Pembagian Jabatan Kekuasaan Di Masing-masing Wilayah Dinasti Ayyubiyah Menggunakan Sistem Berikut Ini

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Salah satu yang menarik, ternyata, pembagian jabatan kekuasaan di masing-masing wilayah Dinasti Ayyubiyah menggunakan sistem konfederasi.
Salah satu yang menarik, ternyata, pembagian jabatan kekuasaan di masing-masing wilayah Dinasti Ayyubiyah menggunakan sistem konfederasi.

Intisari-Online.com -Salahuddin Al-Ayyubi memang lebih terkenal dibanding dinasti yang dinisbatkan kepadanya: Dinasti Ayyubiyah.

Meski begitu, dinasti ini tetap harus dicatat sebagai salah satu dinasti paling moncer dalam sejarah peradaban Islam.

Salah satu yang menarik, ternyata, pembagian jabatan kekuasaan di masing-masing wilayah Dinasti Ayyubiyah menggunakan sistem konfederasi.

Seperti apa sistem itu bekerja?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, tidak ada salahnya bila kita berkenalan terlebih dahulu dengan dinasti ini.

Dinasti Ayyubiyah atau Bani Ayyubiyah merupakan dinasti Islam Sunni keturunan etnis Kurdi yang pernah berkuasa sejak abad ke-12.

Pada masa jayanya, dinasti yang pusat pemerintahannya berada di Mesir ini pernah menguasai hampir seluruh wilayah Timur Tengah.

Seperti disebut di awal, patron sekaligus pendiri Dinasti Ayyubiyah adalah Salahuddin Al-Ayyubi, yang sebelumnya menjadi wazir (setara perdana menteri) di Mesir, di bawah Dinasti Fatimiyah.

Dinasti Ayyubiyah berkuasa selama kurang lebih satu abad, hingga pertengahan abad ke-13.

Mengutip Kompas.com, sejarah berdirinya Daulah Ayyubiyah dapat ditelusuri sejak melemahnya Dinasti Fatimiyah (909-1172).

Pada pertengahan abad ke-12, Dinasti Fatimiyah semakin melemah karena beberapa faktor.

Salah satunya disebabkan oleh permasalahan internal, khususnya perebutan posisi Wazir.

Wazir adalah seorang penasihat atau menteri berkedudukan tinggi, yang biasanya ditemukan dalam sistem monarki Islam.

Tak hanya itu, serangan pasukan Salib ke Mesir juga menjadi salah satu penyebab melemahnya Dinasti Fatimiyah.

Pada 1164, Salahuddin Al-Ayyubi dan pamannya, Syirkuh, dikirim oleh penguasa Damaskus, Nuruddin Zanki, ke Mesir untuk membantu Fatimiyah melawan serangan pasukan Salib.

Dalam pertempuran itu, pasukan Salahuddin dan Syirkuh berhasil mempertahankan Mesir setelah mengalahkan pasukan Salib.

Menyusul keberhasilan itu, Syirkuh diangkat sebagai wazir (perdana menteri) di Mesir pada 1169.

Tapi dia hanya menjabat selama dua bulan karena meninggal.

Jabatan Wazir Mesir kemudian digantikan oleh Salahuddin, yang memiliki ambisi menggantikan Islam Syiah (Dinasti Fatimiyah) di Mesir dengan Sunni dan memerangi orang-orang Franka dalam Perang Salib.

Karena posisi Dinasti Fatimiyah semakin lemah, Salahuddin Al-Ayyubi pun mampu menggantikannya dengan Dinasti Ayyubiyah yang didirikannya pada 1171.

Dinasti Ayyubiyah telah mengalami perkembangan pesat sejak didirikan oleh Salahuddin Al-Ayyubi.

Ambisi Salahuddin untuk menggeser aliran Syiah dengan Islam Sunni pun tercapai.

Segera setelah berkuasa, ia juga melakukan ekspansi wilayah dengan menguasai Yaman (1174), Suriah (1180-an), bahkan merebut Yerusalem dari Tentara Salib pada 1187.

Tidak berhenti di situ, wilayahnya terus meluas hingga berhasil menguasai Afrika Utara, Nubia Utara, Arab Barat, Syam, Mesopotamia, Palestina, dan Transyordania.

Selain itu, Dinasti Ayyubiah mencapai kemajuan dalam bidang ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesehatan, dan arsitektur.

Perang Salib ternyata tidak hanya menyisakan cerita tentang peperangan yang sadis, tetapi juga mampu menguatkan hubungan dagang dengan Eropa.

