun menyadari bahwa kerja sama dengan Soviet tidak akan disambut baik oleh banyak negara, terutama di Barat, dan bahkan di dalam negeri sendiri.
Sebagai langkah perlindungan, Republik Rakyat Polandia dilibatkan dalam operasi ini, dengan semua pasokan senjata akan dikirim atas namanya. Alasan pemilihan Polandia cukup unik—bendera nasional Polandia dan Indonesia memiliki kombinasi warna yang sama, putih dan merah, tetapi dengan urutan yang berlawanan.
Bendera kapal perang Indonesia mirip dengan bendera nasional, sedangkan kapal Polandia memiliki tambahan gambar elang pada latar belakang merah yang dijahit pada garis putih, serta potongan segitiga di tepi bendera.
Baca Juga: Mengungkap Kejahatan CIA Runtuhkan Negara Dunia Ketiga Termasuk Indonesia
Dengan demikian, mengganti bendera menjadi tugas yang relatif mudah.
Pada 13 Maret 1958, sebuah perjanjian penting ditandatangani antara Polandia dan Indonesia, yang menetapkan bahwa Polandia akan menyediakan peralatan militer berikut kepada Indonesia hingga akhir tahun 1959:
Untuk Angkatan Laut: Empat kapal perusak, dua kapal selam kelas menengah, dan delapan kapal anti-kapal selam, lengkap dengan senjata dan amunisi.
Untuk Angkatan Darat: Artileri dan amunisi dengan nilai total 3,5 juta dollar AS.
Untuk Angkatan Udara: Lima puluh pesawat tempur MiG-17, delapan helikopter, dan dua puluh pesawat latih TS-8, dengan total biaya termasuk amunisi, peralatan darat, dan radar sebesar 30,75 juta dollar AS.
Menurut intelijen Amerika, pada tahun 1958, Indonesia menghabiskan 229.395.600 dollar AS untuk pasokan militer dari sumber non-Amerika, terutama dari negara-negara Blok Soviet, dengan Polandia dan Cekoslowakia menyumbang 182 juta dollar AS
Dari Januari hingga Agustus 1959, tambahan 100.456.500 dollar AS dihabiskan. Angkatan Darat menerima 132.412.500 dollar AS , yang digunakan untuk membeli senjata ringan, mortir, artileri, amunisi, 275 tank, kendaraan lapis baja, dan 560 kendaraan lainnya.
Angkatan Laut (ALRI) menerima 126.201.700 dollar AS untuk pembelian empat kapal perusak, dua puluh empat kapal tempur, dua kapal selam, delapan belas pesawat terbang, serta senjata artileri, amunisi, dan suku cadang.
Angkatan Udara (AURI) menerima 69.916.200 dollar AS untuk pembelian lima puluh jet tempur, empat puluh pesawat latih, dua puluh pesawat pengebom, dua puluh pesawat angkut, delapan helikopter, serta artileri antipesawat, radar, dan amunisi.
Berdasarkan kontrak ini, tiga puluh jet tempur MiG-15UTI, dua puluh dua atau tiga puluh dua pesawat pengebom Il-28/R/U, dan dua puluh satu pesawat angkut Il-14 tiba di Jakarta dari Cekoslowakia.
Pada tahun 1960, Uni Soviet mengirim sejumlah besar helikopter Mi-4 dan sembilan Mi-6. Polandia menyediakan sekitar tiga puluh jet tempur MiG-17F dan tujuh jet tempur MiG-17PF, bersama dengan delapan helikopter Mi-1.
Pilot Polandia juga menerbangkan empat belas pesawat angkut B-33 Avia selama beberapa tahun. Di Polandia, Indonesia berhasil memperoleh dua pesawat latih tempur TS-8 Bies, serta lisensi untuk produksi pesawat bermesin ringan "Wilga," yang diproduksi dengan nama "Gelatik."
Pengiriman pesawat ini segera menjadi berita utama. Pada 3 Oktober 1958, dalam upacara di bandara Jakarta, delapan pesawat pengebom Il-28 diserahkan kepada TNI AU.
Surat kabar lokal dan internasional melaporkan pengiriman ini, yang dikirim melalui laut pada bulan September 1958.
Pada 5 Oktober 1958, seorang penyiar Indonesia mengumumkan di radio selama Hari Angkatan Bersenjata bahwa masyarakat Indonesia terkejut dengan kemunculan pesawat tempur MiG-15 pertama di atas Jakarta, yang ternyata dipiloti oleh orang-orang Indonesia yang telah dilatih di Cekoslowakia dan Mesir.
Tidak semua pesanan tiba di Indonesia dengan cepat, proses pengiriman dan pengembangan membutuhkan waktu.
Pada Oktober 1958, Blok Soviet telah menyediakan setidaknya enam pesawat pembom Il-28, sembilan pesawat tempur MiG-15, dan enam pesawat angkut Avia ke Indonesia. Hingga 10 Februari 1959, TNI AU hanya memiliki sembilan MiG-15UTI, delapan MiG-17, enam Il-28, dan dua puluh delapan Il-14.
Pengiriman yang sedang berlangsung tidak mungkin dirahasiakan, dan publik mengetahuinya pada 19 Agustus 1958, ketika surat kabar Singapura menerbitkan cerita dari pelaut pedagang Belanda Gerry van Leeuwen, yang melihat jeep Rusia dan peralatan militer lainnya diturunkan di ibukota Indonesia.
Dia mengatakan bahwa teropong dan kamera disita dari awak kapal di pelabuhan untuk mencegah kebocoran informasi tentang kedatangan senjata.
Pada 21 Agustus 1958, kapal uap Polandia Szczecin, yang dikapteni oleh Bolesław Bąbczyński, tiba di Surabaya dari Gdynia setelah berlayar mengelilingi Afrika selama 66 hari. Kapal ini membawa muatan senjata, termasuk 15 senjata antipesawat 37-mm dan 19 senjata antipesawat85-mm, 15.000 peluru 37-mm dan 8.500 peluru 85-mm, 79 senjata jenis lain, bom udara, dan mungkin 17 pesawat MiG-15 dalam kotak.
*
Intisari kini telah hadir di WhatsApp Channel, dapatkan artikel terupdate di sini
-----
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com diGoogle News