Intisari-online.com - Pada sore hari di tanggal 23 Agustus 1949, delegasi dari Republik Indonesia, Negara Federal, dan Belanda berkumpul di Ridderzaal, duduk mengelilingi meja oval, dalam sebuah konferensi yang dikenal dengan sebutan Konferensi meja bundar.
Mereka dibantu oleh PBB dengan Merle Cochran, seorang diplomat Amerika, sebagai pemimpin.
Hasilnya adalah pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), mirip dengan Persemakmuran Inggris, yang terdiri dari Kerajaan Belanda dan Indonesia Serikat, dengan Ratu Belanda sebagai kepala Mahkota Persatuan.
Dua faksi mewakili Indonesia, namun keduanya bersatu dalam satu tujuan, kedaulatan penuh. Perdebatan intens terjadi di meja perundingan, dengan delegasi Partai Republik dipimpin oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Mohammad Roem, mantan Menteri Dalam Negeri, sementara delegasi Federal diwakili oleh Perdana Menteri Mr. I.A.A.G Agung dan Hamid II, Sultan Pontianak.
Mewakili Belanda, Menteri Wilayah Luar Negeri Johannes van Maarseveen, Menteri Luar Negeri Dirk Stikker, dan diplomat Herman van Roijen hadir. Perdana Menteri Willem Drees membuka konferensi penting ini, menyoroti adanya oposisi signifikan di Belanda terhadap penyerahan kedaulatan.
Frans Goedhart, politikus dari PVDA, menulis di Het Parool dengan nama samaran Pieter 't Hoen, mengungkapkan bahwa kelompok kolonial yang dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Gerbrandy sedang berkumpul di Kebun Binatang Den Haag, berusaha menghentikan proses penyerahan kedaulatan.
Pemerintah Belanda menilai penyelesaian ini dari sudut pandang finansial. HM Hirschfeld, komisaris pemerintah yang berpengaruh dan ahli keuangan Hindia Belanda, menganggap isu politik dan konstitusi sebagai sekunder dibandingkan dengan ekonomi.
Baginya, kepentingan Belanda terletak pada penyelesaian utang yang menguntungkan dan pemeliharaan investasi di bidang perkebunan, pertambangan, dan transportasi. JMMJ Clerx, seorang ekonom, menggambarkan pandangan Hirschfeld dalam sebuah volume tahun 1991 tentang kabinet Drees-Van Schaik, menunjukkan bahwa Belanda mendapat keuntungan dari penyerahan kedaulatan, seringkali merugikan Indonesia yang baru merdeka.
Delegasi Belanda memasuki perundingan dengan tuntutan bahwa Indonesia harus mengambil alih beban utang Hindia Belanda sebesar 6,5 miliar gulden, termasuk biaya operasi militer yang telah menelan korban jiwa ratusan ribu warga Indonesia. RUU tersebut menyatakan bahwa tindakan yang diambil untuk mengembalikan ketertiban dan perdamaian adalah untuk kepentingan Indonesia.
Baca Juga: Bukti Indonesia Negara Kaya Minyak Bahkan Sejak Zaman Kolonial Belanda
Para anggota delegasi Indonesia pasti merasa ironis dengan situasi ini. Mohammed Hatta, yang pernah dipenjarakan selama ‘Aksi Polisi Kedua’ pada tahun 1948, dan Dr. Leimena, yang menyaksikan bom Belanda meledak di Yogyakarta, kini dihadapkan pada tagihan untuk bom-bom tersebut.
Di Belanda sendiri, ada suara-suara yang menentang. Tokoh-tokoh progresif seperti Jacques de Kadt dan Menteri Keuangan Indonesia Timur M. Hamelink berpendapat bahwa penyerahan kedaulatan oleh delegasi Belanda harus ‘lengkap dan tanpa syarat’, sesuai dengan perintah Dewan Keamanan PBB.
Mereka melihat masalah utang sebagai isu yang sangat penting dan berpendapat bahwa Belanda tidak seharusnya menuntut apapun dari Indonesia. Mereka percaya bahwa pemulihan ekonomi Indonesia adalah kunci agar Belanda dapat melanjutkan perdagangan dengan negara tersebut.
Emosi memuncak di subkomite yang dibentuk untuk menangani masalah utang. Indonesia bersedia menerima keputusan komite tersebut asalkan jadwal penyerahan kedaulatan tidak terganggu dan biaya militer tambahan tidak termasuk dalam utang.
Sikap Belanda yang keras ini mengejutkan mengingat mereka telah menerima sebagian dari Marshall Aid dan keuntungan finansial lainnya untuk rekonstruksi. Akhirnya, setelah negosiasi dengan diplomat PBB Cochran, utang Indonesia dipotong menjadi 4,5 miliar dolar AS, dengan semua kewajiban bunga dan pembayarannya.
Suriname, pada waktu yang berbeda, menerima penghapusan total utangnya senilai setengah miliar setelah merdeka pada tahun 1975, dan juga menerima bantuan pembangunan sebesar 3,5 miliar gulden.
Debat tentang utang Konferensi Meja Bundar telah lama hilang dari diskusi publik, sampai mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PVDA, Lambertus Giebels, berargumen di De Groene Amsterdammer pada tahun 2000 bahwa Indonesia telah memberikan kontribusi finansial yang signifikan untuk rekonstruksi Belanda, hampir setara dengan Marshall Aid (inisiatif Amerika yang disahkan pada tahun 1948 untuk memberikan bantuan luar negeri ke Eropa Barat).
Dia menyatakan bahwa dari utang awal 4,5 miliar gulden pada tahun 1956, ketika Indonesia menghentikan pembayaran, masih ada sisa sekitar 650 juta gulden, yang berarti hampir empat miliar gulden telah dibayar ke Belanda.
Masih ada perdebatan tentang berapa banyak dari utang tersebut yang benar-benar dibayar dan apakah jumlahnya ditentukan dengan benar. Dokumen dari Arsip Nasional di Den Haag dan sumber lainnya mendukung klaim Giebels tentang sisa utang dan jumlah yang dibayarkan.
Meskipun pentingnya Marshall Aid telah berkurang, Giebels menggunakan perbandingan antara kontribusi Indonesia dan Marshall Aid untuk menekankan pentingnya kontribusi Indonesia. Namun, kesimpulannya dianggap salah karena dia hanya menggunakan nilai tukar 3,80 per dolar untuk Marshall Aid sebesar 1,127 juta dolar, yang baru berlaku mulai 20 September 1949, sementara bantuan pertama tiba di Belanda pada April 1948 dengan tarif Bretton-Woods sebesar 2,65.
Jika nilai tukar ini diperhitungkan, jumlah yang dibayarkan Indonesia akan lebih besar dari Marshall Aid. Namun, utang yang ditanggung Indonesia hanya merupakan salah satu dari beberapa manfaat yang diperoleh Belanda dari penyerahan kedaulatan.
Manfaat lainnya termasuk transfer keuntungan, pensiun, dan dividen yang terus mengalir ke Belanda dari perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Selama periode 1950-1957, jumlah ini mencapai 3,2 miliar gulden, dengan sebagian kecil saja yang diinvestasikan kembali. Dengan demikian, Belanda berhasil mengamankan kepentingan finansial dan ekonominya pembentukan RIS.
*
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com diGoogle News