Sejak awal, Dinasti Ayyubiyah melakukan berbagai tindakan untuk meningkatkan produksi pertaniannya.

Pada akhirnya, berbagai jenis tanaman produksinya mampu menyebar ke Eropa.

Industri dan perdagangan Dinasti Ayyubiyah pun menjadi semakin kuat karena ketertarikan bangsa Eropa terhadap barang-barang baru yang ditawarkan pedangang Muslim.

Selain hasil pertanian, berbagai kerajinan tangan seperti kaca, tembikar, dan permadani juga bernilai tinggi di Eropa.

Kemakmuran ekonomi Ayyubiyah masih berlangsung hingga pemerintahan Al-Kamil (1218-1238), yang dikenal sangat memerhatikan kondisi ekonomi negara.

Kemajuan pendidikan ditandai dengan dibangunnya beberapa madrasah di Aleppo, Yerussalem, Kairo, dan Iskandariyah.

Meski Dinasti Ayyubiyah menganut teologi Sunni dan bermazhab Syafi'i, pemerintah juga membangun lembaga pendidikan untuk mazhab lain, seperti Hanafi, Hanbali, dan Maliki.

Kesejahteraan guru dan siswa juga diperhatikan oleh pemerintah.

Selain dibayar, guru dan siswa diberikan fasilitas tempat tinggal berupa asrama, agar kegiatan belajar mengajar semakin intens.

Kemajuan di bidang kesehatan dibuktikan dengan pembangunan beberapa rumah sakit dan penunjang pelayanan kesehatan di beberapa kota, seperti di Damaskus dan Kairo.

Selain itu, dibangun juga sekolah khusus untuk mencetak tenaga kesehatan.

Dari arsitektur, pencapaian terbesar Dinasti Ayyubiyah adalah pembangunan benteng-benteng ditambah dengan sejumlah madrasah Sunni.

Pembangunan yang dilakukan difokuskan di Mesir dan Suriah.

Ketika Salahuddin berkuasa, ia membangun tembok kota untuk menutup Kairo.

Pada 1183, Salahuddin juga membangun benteng di Kairo, yang diselesaikan oleh Al-Kamil.

Beberapa bangunan yang pernah didirikan pada masa Dinasti Ayyubiyah adalah Benteng Salahuddin di Kairo (1187), Benteng Aleppo, Madrasah Zahiriya (1219) di Aleppo, Madrasah al-Sahiba di Damaskus (1233), dan Madrasah Al-Salih (1243) di Kairo.

Selain itu Masjid Al-Firdaus di Allepo juga menjadi salah satu bentuk majunya arsitektur Dinasti Ayyubiyah.

Selama berkuasa, Dinasti Ayyubiyah sangat bergantung pada Mamluk (tentara budak) untuk menangani urusan militernya.

Sayangnya, runtuhnya dinasti ini sebagian besar disebabkan oleh para Mamluk dari Turki sendiri.

Runtuhnya Dinasti Ayyubiyah dimulai pada masa pemerintahan Sultan As-Salih (1240-1249).

Pada masa ini, para Mamluk telah memegang kendali atas pemerintahan.

Setelah Sultan As-Salih meninggal pada 1249, bangsa Mamluk mengangkat istri mendiang sultan, Syajarat ad-Durr, sebagai pemimpin Ayyubiyah.

Pengangkatan Syjarat ad-Durr menandai berakhirnya kekuasaan Dinasti Ayyubiyah di Mesir dan berdirinya Dinasti Mamluk (1250-1517).

Kendati demikian, keturunan Ayyubiyah ada yang masih memimpin di daerah hingga 70 tahun kemudian.

Sistem konfederasi

Sistem pemerintahan yang dianut oleh Dinasti Ayyubiyah adalah sistem konfederasi atausistem pemerintahannya dengan cara kedaulatan kolektif.

Di mana dibentuk sebuah konfederasi yang terdiri atas wilayah-wilayah yang disatukan dengan sebuah gagasan pemerintahan keluarga.

Dengan adanya sistem ini maka ada beberapa "sultan kecil" dan ada satu anggota keluarga Ayyubiyah yang menjadi as sultan as mu’azzam.

Yaitu pemegang jabatan tertinggi.

Kekuasan di dalam Dinasti Ayyubiyah tidak hanya yang terikat oleh darah, tetapi budak dan orang orang terdekat sekalipun dapat mendapatkan kekuasan tertinggi.

Artikel Terkait