Israel dan Turki meresmikan proses normalisasi pada Juni 2016 setelah enam tahun terasing.
Perjanjian tersebut memberikan Turki 20 juta dollar AS (hampir 18 juta euro) sebagai kompensasi.
Sebagai imbalannya, Turki membatalkan tuntutan terhadap mantan panglima militer Israel dan kedua negara menyetujui duta besar baru untuk negara masing-masing.
Pada Desember 2017, Erdogan yang sekarang menjadi presiden, memimpin oposisi Muslim terhadap rencana presiden AS Donald Trump memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem dan mengakui kota yang disengketakan itu sebagai ibu kota Israel.
Pada hari kedutaan baru dibuka di Yerusalem, pada 14 Mei 2018, Erdogan menuduh Israel sebagai "negara teroris" dan "genosida" setelah puluhan warga Palestina terbunuh oleh roket Israel.
Kedua negara menarik duta besar mereka.
Hubungan terus memburuk, terutama setelah undang-undang kontroversial disahkan oleh parlemen Israel pada bulan Juli 2018 yang mendefinisikan negara itu sebagai negara bangsa dari orang-orang Yahudi.
Pada November 2021, Erdogan mengadakan pembicaraan telepon dengan Presiden Israel Isaac Herzog dan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett.
Itu adalah diskusi yang pertama kali diadakan sejak 2013 antara orang kuat Turki dan seorang pemimpin Israel.
Turki membebaskan dua turis Israel yang ditahan atas tuduhan spionase.
Erdogan menyatakan bahwa Turki sedang mempertimbangkan rekonsiliasi "bertahap" dengan Israel.
Pada Januari 2022, Erdogan mengumumkan bahwa Turki siap bekerja sama dengan Israel dalam proyek pipa gas di Mediterania timur.
Presiden Israel dilaporkan tengah menuju Turki pada Rabu (9/3/2022) ini, untuk bertemu dengan Recep Tayyip Erdogan.
Ini adalah kunjungan pertama oleh seorang kepala negara Israel sejak 2007, ketika negara-negara berusaha untuk memperbaiki hubungan yang retak.
Kunjungan Presiden Isaac Herzog ke Turki dan Istanbul dilakukan beberapa minggu setelah Rusia menginvasi Ukraina.
Konflik Rusia-Ukraina dapat muncul dalam pembicaraan mereka, dengan Israel dan Turki memainkan peran mediasi dalam beberapa hari terakhir.
Tetapi, masalah bilateral kemungkinan akan mendominasi setelah lebih dari satu dekade pecahnya diplomatik antara negara Yahudi dan mayoritas Muslim Turki, pendukung vokal perjuangan Palestina.
Isu-isu tersebut termasuk penjualan gas ke Eropa, topik yang telah memperoleh urgensi tambahan di tengah konflik Ukraina.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR