Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Artinya:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Sekitar tujuh abad kemudian, frasa ini kembali mencuat di era modern.
Johan Hendrik Casper Kern, orientalis Belanda, menemukannya dalam tulisannya "Verspreide Geschriften".
Mohammad Yamin, tokoh nasionalis Indonesia, membacanya dan terkesan dengan maknanya yang mendalam.
Yamin kemudian memperkenalkannya dalam Sidang BPUPKI Pertama tahun 1945.
Bersamaan dengan proses perancangan Garuda Pancasila oleh Soekarno, Bhinneka Tunggal Ika pun diusulkan sebagai semboyan negara.
Alasannya, frasa ini dianggap mampu mewakili pandangan bangsa dan memperteguh kedaulatan.
Penetapan dan Makna yang Mendalam
Penetapan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.
KOMENTAR