Saat ini Intisari hadir diWhatsApp Channel, ikuti kami di sini
Intisari-online.com - Pada tahun 1677, dalam sebuah pertukaran yang menandai sejarah, Belanda menyerahkan wilayah Manhattan kepada Inggris. Tindakan ini dilakukan untuk mengamankan hak atas salah satu pulau kecil di Banda, yang kala itu merupakan sumber utama pala di dunia.
Pala, yang sangat berharga di Eropa Barat karena dianggap dapat menyembuhkan berbagai penyakit, membuat Belanda rela mengorbankan Manhattan demi monopoli atas rempah ini.
______________________________________________________________
Manhattan, yang dulu hanya sebuah wilayah perdagangan, berkembang menjadi pusat perdagangan yang penting, sedangkan Banda berubah menjadi ekonomi perkebunan yang bergantung pada tenaga budak.
Namun, ketika nilai pala merosot, ekonomi Banda pun ikut runtuh.
Kisah pulau-pulau Banda dan penduduknya, yang sempat menjadi sorotan dunia karena kekayaan alamnya dan kemudian lenyap akibat kolonisasi Eropa, sering dijadikan contoh dalam artikel-artikel sejarah.
Kisah ini bagi ekonom merupakan perumpamaan yang kuat, sementara bagi sejarawan makanan, memberikan sedikit bumbu pada narasi mereka. Namun, banyak sejarawan yang mengabaikan wilayah ini, lebih memilih untuk fokus pada persaingan antar negara-negara Eropa, seperti yang diungkapkan oleh Timo Kaartinen, seorang akademisi Finlandia.
Namun, narasi sederhana ini tidak sepenuhnya benar. Masyarakat Banda sebenarnya adalah pedagang ulung yang menguasai pasar pala. Mereka berhasil menahan dan mengganggu penjajah Eropa selama lebih dari satu abad.
Meskipun mereka terpuruk akibat kampanye genosida, orang-orang Banda tetap bertahan di pinggiran kekuasaan Belanda, menjalankan perdagangan baru dan menyelundupkan pala.
Dominasi mereka dalam perdagangan regional bertahan lebih lama dari demam pala kolonial. Hingga kini, setidaknya ada dua desa di Banda yang masih bertahan, melanjutkan tradisi lama di Kepulauan Kei.
Baca Juga: Kisah Indonesia Tantang Negara-Negara Adidaya Barat Berperang di Negeri Jiran
Meskipun para penjelajah Eropa menganggap Banda sebagai satu-satunya sumber pala, kenyataannya banyak varian pala yang tumbuh di berbagai tempat, dari India hingga Papua.
Menurut Roy Ellen, seorang antropolog Inggris, menyatakan bahwa perdagangan pala awal mungkin bukan hanya pala Banda, tetapi juga pala panjang dari Papua yang juga dibudidayakan di bagian lain Maluku.
Penelitian Ellen menunjukkan bahwa Banda merupakan pintu masuk penting untuk perdagangan barang mewah dari Papua ke Cina. Orang Banda, yang merupakan navigator ulung, telah kaya raya berkat pengetahuan mereka tentang rute perdagangan dan hubungan dengan penduduk lokal.
Mereka tinggal di desa-desa otonom yang dikelola oleh Orang Kaya, yang bersaing untuk kekuasaan perdagangan.
Pada awal milenium kedua, Banda mulai membudidayakan pala secara aktif. Baik karena kualitas atau strategi ekonomi yang cerdik, Banda menjadi pelabuhan utama untuk perdagangan pala, sering dikunjungi oleh pedagang dari berbagai bangsa.
Ketika Portugis tiba pada tahun 1510-an, mereka kesulitan masuk ke dalam sistem perdagangan Banda. Belanda yang datang kemudian pada tahun 1599, menggunakan kekuatan militer untuk memaksa Banda berdagang hanya dengan mereka.
Namun, setelah Belanda pergi, Banda kembali berdagang seperti biasa, bahkan membuat kesepakatan dengan Inggris untuk menyeimbangkan kekuatan.
Konflik antara Banda dan Eropa mencapai puncaknya pada tahun 1621, ketika Belanda berhasil mengusir Inggris dari kepulauan tersebut. Jan Pieterszoon Coen, yang memimpin VOC, menyerang Banda Besar dengan pasukan besar.
Meskipun mendapat perlawanan, Belanda berhasil menguasai pulau tersebut. Namun, serangan gerilya dari Banda menyebabkan Coen melakukan tindakan brutal terhadap mereka yang menyerah.
Akhirnya, Belanda membakar desa-desa dan memperbudak penduduk, dengan banyak dari mereka memilih untuk menyerah.
Dapatkan artikel teupdate dari Intisari-Online.com diGoogle News